Chapter 28

1792 Words
          Kami tiba di rumah saat jam tanganku menunjukkan pukul 12 malam. Listrik di rumah masih mati, hanya lentera yang di pasang di setiap sudut rumah yang menyinari dalam remang- remangnya. Mama dan nenek ke dapur untuk mencuci sisa kotak bekal yang tadi. Aku melempar badanku di sofa. Tiba- tiba, aku merasa sofa ini lebih empuk dari biasanya. Aku meraba sofa tersebut.             “Duh .. apa sih ini …”Gumam sebuah suara dari sofa. Aku terbelak kaget. Sofaku bisa bicara!             “Siapa itu?!”Tanyaku setengah berteriak. Refleks aku bangkit dari sofa. Aku mengambil lentera yang ada di atas meja dan menyinari sofa. Sebuah bayangan hitam bergerak dari sofa. Aku hendak berteriak tapi sebuah tangan menahanku.             “Jangan teriak, ini papa,”ujar suara itu. Aku melongo. Papa melepas tangannya dari mulutku dan duduk di sofa. Papa menggaruk- garuk kepalanya. “Kamu ini Teh, papa lagi enak rebahan juga malah kamu timpa,”keluh papa. Aku menepuk bahu papa agak kuat.             “Papa ini ngapain goleran di sofa kayak gitu?! Mana baju papa sama lagi kayak warna sofa! Mana aku nampak, toh udah berkamusflase dengan sofa! Aku mana sadar!”Omelku. Hampir saja jantungku copot. Kukira beneran sofaku ini terkutuk sampai bisa bicara begitu.             “Maaf, maaf. Papa tadi capek banget, jadi gak kuat pergi ke kamar. Yaudah papa tiduran aja di sofa,”jelas papa. Papa menguap lebar. “Lagian, kalian juga lama banget pulangnya. Papa nungguin kalian pulang juga nih.”             “Loh papa memangnya darimana kok cepet banget baliknya?”Tanyaku. Mama dan nenek datang menghampiri kami dengan langkah tergopoh- gopoh.             “Ada apa ini? Kenapa tadi ada suara teriak?”Tanya mama khawatir. “Loh papa udah pulang? Dari kapan pa?”Tanya mama lagi.             “Maaf ma, tadi Teh yang teriak. Kaget tadi kirain sofa yang bisa ngomong, rupanya papa lagi kamusflase jadi sofa,”jawabku. Aku nyengir lebar.             “Kamu pa darimana? Udah daritadi pulangnya?”Tanya mama.             “Udah dari jam 10-an gitu deh papa pulang. Papa capek banget, ngantuk. Jadi papa tidur di sofa, sambil nungguin kalian,”jawab papa.             “Kok papa cepet banget balik? Gak jadi ke acara kembang api pa?”Tanya mama. Mama duduk di sebelah papa.             “Jadi kok, papa pergi duluan tadi. Udah pamit sama Teh tadi sore kan, karena mau bantuin pak RT. Tapi begitu kembang apinya di mulai papa izin pulang duluan karena capek banget. Sempet gak bisa masuk sih karena papa gak bawa kunci cadangan. Untung aja papa ingat ada kunci lain kan yang biasanya mama taruh di bawah keset,”jelas papa panjang lebar. “Kuncinya terpampang jelas deh di bawah karpet. Kalau ada yang mau maling enak banget deh buat dia buka pintunya,”lanjut papa sambil memincing mata ke mama. Mama nyengir.             “Yah maaf pa. Tapi kan untungnya masih aman ya. Untung juga toh di taruh di situ, jadi papa bisa masuk kan? Kalau engga papa bakalan nunggu di luar 2 jam di temenin sama lelembut,”elak mama. Papa geleng- geleng kepala dan mengusap rambut mama pelan.             “Kamu ini memang ya. Untung gaada maling masuk kan. Lain kali jangan taruh situ deh, Taruh di tempat lain aja,”ujar papa mengingatkan. Mama mengangguk pelan.             “Siap bos!”ujar mama sambil hormat.             “Pa, bukannya tadi papa pakai jas ya? Papa ganti baju?”Tanyaku. Iya deh, kayaknya tadi aku lihat papa di lapangan sana pakai jas. Rapi necis gitu. Gak pakai kaos oblong polos kayak sekarang.             “Hah? Papa pakai jas? Ngapain? Kan papa bukan pergi kerja,”tanya papa bingung.             “Tapi tadi aku lihat papa di lapangan pakai jas deh, necis gitu kayak mau ke kantor. Terus papa gak bareng sama rombongan pak RT, tapi sama orang lain gitu keluar lapangan …”jawabku. Iya, sepertinya begitu. Aku yakin. Aku tanda betul perawakan bapak- bapak di komplek ini bagaimana. Orang yang tadi bersama papa belum pernah kutemui sebelumnya. Sedikit mencurigakan memang dengan bajunya yang berwarna gelap, seperti hendak bersembunyi di tengah malam.             Papa mengernyitkan alisnya. “Ah, kamu salah lihat kali. Papa daritadi pakai baju ini kok. Papa juga ikut sama rombongan bapak- bapak di komplek ini,”ujar papa.             “Hem … mungkin memang Teh yang salah lihat karena gelap…”Gumamku. Papa mengangguk.             “Ya, mungkin saja,”ujar papa. Papa menguap lebar. “Yuklah kita tidur yuk, udah larut. Teh berani kan masuk ke kamar sendiri?”Tanya papa menggodaku.             “Berani!”Jawabku yakin. Aku mengambil lentera dan berjalan menaiki tangga menuju kamarku. ****             Matahari keluar dari tempat persembunyiannya. Perlahan mengeluarkan cahaya perlahan, menyinari bumi begitu terangnya. Menembus jendela yang gordennya terbuka lebar. Cahaya matahari berhasil memanjakan mataku yang baru saja menjalankan tugasnya untuk melihat dunia. Aku menggeliat sebentar, lalu kembali memejamkan mata. Masih ngantuk banget. Alaram di kamarku tidak berbunyi, karena baterainya habis dan harus di charge. Aku bersyukur akan hal itu, karena aku bisa tidur lebih lama tanpa perlu di ganggu oleh suara bising alaram. Mama juga membiarkanku tidur lebih lama di hari libur nyepian, yah asal intinya tidak lupa ibadah saja kata beliau.             Tapi mataku gagal untuk tertidur kembali. Sepertinya cahaya  matahari ini terlalu terik hingga silaunya sangat terasa. Malas, aku menutup gorden dan membiarkan lentera yang tinggal sedikit cahayanya itu menyinari kamarku dengan cahayanya yang remang- remang. Baru saja aku hendak memejamkan mata lagi, sebuah suara dering yang cukup kencang terdengar. Ah, sial. Aku lupa untuk mematikan mr. communicator. Aku mengambil mr. communicator yang terletak di meja sebelah tempat tidur. “Hallo …”Salamku dengan suara yang parau. Ini mah sudah pasti panggilan telpon seluler manual, kan internet masih mati. “Teh! Kamu baru bangun tidur ya?”Tanya seseorang di ujung sana. Aku mengucek mataku pelan. Ah, aku tahu ini suara siapa.             “Ya, kamu tahulah … kenapa memangnya sih Shei?”Tanyaku.             “Oh ya, ada breaking news nih! Katanya listrik akan di nyalakan 30 menit lagi!”Jawab Sheila. Aku membelakkan mata dan melihat jam dinding di kamarku. Ini masih jam 9 pagi. Bagaimana bisa listrik di hidupkan sebegitu cepat di acara Nyepian Mahkota begini? Biasanya juga listrik baru akan di hidupkan kembali sore hari menjelang malam.             “Kok gitu … kok bisa ….”Ujarku bingung.             “Aku di bilang sama bunda. Bunda dapat telpon dari kantor, katanya emang di suruh hidupin lebih cepat dari biasanya. Katanya sih ada yang mau di umumin gitu, dengernya gitu,”jelas Sheila.             “Emang mau jelasin apa?”Tanyaku penasaran.             “Entahlah. Aku juga gak tahu. Kita tunggu aja sih nanti, katanya sesuatu yang penting,”jawab Sheila. “Udah deh mending sekarang kamu bangun Teh! Entar lagi pasti mamamu udah mau bangunin kamu,”pinta Sheila.             “Dih, mana mungkin. Mama mah jam segini masih ti..” Belum juga aku menyelesaikan perkataanku, sudah terdengar suara tergopoh- gopoh dari luar sana. Mama membuka pintuku dengan kasar sambil membawa teflon dan sendok kayu.             “Althea! Bangun! Bangun! Udah pagi!”Ujar mama setengah berteriak sambil memukulkan sendok kayu ke teflon dan membuat suara yang berisik. Aku menutup telingaku.             “Mama! Mama! Teh udah bangun!”Jawabku. Mama berhenti memukulkan kayu dan melirikku.             “Ah iya juga, mama gak lihat. Maaf. Biasanya kamu masih molor sih jam segini,”ujar mama. Aku mendengus sebal.             “Dih hari ini doang kok, kan libur juga,”ujarku.             “Ya sudah, kamu cuci muka terus turun ke bawah ya. Bentar lagi listrik bakal hidup, katanya ada pengumuman penting dari pemerintah!”pinta mama.             “Iya ma iya,”jawabku. Mama keluar kamar sambil membawa teflon dan sendok kayu.             “Nah bener kan kataku?”Tanya Sheila di ujung sana. Aku mendengus kesal.             “Iya deh iya. Yaudah deh, aku mau cuci muka dulu. Nanti mama makin bawel pula,”jawabku. “Bye Shei, nanti kita video call aja ya!”             “Oke bye Teh!”             Telpon di matikan. Aku menaruh kembali mr. communicator ke atas meja. Aku mengerjapkan mataku dan melihat sekeliling. Aku menarik napas panjang dan membuangnya, lalu melakukan sedikit peregangan dan turun dari kasur. Aku mematikan lentera yang ada di setiap sudut kamar dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi. Setelah semuanya beres, aku turun ke bawah dengan masih menggunakan piyama. Semua sudah berkumpul di bawah sana.             Benar saja, baru saja aku tiba di bawah, perangkat elektronik di rumah perlahan di menyala satu persatu. Rumah yang tadinya gelap dan hanya di sinari dengan cahaya remang- remang dari lentera, sudah di gantikan dengan cahaya lampu yang menyala terang.             “Ayo sini Teh!”Ajak nenek di ruang tamu. Aku menghampiri nenek dan duduk di sebelahnya. Sudah ada papa dan mama juga di sana. Semua menatap layar hologram dari mr. communicator yang masih menampakkan sosok meja tanpa orang di sana.             “Ada apa nih?”Tanyaku bingung.             “Katanya ada pengumuman penting dari pemerintah pusat, di siarkan live,”jawab papa.             “Pengumuman tentang apa sih?”Tanyaku lagi. Papa mengangkat bahunya.             “Sudah, kita lihat saja. Sepertinya sesuatu yang sangat genting dan penting,”ujar mama.             “Sudah mulai!” Papa menunjukkan ke layar mr.communicator. Papa membesarkan layar hingga memenuhi dinding putih di ruang tamu. Papa juga membesarkan volumenya.             “Selamat pagi pemirsa di rumah. Saya Arianda Irawan, akan memberikan informasi selama sejam kedepan. Selamat hari Rabu. Hari ini, pemerintah mengeluarkan ultimatum untuk menghidupkan listrik lebih cepat dari biasanya karena ada hal gawat yang terjadi. Saat ini  kamu sudah tersambung dengan pak Gendhis, selaku Menteri Kesehatan yang akan memberikan informasi penting hari ini,”ujar pembawa berita. Tampak pak Gendhis di sana.             “Selamat pagi rakyat Indonesia. Salam sejahtera untuk kalian semua. Salam sehat. Saya ingin mengumumkan satu hal yang amat penting. Kemarin seluruh wilayah Indonesia mengadakan Nyepian Mahkota, yang di susul dengan acara kembang api di malam hari yang diadakan hampir di seluruh wilayah Indonesia,”jelas pak Mentri. Pak Mentri terdiam sesaat dan menghela napas.             “Semalam, kami mendapatkan laporan bahwa di beberapa wilayah Indonesia, terdapat beberapa orang yang pingsan saat acara kembang api berlangsung. Mereka yang pingsan segera di bawa ke rumah sakit terdekat dengan ambulans. Mulanya kami mereka pingsan karena kurangnya oksigen di tengah kumpulan orang, ataupun ada penyakit bawaan yang menjadi penyebabnya.” Pak Mentri kembali terdiam. Beliau sedikit menundukkan kepalanya.             “Tapi dugaan kami salah. Kami mengadakan uji lab dari mereka yang pingsan dan kami menemukan bahwa ada hal lain di balik itu.” Pak Menteri menghela napas kembali. “Kami menemukan virus baru yang berbahaya. Praduga kami, virus ini lebih berbahaya daripada virus Mahkota sebelumnya. Belum ada laporan lebih mengenai virus ini. Kami akan terus menelitinya hingga menemukan penyebab dan asal mulanya. Karena itu, dengan sangat menyesal kami mengumumkan bahwa … kita harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya gelombang endemik yang sama seperti 20 tahun lalu.” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD