Jarak dari kampus ke rumah Aliana memang tidak terlalu memakan waktu. Namun, kebingungan Rida memilah buah tangan membuat semuanya menjadi sedikit alot. Rida mengambil lalu meletakkannya lagi, sebab ragu kalau keluarga sahabatnya itu akan menyukai itu atau tidak. Dia ingin membawakan sesuatu yang bermanfaat dan tidak mubazir. Alhasil Rida bingung sendiri, karena dia tak mungkin memilih yang disukainya, sebab belum tentu disukai mereka pula. "Beli apa, yah?" batinnya.
“Sayang, udah belum? Lama banget. Udah setengah jam kamu muter-muter, tapi belum ada yang dimasukin ke keranjang,” gerutu Ferdhy sebab lelah mengekori sang istri yang terus mengitari rak pajang yang sama di pusat perbelanjaan itu. Sudah hampir empat kali Rida berjalan mengelilingi lemari pajang tersebut. Namun, belum ada satupun barang yang menarik minatnya.
Rida menatap nanar suaminya. Ia pun memonyongkan bibirnya dengan raut cemberut. “Rida bingung mau bawain mereka apa?”
Ferdhy menghela napas panjang sebelum ia angkat bicara. “Beli aja yang mereka suka. Makanan atau apa gitu? Kiara kan, suka banget coklat,” ujar Ferdhy memberi usul.
Seketika mata Rida berbinar ceria. Otaknya tercerahkan. “Kamu bener, Mas!"
Ferdhy membenarkan kerah dengan gaya angkuh.
"Aneh. Kok, aku nggak kepikiran ke situ, ya?” Rida menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ya, kamu ‘kan lola. Mana nyampek otakmu buat mikir ke sana,” tandas Ferdhy enteng.
Rida memanyunkan bibirnya. “Lola-lola gini juga, yang naksir banyak!” sungutnya yang merasa terhina oleh celetukan Ferdhy.
Mendengar itu, Ferdhy langsung diam. Tanpa Rida jelaskan pun dia tidak akan mungkin melupakan fakta, jika istrinya ini memang banyak yang mengincar. Semua tahu kalau Rida merupakan seorang mahasiswi yang memiliki wajah imut dan awet muda. Pasti tidak sedikit orang yang mengira kalau Rida masih lajang.
Rida berusaha tak ambil pusing dengan tatapan aneh Ferdhy. Dia pun gegas mencari coklat untuk Kiara. Ferdhy pula pasrah mengekori istrinya tanpa berkomentar lagi.
Setelah menemukan coklat yang dicari-cari, Rida langsung meraihnya. Tak tanggung-tanggung, dia mengambil 10 batang coklat berukuran besar. 5 coklat putih untuk Kiara dan 5 coklat lagi untuk dinikmati bersama.
Setelah memasukkan coklat ke troli, dia beralih ke bagian roti di baris depan. Rida memasukkan 10 bungkus roti ukuran sedang dengan rasa: coklat, keju, strawberry, nanas, dan kacang.
Namun, saat Rida tak sengaja melirik lemari pendingin, netranya melihat melon kupas yang terlihat begitu segar dan menggoda. “Mas, Rida pengen beli melon kupas. Mas Ferdhy mau juga, gak?” tawar Rida saat hendak mengambil melon yang ditutupi plastik pembungkus dengan beralaskan styrofoam.
“Nggak, ah. Melon punya kamu lebih enak,” seloroh Ferdhy sembari tersenyum manis.
“Apanya yang enak? Orang Rida juga beli melonnya di sini. Rasanya sama aja. Kalau Mas, mau, biar Rida beli dua.”
“Itu, loh. Melon yang nepel di depan kamu. Ada dua, lagi. Mantep tuh. Bisa dipegang, diraba, dikenyot, diremas. Boleh incip, gak?” Mata Ferdhy mengarah pada d**a Rida disertai seringai menyebalkan.
Seketika, Rida mendekap dadanya. Dia menatap Ferdhy jengkel lalu melihat sekeliling dengan kikuk. "Ya Allah, dia benar-benar nggak tau malu," batin Rida dongkol.
“Ngapain ditutup? Incipnya gak sekarang, kok. Nanti aja kalau di rumah,” jelas Ferdhy ringan membuat Rida melirik tajam.
“Awas aja kamu, Mas. Puasa seminggu pokoknya!” geram Rida. Bisa-bisanya Ferdhy menggoda dirinya di tempat umum seperti ini. Bagaimana kalau sampai ada yang mendengar? Memalukan. Untung saja tidak ada siapa-siapa.
“Ya, jangan, Yaang. Ngancem mulu. Nggak asyik.” Ferdhy menekuk wajahnya.
“Tau ah! Rida mau ambil melon dulu.” Rida pun mulai memilih dan memilah melon di hadapan, meski rasa kesal masih bersarang di hatinya.
“Iya. Awas jangan sampai ketuker sama melon kesayanganku, ya,” pesan Ferdhy.
Rida yang gemas pun menginjak kaki Ferdhy keras hingga membuat si pemilik mengadu kesakitan. “Aduh!” keluh Ferdhy saat rasa sakit berkutat kakinya.
Rida tertawa pula menjulurkan lidah mengejek. “Wlekk. Makanya jangan macam-macam.” Namun, saat dia berbalik tiba-tiba saja kakinya terhantuk roda keranjang. “Aw.” Rida merintih kesakitan, sebab benturan keras tersebut. Lumayan ngilu. Ia pun membungkuk lalu mengusap pelan bagian yang nyeri itu. Tak lama, terdengar gelak Ferdhy menjamah indra pendengaran. Meski tidak keras, tetapi, Rida masih bisa mendengarnya.
“Kualat sama suami,” hardik Ferdhy kala Rida menoleh.
Gadis imut itu hanya bisa menggigit bibir bawah seraya menikmati rasa yang kini mendekap kakinya. Sepertinya memang benar yang dikatakan Ferdhy. Tidak seharusnya Rida bercanda seperti tadi. Mungkin, setelah ini Rida akan meminta maaf kepada suaminya itu.
Lepas mengambil melon, Rida mendorong trolli-nya perlahan mendekati Ferdhy. Dia sudah membuang kekesalannya terhadap sang suami. Rida menyunggingkan senyum manis lalu bertanya, “Mas Ferdhy, nggak mau beli sesuatu?”
Ferdhy menggeleng. “Itu aja? Kamu nggak mau beli yang lain?” Lelaki itu malah balik bertanya.
Rida terdiam sejenak, berpikir. “Emmm, kayaknya udah, deh. Tapi, Rida bingung mau beliin apa buat bayinya Aliana. Beli apa, ya? Bubur-bubur bayi?”
Ferdhy tertawa kecil kala mendengar pertanyaan istrinya. “Sayang, Rena itu baru aja lahir. Sebulan aja, belum. Ya, kali kamu kasih bubur. Dia masih ASI eksklusif sampai umur enam bulan. Beda lagi kalo kamu mau kasih melon kamu buat dia.”
Mendengar itu, Rida yang polos segera menggeleng. “Ya nggak lah. Rena kan, udah punya ASI emaknya. Punyaku mana ada ASI-nya!”
Ferdhy menatap istri polosnya itu selama beberapa saat. Rida benar-benar lugu. Pemikiranya pula sederhana. Namun, justru itu yang berhasil memikat hati Ferdhy. "Kesayangan," batinnya dengan hati mendada bahagia.
Rida dan Ferdhy tampak mengantrean untuk membayar. Beruntung barisan itu tak terlalu panjang, hingga tibalah giliran mereka dilayani. “Total belanjaannya tiga ratus ribu rupiah, Kak. Mau tambah apa lagi? s**u uht ini sedang diskon, Kak, beli dua gratis satu. Kue wafernya juga, Kak, beli satu gratis satu. Pasta giginya diskon sepuluh persen,” tawar Petugas Kas.
“Tidak, Mbak. Terima kasih. Itu saja,” jawab Rida seraya mengeluarkan dompet hendak membayar.
Namun, Ferdhy segera mencegahnya. “Aku aja yang bayar.” Dia mengeluarkan dompet lalu mengambil tiga lembar uang merah, kemudian menyerahkan ke kasir. “Ini, Mbak.”
Setelah membayar, mereka pun keluar dan melanjutkan perjalanan.
Roda empat Ferdhy membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan sedang. Fokus dia mengendalikan laju kendaraannya dengan cekatan. Sesekali Ferdhy akan melirik Rida yang termenung di sisinya. Entah apa yang otak cantiknya pikirkan tetapi, Ferdhy tidak ambil pusing.
“Mas,” panggil Rida memecahkan kesunyian.
Ferdhy menoleh sekilas. “Iya, Sayang.”
“Kakinya masih sakit?" Sorot matanya tampak sendu. "Maaf, ya. Tadi Rida bercandanya kelewatan,” sesal Rida, karena rasa bersalah, sebab sudah bersikap keterlaluan.
Mulut Ferdhy melengkungkan senyuman lalu mengusap kepala Rida tak beraturan. “Nggak apa-apa, Sayang. Nggak usah merasa bersalah gitu. Harusnya aku yang minta maaf, karena sering bikin kamu kesal. Makasih, selalu sabar ngadepin sifat usil dan jahilku. Nggak pernah ngeluh punya suami kayak aku, meski aku sering banget bikin kesalahan. Makasih, Sayang.”
Ferdhy meraih tangan Rida dan menciumnya berkala.
Tanpa sadar, Rida pun tersenyum. Dia tersipu, sebab merasa hangat oleh sikap romantis Ferdhy yang tak pernah dia duga.
Semula Rida kira kalau Ferdhy akan kaku. Tidak memiliki sisi romantis dan tidak tahu cara membuatnya merona. Namun, kini Rida bisa merasakan sendiri bagaimana lembut dan manisnya sikap suaminya ini. Sepertinya dia tidak salah telah menjatuhkan cintanya kepada Ferdhy. Pria penyabar itu selalu berhasil membuat Rida jatuh hati lagi dan lagi, bak tiada habisnya. Selain wajahnya yang tampan memikat, perilakunya pun selalu berhasil membuat Rida terpesona. "Kesayanganku," batinnya.