Bagian 10

1525 Words
Aaron berbaring terlentang dengan pandangannya yang tertuju fokus ke langit-langit. Sehabis ikut makan malam bersama ibu dan adiknya, Aaron memutuskan untuk langsung masuk kamar demi menghindari pertanyaan adiknya yang masih merasa penasaran. Tentu dengan menyertakan alasan lelah, maka Aaron berhasil menyelesaikan makan malamnya tanpa dihantui oleh interogasi sang adik yang juga terlihat tak bersemangat saat mengunyah. Aaron sendiri pun bingung, antara dia harus berkata apa adanya atau lebih baik mengarang saja demi membuat rasa penasaran di hati Maxime lenyap. Tapi mengingat Maxime bukanlah tipikal orang yang mudah percaya pada penuturan yang tak memiliki bukti, maka Aaron mengurungkan niatannya tersebut dan lebih memilih untuk langsung pergi ke kamar di tengah kegamangannya yang melanda. Jujur, dia sangat kaget ketika mendengar pernyataan Maxime mengenai perilaku ayah Pricilla yang suka menyiksa bahkan mengasarinya dengan tak berperasaan. Terlepas dari apakah itu benar adanya atau sekadar bualan belaka, hal itu secara tidak langsung membuat Aaron terus kepikiran. Saat seharusnya Aaron memikirkan pekerjaannya yang sempat tertunda gara-gara selepas jam makan siang usai ia tak kembali ke kantor bahkan tidak mengabari sekretarisnya sama sekali, tapi justru pikiran Aaron malah tertuju pada nasib sang gadis yang masih belum diketahui kebenarannya. "Apa yang diucapkan oleh Maxime itu benar atau hanya sekadar karangan gadis itu saja? Tapi jika gadis itu benar-benar sudah sering mendapat perlakuan kejam dari ayahnya, lalu kenapa aku tidak melihat tanda-tanda kesedihan di raut wajahnya? Malah, aku hanya menemukan raut riang nan polos di wajah gadis itu. Rasanya, aku sedikit ragu jika ternyata dirinya memang sering mengalami penyiksaan dari ayah kandungnya sendiri...." gumam Aaron bertanya-tanya. Memang kenyataannya seperti itu. Aaron tidak menemukan sedikit pun raut tersiksa di dalam riak wajah dan juga sorot mata kala tak sengaja mereka beradu pandang sepanjang keduanya terlibat interaksi walau tidak berlangsung lama. Maka, sangat wajar bukan seandainya Aaron sedikit merasa janggal atas pernyataan Maxime yang didengarnya tadi. Terlalu lama memikirkan hal tersebut, pria itu pun menghela napas. Kemudian, ia mengubah posisi berbaringnya menjadi miring. Membelakangi arah pintu berada sembari melanjutkan pemikirannya mengenai Pricilla. Padahal, dia baru mengenal gadis itu siang tadi. Itu pun gara-gara Maxime yang memintanya untuk mengantarkannya pulang. Tapi entah kenapa, setelah mendengar penuturan yang Maxime lontarkan, Aaron pun jadi tidak bisa merasakan ketenangan menjelang waktu tidurnya ini. "Apa perlu aku cari tahu? Setidaknya, aku harus memastikan tentang kebenaran akan kisah malang gadis itu. Seandainya benar, maka aku akan berusaha membantunya agar dia bisa menemukan jalan keluar bagi masalahnya. Tapi misalkan dia berbohong, akan kupastikan bahwa Maxime dan gadis itu tidak akan pernah aku izinkan untuk bertemu lagi!" tandas Aaron mengambil keputusan. Lalu setelah itu, ia pun bersiap-siap untuk memasuki waktu tidurnya di tengah malam yang sudah begitu larut. Mencoba untuk melupakan perihal kejadian hari ini dengan cara merelaksasikan diri sebelum memasuki alam mimpi yang hendak dijelajahinya. Akan tetapi, semakin besar tekadnya untuk melupakan perihal pernyataan Maxime tentang nasib nahas Pricilla, justru semakin sulit pula matanya terpejam rapat. Rasanya, seperti ada yang mengganjal. Tanpa alasan yang jelas, wajah gadis itu selalu ikut terbayang menghampiri benak berikut bergentayangan di dalam pejaman matanya. "Ah, sial! Sebenarnya, ada apa denganku? Kenapa setiap kali aku berusaha untuknmemejamkan mata, wajah gadis itu selalu terbayang-bayang? Apa jangan-jangan aku sudah gila? Tidak, tidak! Apapun caranya, aku harus bisa mengenyahkan bayangan gadis itu dari kepalaku," putus Aaron mengerang. "Menyingkirlah!" usir Aaron di akhir kalimatnya. Bersamaan dengan dia yang kembali menutup kedua matanya dan berharap agar wajah gadis itu tidak datang lagi ke dalam benaknya. *** Pricilla merintih kesakitan saat ia sedang berusaha mengoleskan sejenis salep luka lebam ke bagian kulit yang terlihat merah-merah akibat terkena cambukan tadi. Sungguh, dia masih sangat tak menyangka jika ayahnya lebih mengutamakan wanita itu ketimbang dirinya yang adalah anak kandungnya. Entah seperti apa pikiran ayahnya itu. Dia begitu tega menyakiti darah dagingnya sendiri yang seharusnya ia lindungi segenap hati dan jiwa raganya. Seandainya saja ibunya masih ada, mungkin nasib Pricilla tak akan semalang ini. Setidaknya, meskipun ayahnya tetap bersikap kasar, Pricilla masih bisa mengadu serta mengeluhkan tentang nasib buruknya pada sang ibu dengan cara memeluk atau seperti merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu. Tentu hal itu akan memberikannya ketenangan. Namun sayang, saat ini Pricilla tidak bisa melakukan hal sejenis yang ia bayangkan. Ibunya sudah lama dipanggil Tuhan dan Pricilla berharap semoga tak lama lagi Tuhan pun memanggil dirinya saja untuk dipertemukan dengan ibunya yang sudah tenang di sisi-Nya. "Aw, sshh...." Pricilla meringis perih saat jari telunjuknya tidak sengaja menekan bagian tangan yang lebih banyak mendapat cambukan sang ayah. Namun meski begitu, Pricilla tetap melanjutkan mengolesi tangannya menggunakan salep demi supaya rasa perih yang menjalar segera lenyap saat esok kembali datang. "Besok, aku sudah harus kembali bekerja. Semoga semua luka ini tidak membekas sampai besok. Jika tidak, maka aku akan sangat kesulitan untuk beraktivitas seperti biasanya...." keluh Pricilla mengembuskan napas gusar. Lalu, ia pun kembali teringat akan perlakuan kejam ayahnya beberapa saat yang lalu. "Aku tahu Ayah akan marah. Tapi aku tidak menyangka jika Ayah akan semurka ini saat melihatku sedang mencekik wanita itu. Jika tahu Ayah akan semarah dan sekejam ini, mungkin sebaiknya aku langsung menusuk jantung wanita itu saja agar dia langsung pergi ke neraka!" desis Pricilla menahan emosi. Sesungguhnya, gadis itu teramat muak pada wanita tersebut. Bahkan, sejak pertama kali wanita itu menampakkan dirinya di hadapan Pricilla pun rasanya Pricilla sudah tak diberikan keinginan untuk sekadar menghormati keberadaannya. Belum resmi menjadi ibu barunya saja perlakuannya sudah menciptakan huru-hara. Apa jadinya jika dia benar-benar menikah dengan ayahnya? Pricilla rasa, kesehariannya pasti akan bertambah suram dan sama sekali tak enak dilalui. Gadis itu meniupi bagian luka yang sudah ia olesi salep. Meski kebanyakan terdapat di bagian lengan, tapi rupanya di pinggang dan paha pun luka serupa tercetak juga meski hanya sedikit. Untuk itu, sang gadis pun kembali mengeluarkan salep guna ia oleskan ke bagian pinggang beserta paha secara perlahan. "Hei, Anak bodoh! Apa kau sudah tidur?" Tahu-tahu, Pricilla mendengar suara teriakan dari balik pintu kamarnya. Beruntung ia sudah mengunci pintunya. Maka, tidak ada seorang pun yang bisa menerobos masuk ke dalam kamarnya sekalipun itu ayahnya sendiri. "Aku tahu kau belum tidur. Maka dengarkan aku! Besok pagi, kau harus menyiapkan menu sarapan pagi untukku dan juga ayahmu. Selain itu, ada banyak cucian yang harus kau bilas sampai bersih. Aku tidak akan mengampunimu seandainya kau berperilaku sesuka hatimu lagi. Tidak peduli apakah kau mendengarkanku atau pun tidak di kesempatan ini, yang jelas besok aku akan menagih tugas yang sudah aku berikan kepadamu di malam ini. Kau mengerti?" sentak Janira sembari menggebrak pintu. Pricilla tidak berminat untuk menyahut. Dia pun berusaha untuk tak mengacuhkan perkataan yang telah wanita itu lontarkan semau dirinya. Memangnya, siapa dia? Meskipun statusnya adalah calon ibu barunya. Tapi Pricilla tidak terima diperintah seperti itu oleh orang yabg tidak mempunyai hak atas dirinya. Jika saja ayahnya yang menyuruh, mungkin itu masih wajar. Tapi wanitu itu? Pricilla rasa, dia tidak berhak untuk melayangkan sejumlah perintah yang bahkan tidak akan pernah Pricilla gubris. *** Sesuai perkataannya tadi malam, Janira kembali mengusik ketenangan Pricilla yang sejak tadi malam belum ke luar dari kamarnya. Jangankan ke luar, bahkan perintah wanita itu saja tidak diindahkan oleh Pricilla. Tentu hal tersebut pun memicu kemarahan Janira di pagi hari yang cerah ini. "Anak bodoh sialan! Beraninya kau tak menghiraukan ucapanku tadi malam. Kau pikir suruhanku itu musik yang berasal dari kaset rusak? Kenapa kau tidak mau mendengarkanku, ha? Apa kau sudah bosan hidup di rumah ini?" lontar Janira sembari menggedor pintu sekuat tenaga. Sontak, membuat Pricilla lantas menutupi telinganya menggunakan bantal yang ditindihkannya ke atas kepala. Pricilla tahu hal ini akan terjadi. Tapi Pricilla benar-benar sedang tidak bisa menggubris ocehan wanita yang terus meraung di balik pintu sana. Badannya terasa tidak enak untuk sekadar diajak bangun dari pembaringannya. Bahkan, suhu tubuhnya pun seolah meningkat. Tampaknya, gara-gara cambukan semalam, Pricilla pun mengalami demam yang seketika menyebabkan daya tahan tubuhnya melemah. Alhasil, kini Pricilla pun merasa lemas dan tak bisa bangkit dari tempat tidurnya tersebut. "Hei, Anak bodoh! Apa kau benar-benar tuli?" teriak Janira seakan tak mau menyerah. Menciptakan rasa sakit yang kini menyerang bagian kepalanya. Pricilla menggigit bibirnya, berusaha mengenyahkan rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum tak kasatmata. Tidak hanya itu, ia bahkan mulai menggigil kedinginan. Bibirnya begitu kering dan memucat. Keringat dingin pun mulai muncul di tengah suhu badannya yang semakin tinggi. Bersamaan dengan itu, Pricilla pun sayup-sayup mendengar suara ayahnya yang ikut memanggil-manggil namanya. "PRICILLA! APA KAU BENAR-BENAR INGIN MENJADI ANAK DURHAKA?" teriak Benson menggelegar. Hal itu lantas memaksa Pricilla untuk lekas bangkit dari pembaringannya. Ketika ayahnya sudah turun tangan dalam memanggil namanya, maka sudah seharusnya Pricilla datang memenuhi panggilannya. Tidak peduli apakah dirinya sekarang sedang sakit, tapi mau tak mau Pricilla harus tetap menemui ayahnya demi menghindari kata durhaka seandainya ia berani tak mengindahkan perkataan sang ayah. Lalu, setelah bersusah payah menyeret langkahnya menuju pintu. Pada akhirnya Pricilla pun sampai juga di depan pintu kayu berwarna hijau tua tersebut. Diiringi dengan tangannya yang bergemetar akibat demam yang sedang menyerah, Pricilla lantas membuka kuncinya serta menarik pintu itu hingga terbuka lebar. Sigap, setelah pintunya terbuka dan menampilkan sosok Pricilla yang sedang mencoba menahan diri dari rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya, Benson pun bersiap untuk memaki anaknya lagi. Namun sebelum itu terjadi, tiba-tiba tubuh sang gadis terkulai jatuh ke permukaan lantai yang seketika membuat Benson dan Janira terkejut kompak di sela matanya yang sama-sama membelalak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD