Chapter 26

1435 Words
          Aku memincingkan mata, memperhatikan gerombolan bapak- bapak yang keluar dengan seksama. Masih mencoba mencari sosok papa di antara mereka. Aneh, papa kemana ya? Harusnya sih papa tidak susah untuk di temukan, secara papa berbeda dengan bapak- bapak di sana yang berperut buncit. Tapi sosok papa tidak tampak sedikit pun.             “Ada gak papa kamu Teh?”Tanya Sheila. Aku mengeleng.             “Kok aku gak nampak ya papa di sana,”jawabku.             “Mungkin ke tutup kali sama bapak- bapak di sana. Atau mungkin papa kamu udah duluan kali Teh,”ujar Sheila.             “Hem, mungkin saja ya,”ujarku. Aku memperhatikan sekitar. Mungkin papa tidak di rombongan itu. Bisa saja papa bergabung di rombongan lain, mengingat banyak bapak- bapak yang turut berpartisipasi mempersiapkan acara kembang api ini. Sheila mencolek pundakku.             “Itu papamu bukan si Teh?”Tanya Sheila sambil menunjuk ke suatu arah. Aku melihat ke arah yang di tunjuk oleh Sheila. Aku memincingkan mata, terlalu ramai bapak- bapak di sana. Aku menemukan papa di sana, dengan kemeja putih polos yang sangat necis dan celana kain. Duh, papa ini penampilannya malah seperti mau pergi ke kantor saja. Padahal bapak- bapak yang lain pakai baju yang lebih santai –kaos polo dan celana kain atau jeans dan sandal. Ini, papa malah pakai sepatu pantofel.             “Papamu habis kerja apa gimana Teh? Rapi banget,”Tanya Sheila. Aku menepuk jidatku. Haduh papa, terlalu workaholic jadi penampilannya begitu banget apa ya, di acara informal seperti ini malah pakai baju yang formal habis.             Aku tadinya hendak menghampiri papa, tapi niatku terhenti saat papa pergi keluar lapangan bersama dengan rombongan bapak- bapak yang lain.             “Hadirin sekalian, kami pihak panitia meminta maaf karena terlambat memulai acara kembang api yang kita tunggu- tunggu. Bersiaplah di tempat masing- masing, siapkan bekal kalian karena kita akan memulai festival kembang apinya!” Terdengar sebuah pengumuman dari microphone. “Mari kita hitung mundur dari 10! 10… 9 … “             “Shei, kita duduk di atas tribun yuk. Biar lebih jelas!”Ajakku pada Sheila. Sheila mengangguk. Kami naik ke dudukan tribun paling atas.             “8 … 7 … 6 … 5 …”             “Cepet Shei! Cepet!”Pintaku. Sheila semakin mempercepat langkahnya.             “4… 3… 2 … 1…”             Kami tiba di paling atas tribun. Kami mendaratkan p****t ke kursi tribun. Saat itulah, sebuah kembang api di luncurkan. Percikan bunga api seperti air mancur itu merefleksikan warna oranye yang berubah menjadi merah. Aku melongo kagum. Baru awal saja sudah bagus seperti ini kembang apinya. Apalagi nanti di puncak. Sepertinya tahun ini akan lebih megah daripada tahun- tahun sebelumnya.             Kembang api kedua kembali meledak, membentuk ekor burung merak dengan ornamen yang indah. Kembang api burung merak ini bertahan cukup lama, bahkan ekor burung merak ini seperti berputar berkeliling dengan indahnya. Kembali suara kembang api terdengar kencang. Kali ini kembang api ini memancarkan bentuk burung garuda, di iringi dengan lagu Indonesia Raya. Ya ampun, sudah seperti 17 Agustus saja. Tapi yang hebatnya, kembang api ini bertahan lama di udara sampai lantunan lagu Indonesia Raya selesai. Berganti dengan kembang api yang membentuk sang saka bendera merah putih. Refleks kami semua hormat. Setelah sang saka bendera merah putih itu hilang, sempat hening sesaat suasana.             “Untuk mengenang jasa pahlawan, mari kita semua mengheningkan cipta. Semua berdoa sesuai dengan kepercayaan masing- masing. Berdoa di mulai,”pinta suara MC. Semua tunduk dan berdoa di dalam hati. Lagu Mengheningkan Cipta terdengar mengaluni seluruh lapangan. Ya, memang seperti ini acara kembang api. Sakral, karena selain untuk bersenang- senang, acara ini juga di adakan untuk mengenang rasa pahit di masa lalu.             Selesai sudah lagu Mengheningkan Cipta, kembali lagi mengalun lagu nasional lain. Lagu Gugur Bunga di Taman Bakti terdengar memenuhi seluruh lapangan. Kembang api kembali di luncurkan, kali ini menampilkan kilas peristiwa di masa lalu. Kilas balik 20 tahun lalu dimana seluruh dunia melawan virus mengerikan. Kembang api pertama menampilkan gerombolan dokter yang memakai APD sedang mendorong kasur pasien. Kembang api itu tidak hilang, tapi seperti sebuah film yang terus berjalan berganti menampilkan kembali dokter yang masih mengenakan APD sedang merawat pasien yang menggunakan infus dan selang oksigen.             “Tepat 20 tahun lalu, dunia di landa oleh sebuah virus kecil yang mematikan. Kita semua menyebutnya virus mahkota. Virus ini sangat kecil, namun memakan banyak jiwa di seluruh dunia. Semua kewalahan menghadapi virus ini. Pintu- pintu rumah tertutup menghindari tamu. Jalanan sepi. Karantina diadakan dimana- mana, membuat setiap sudut jalan sepi seperti kota mati.” MC menceritakan kejadian yang terjadi di 20 tahun lalu sambil kembang api yang terus berubah bentuk menampilkan peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu. Kali ini kami di tunjukkan dengan gambar TPU yang  penuh dan orang- orang yang menggunakan APD mengangkat peti mati.             “Berita kematian adalah makanan sehari- hari kala itu. Semua seperti menunggu ajal untuk di hinggapi virus yang berbahaya ini. Virus ini terus bermutasi menjadi lebih kuat, menjangkit siapa saja tak pandang bulu,” kembali MC menceritakan maksud dari gambar yang di tampilkan oleh kembang api. Terpampang foto mereka yang memakai APD menggali tanah kuburan dengan beberapa orang yang memandanginya dari jauh dengan air mata yang terus mengalir. Bahkan di masa itu mereka tidak boleh melihat jasad yang telah tiada untuk terakhir kalinya. Selama sakit mereka juga tidak boleh datang untuk menjenguk. Aku tidak bisa membayangkan seberapa sedih mereka di tinggal seperti itu.             “Kepergian menghantui. Anak sebatang kara, orangtua yang kehilangan anak tercinta, kehilangan sahabat dan sanak saudara. Tak boleh ada ruang temu, suasana sepi. Tak ada lagi kumpul keluarga di hari perayaan, tak ada lagi berkumpul dengan sahabat. Mereka, yang terjangkit virus ini, harus rela berpisah dengan keluarga tercinta. Mengasingkan diri untuk di rawat. Hanya bisa berharap bisa sembuh tak di sapa oleh sang kematian.” Kembali MC membuat suasana semakin haru. Beberapa mulai nangis sesengukan. Sepertinya mereka sangat merasakan kehilangan.             Kembang api berubah lagi, menampakkan sebuah gambar anak kecil yang sedang di rawat oleh dokter. Ia sedang video call dengan beberapa orang di smartphone. “Masa dimana seorang anak harus berpisah dengan orangtua untuk beberapa saat, mereka harus mandiri demi keselamatan keluarganya. Virus yang tak kenal usia, bahkan menyerang bayi sekali pun,” MC kembali memberikan narasi yang menyayat hati. Kembali di tampilkan seorang anak kecil yang memakai masker berada di tengah kerumunan orang yang memakai masker pula. Mereka di kelilingi oleh gedung- gedung tinggi. Itu wisma atlet, tempat karantina terbesar yang terletak di ibukota. Dulunya tempat ini sebagai tempat menginap para atlet dari luar daerah untuk persiapan perlombaan, tapi beralih fungsi saat pandemi mahkota melanda.             Kembali kembang api di nyalakan dan menampilkan gambaran lain. Kali ini tampak mereka yang memakai APD duduk bersender di tembok. Mereka tampak sangat kelelahan. “Para garda terdepan sangat berjasa. Mereka sukarela bekerja meninggalkan sanak keluarga, mengalahkan ego mereka demi kepentingan masyarakat. Hanya bisa berharap mereka bisa kembali ke rumah tanpa tersentuh virus.”             Lagu Gugur Bunga masih melantun, menambah syahdu suasana. Kali ini kembang api menampakkan potongan berita, dimana presiden Indonesia kala itu sedang berpidato mengenai penangan pandemi. Sepertinya saat itu sangat hectic, dimana semua cara di lakukan demi menghentikan pandemi. Kembali datang potongan gambar dimana semua petinggi dunia mendiskusikan perihal virus mengerikan ini.             Kembali kembang api menampakkan gambar- gambar yang terus berubah. “Tidak hanya pandemi, bencana alam turut datang bersamaan dengan hal itu. Juga kecelakaan yang turut mengundang sedih seluruh masyarakat.” Kali ini kembang api itu berubah menampakkan peristiwa banjir. Ya, aku ingat mama pernah cerita salah satu temannya jadi korban banjir di Kalimantan 20 tahun lalu, dimana semua aliran listrik ikut mati. Kembang api kembali berubah, menampakkan salah satu kapal selam yang bersiap untuk berlayar. Ya, ini kapal selam TNI Nanggala. Mereka tidak kembali, tenggelam sebelum sempat naik. Setelah hilang kontak selama beberapa hari, akhirnya kapal ini di nyatakan tenggelam. Hal ini membuat duka mendalam di seluruh Indonesia.               “Mengenang KRI Nanggala yang tenggelam 20 tahun lalu. Mereka menjaga lautan untuk selamanya. Jasa mereka yang takkan bisa di lupakan,”ujar MC menjelaskan. Kembang api selesai. Kami kira, acara kembang api hari ini selesai. Tapi ternyata tidak. Beberapa pesawat jet melintas, menaburkan asap warna warni yang membentuk sebuah pesawat. Lalu mainan pesawat jet jatuh di belakang lapangan.             “Dan juga mengenang gagal mendaratnya pesawat Sriwjiaya Air. Semoga mereka tenang di sisi-Nya,” MC terdiam sesaat. Kembali lagu mengheningkan cipta di lantunkan. “Mengheningkan Cipta di mulai untuk mendoakan mereka yang menjadi korban dari pandemi mahkota,”             Hening. Semua kembali menundukkan kepala, berdoa sesuai dengan kepercayaan masing- masing. Namun hening itu hanya sesaat. Keheningan itu pecah saat terdengar teriakan pilu oleh seseorang di tengah lapangan.             “Tolong! Tolong! Anak saya … anak saya pingsan …!” ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD