Chapter 27

1223 Words
          Suasana menjadi heboh mendengar teriakan itu. Beberapa orang mendekatinya dan membopong orang yang pingsan ke pinggir lapangan.             “Medis, ada medis gak di sini?”Tanya seseorang yang membawa korban pingsan. “Dia sesak! Lepas kancing bajunya!”Pinta salah satu dari mereka. Sigap seseorang membuka kancing baju pria itu dan membiarkannya bertelanjang d**a.             “Ambulans! Panggil ambulans!”Pinta seorang yang lain. Wanita yang tadi berteriak segera mengeluarkan mr. communicator dan menghubungi nomor ambulans darurat. Tak lama, ambulans datang. Tandu di keluarkan dan korban pingsan segera di bawa ke dalam ambulans. Suasana mencekam menyelimuti kami. Dari atas tribun, aku bisa melihat betapa susahnya pria itu untuk bernafas. Wajahnya merah seperti tomat dengan bintik- bintik merah yang memenuhinya.             Kembang api masih terus menyala, tanpa memperdulikan apa yang terjadi. Kembang api terakhir menampilkan dokter Zhao Zhendong, penemu vaksin virus mahkota. Tanda kembang api malam ini akan di tutup.             “Ya, sekian acara kembang api untuk malam ini. Kami mohon maaf jika ada persiapan yang tampak kurang matang. Sebagai manusia kami tak luput dari kesalahan. Kita harus bersyukur karena kini pandemi sudah berakhir. Semoga tidak ada lagi pandemic selanjutnya, amin,”ujar MC menutup acara.             “Ya saya Khailus Adri, selaku MC di acara kembang api nyepian Mahkota ini turut undur diri. Selamat malam semuanya,”pamit MC yang bernama Khailus itu. Ia sedikit membungkukkan badannya kemudian turun dari panggung yang telah di siapkan. Meski kembang api sudah selesai, tapi masih segelintir orang yang berpamitan pulang. Kebanyakan memilih untuk tetap di tempat dan berkumpul bersama tetangga lainnya. Mungkin, daripada harus pulang ke rumah dimana listrik masih mati, mending di lapangan saja. Toh, hanya di lapangan ini yang di nyalakan listriknya.             “Kamu lihat orang tadi gak Shei?”Tanyaku pada Sheila.             “Orang yang mana?”Tanya Sheila bingung.             “Itu, yang pingsan tadi. Kamu lihat gak, tadi wajahnya merah gitu,”jawabku. Sheila mengernyitkan alis. Ia menggaruk dagunya, mencoba mengingat kembali sosok orang yang pingsan tadi, lalu mengeleng.             “Gak terlalu perhatian sih Teh,”ujar Sheila. “Mungkin merah karena sesak napas gitu ga sih,”lanjut Sheila.             “Tapi kayaknya ada yang aneh lain deh Shei,”gumamku. “Maksudku, kalau gak salah lihat aku juga lihat bintik- bintik merah itu di sekitaran kulitnya ..”lanjutku. Aku tidak salah lihat kan? Benar kan? Aku yakin benar ada bintik- bintik merah di sekujur tubuh pria itu. Sepertinya aku juga kenal pria itu. Tapi siapa ya …             “Hah? Salah lihat kali, mungkin karena mukanya merah gitu deh makanya kamu berasa liat bintik- bintik merah,”ujar Sheila.             “Gak. Aku yakin sih. Aku yakin gak salah lihat,”ujarku yakin. “Aneh gak sih, kok tiba- tiba bisa gitu,”lanjutku penuh curiga. Sheila mangut- mangut.             “Yah, agak aneh sih memang. Tapi bisa aja dia punya alergi gitu, terus dia tadinya salah makan. Kan bisa aja gitu sih,”asumsi Sheila. Aku mengangguk. Ya tidak salah juga sih. Aku mencoba mengingat wajah pria tadi. Kayaknya sih aku kenal, kan juga satu lingkungan. Dia kenal kok hampir semua orang di lingkungannya, karena sering temani mama dan papa menyiapkan acara lingkungan sedari dulu.             “Hem… bisa jadi sih. Tapi kayaknya aku kenal deh …”Gumamku. Aku mencoba mengingat- ingat. “Oh, aku ingat! Aku tahu siapa tadi yang pingsan!”ujarku.             “Siapa memangnya?”Tanya Sheila.             “Itu bang Arka. Rumahnya dekat dari rumahku, jarak rumahnya cuma 4 rumah sama rumahku,”jawabku. “Dia lagi sekolah di luar kota deh, kalo gak salah. Kayaknya ini baru pulang karena nyepian,”lanjutku.             “Oh, bukannya dia yang waktu kami kecil sering jahilin kita ya?”Tanya Sheila. Aku mengangguk. Benar, bang Arka ini hanya beda 3 tahun dari kami. Tapi jahilnya luar biasa. Apalagi sewaktu kami kecil badannya paling besar di antara temannya yang lain. Sering kali dia menjahili kami, merampas mainan dan jajanan yang baru kami beli. Entah sudah berapa kali kami menangis waktu kecil hanya karena di jahilin olehnya. Tidak hanya kami sih, pokoknya dia sering banget deh jahilin anak- anak di komplek yang badannya lebih kecil darinya. Entah sudah berapa kali orangtua datang ke rumahnya untuk memarahi dia dan orangtuanya. Karena dia sangatlah bandel, jadilah dia di pindahkan sekolah keluar kota. Katanya di masukkan ke sekolah asrama, sebagai hukumannya. Dia juga tinggal dengan pamannya yang mantan anggota TNI selama di sana. Sudah lama tak bertemu, aku tak tahu apakah dia sudah berubah atau malah makin menjadi.             “Makin tua badannya gak makin besar ya,”gumam Sheila. Aku mengangguk. Malah badannya tampak jauh lebih kurus dari sewaktu kecil dulu.             “Efek sekolah asrama kali tuh, makanya kurus,”ujarku.             “Ya bandel sih dulu jadinya masuk asrama kan,”timpal Sheila. “Heh! Udah ah, masa kita ngomongin orang yang sakit sih. Gak boleh tau!” Sheila menengahi.             “Pamali nanti ya,”gumamku. Sheila mengangguk.             “Aku lapar. Kita balik yuk,”ajak Sheila. Aku mengangguk. Baru saja kami bangkit dari duduk, Nakula dan Sadewa, kedua adik Sheila menghampiri. Mereka berjalan lemas ke arah kami berdua.               “Kak Shei, Kula ngantuk,”ujar Nakula sambil mengucek matanya pelan.             “Sade juga,”timpal Sadewa. Ia menguap lebar.             “Yaudah ayo kita balik. Yuk temui bunda dulu,”ujar Sheila. Ia menggendong Nakula. Nakula menguap lebar dan tertidur di pangkuannya. Sadewa menyusul Sheila dengan langkah pelan dan sedikit sempoyongan. Akhirnya aku menggendong Sadewa dan dia langsung tertidur pulas di bahuku.             “Sori ya Teh repotin,”ujar Sheila.             “Santai aja,”jawabku.             Kami menghampiri bunda Sheila. Ada mama dan nenek juga di sana, sedang berkumpul bersama tetangga lainnya. Bunda Sheila yang pertama kali menyadari keberadaan kami langsung menghampiri kami.             “Ya ampun, udah pada tepar mereka berdua,”gumam bunda Sheila.             “Kecapekan main nih kayaknya bund,”ujar Sheila.             “Ah ya ampun, sampai repotin Althea,”ujar bunda Sheila. Bunda Sheila mengambil Sadewa dari gendonganku. Beliau menggendong Sadewa dan menepuk pelan punggungnya. “Makasih ya Althea,”lanjut bunda. Aku mengangguk.             “Sama- sama bunda,”jawabku.             “Bunda kita balik aja yuk. Kasian nih Kula sama Sade, kalo di sini terus malah di gigitin nyamuk nantik,”ajak Sheila.             “Oh ya, bener juga. Bunda juga capek,”ujar bunda Sheila setuju. “Yaudah yuk kita pamit dulu sama yang lainnya,”ajak bunda Sheila. Aku menghampiri nenek dan memeluknya dari belakang. Nenek sempat tersentak kaget sebentar.             “Oh, Teh rupanya. Tadi kemana sama Sheila?”Tanya nenek.             “Kami duduk di tribun nek, biar lebih nampak jelas,”jawabku.             “Ah maaf semuanya. Saya pamit pulang duluan ya. Ini anak saya udah pada ketiduran,”pamit bunda Sheila.             “Oh iya silakan bu Lasya,”ujar tante Jai, tetangga sebelah rumahku.             “Kamu kemari naik apa Las?”Tanya mama.             “Biasa deh, naik mobil. Nyetir sendiri, yuk duluan ya,”pamit bunda Sheila sekali lagi.             “Iya bu Lasya, hati- hati,”balas semuanya serempak.             “Kayaknya kita juga udah harus balik Wil. Kasian nanti kalau Dion balik duluan malah kosong rumah,”ujar nenek. Mama melihat jam tangannya.             “Iya juga, udah malem banget sih ini,”ujar mama. Mama bangkit dari duduk. “Kalau begitu kami pamit dulu juga ya semuanya,”pamit mama sambil berdiri, di susul olehku dan nenek.             “Hati- hati ya bu Wilda,” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD