Setelah tiba di rumah, Rida langsung ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan peluh yang melumuri tubuhnya. Rida sudah merasa tidak nyaman, sebab cairan itu.
Dua puluh menit kemudian, Rida keluar dengan hanya memakai handuk mini yang dililitkan di tubuh rampingnya. “Astaghfirullah!” Dia terlonjak kaget melihat Ferdhy yang duduk anteng di tempat tidur sembari memperhatikan dirinya tanpa berkedip. “Bisa nggak sih, kalau masuk kamar itu ketuk pintu dulu? Bikin orang jantungan aja!” sungut Rida marah.
“Aku udah ketuk pintu 10 kali, loh. Kamunya aja yang nggak denger. Mau diketuk ratusan kali juga nggak bakal denger, orang di kamar mandi!” sahut Ferdhy geram.
Rida tampak tak acuh. Ia pun membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Dia mengambil gamis simple dengan warna blewah yang cocok dengan kulit beningnya. Rida yang bermaksud kembali ke bilik air pun berpaling kala mendengar tanya Ferdhy.
“Mau ke mana?”
“Ya, mau ke kamar mandi lah, mau pakai baju. Mau ke mana lagi? Masa mau keluar?” sahut Rida jengah.
“Berani keluar kayak gitu, aku bikin nggak bisa jalan kamu!” ancam Ferdhy berang.
Rida bergidik ngeri membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Dia menarik napas panjang. Rida pun harus belajar untuk sabar menghadapi suaminya yang super menjengkelkan. “Kan, aku nggak keluar. Aku cuman mau pake baju.”
Ferdhy menautkan kedua alisnya. “Kenapa nggak ganti di sini aja?”
Rida menatap sang suami, dongkol lalu berputar haluan. “Ogah, entar kamu pengin!” ketusnya.
Ferdhy memutar bola matanya. “Sok ogah-ogahan kamu. Digituin juga merem melek,” sindirnya. “Lagian, semua yang ada di diri kamu, itu halal untukku. Wajar dong, kalo aku meminta hakku. Kamu kan, istriku,” imbuhnya.
“Bo do ah mad!” Rida pun masuk ke kamar mandi tanpa menghiraukan ocehan Ferdhy.
Setelah Ferdhy menunggu beberapa lama, Rida pula kembali dengan gamis yang sudah membalut tubuh indahnya. Dia menghampiri Ferdhy yang duduk selonjoran di tempat tidurnya. “Geser, dong,” pinta Rida.
Tanpa banyak protes, Ferdhy pun beringsut ke tengah.
Rida juga ikut duduk di atas katil, selonjoran di samping Ferdhy. Dia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Rida mulai sibuk mengubek-ubek sesuatu di sana. Hingga tiba saat dia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. “Mas, Rida pengin,” rungutnya pada sang suami.
“Iya, sabar. Entar malem aja, sekarang masih sore,” ujar Ferdhy yang pula ripuh dengan telepon genggamnya.
"Nggak mau nanti, Mas. Rida maunya sekarang. Please," rengek Rida dengan mata yang masih sibuk melihat layar ponsel.
Ferdhy tergugah pun beralih membelai wajah istrinya yang tampak sendu. "Sayang, ini masih sore. Bentar lagi magrib, tanggung. Nanti saja abis isya, ya. Kamu mau minta berapa ronde pun, aku jabanin."
Seketika Rida pun dibuat bingung dengan perkataan Ferdhy. “Entar malem? Ronde?” Dia yang tidak paham pun hanya bisa terbengong-bengong.
Ferdhy menghela napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Punya istri berotak lola memang harus banyak-banyak sabar. Masa yang begini saja harus dijelaskan? “Kan, tadi kamu bilang pengin? Ya, aku bilang entar malem aja, kita sunnah rosulnya. Masa masih jam segini mau gituan? Nanggung lah. Habis salat isya aja, kita gas. Terserah kamu mau di atas apa di bawah."
Segera air muka Rida yang semula tenang pun beriak. Dia yang geram pula langsung mencubit pinggang Ferdhy dengan keras.
“Aduh! Kok, dicubit, sih, Yaang? Sabar dikit, dong. Bentar lagi juga malam. Nggak sabaran banget!” Ferdhy gusar saat mendapatkan perlakuan kejam dari istrinya. "Salahku di mana? Harusnya bener aku menjawab seperti itu. Kalau jam segini, kan, nanggung. Mending habis isya aja biar nggak ribet. Nih, orang kenapa, sih?" batinnya bingung bercampur kesal.
“Pikiranmu itu, loh, Mas! Emang siapa yang bilang pengin itu? Rida itu pengin ini,” ujar Rida sembari memperlihatkan gambar bakso beranak yang terpampang jelas di layar telepon genggamnya. Iklan dari aplikasi itu memang selalu menggoda iman.
“Oh, jadi, maksudnya, kamu pengin bakso?" Ferdhy kecewa. Padahal dia sudah kegirangan, sebab menduga Rida memang menginginkan itu. Namun, ternyata dirinya sudah salah paham.
Rida mengangguk semangat. “Iya, beliin, ya? Yang beranak, please,” pintanya.
Ferdhy tampak berpikir sejenak. Dia menyusun modus yang akan dilancarkan untuk menjebak istri tercintanya itu. “Hemmm ... boleh aja, sih. Tapi pulangnya bikin anak beneran, ya?”
“Nggak usah!” sergah Rida ketus. “Rida bisa beli sendiri,” imbuhnya.
Ferdhy bisa melihat kekesalan sang istri. Wajahnya seketika masam hingga tertekuk sempurna. “Emang siapa yang izinin kamu keluar sendirian? Jangan harap aku kasih izin.”
Rida menghela napas kasar. “Lah, emang siapa yang keluar? Kan, aku bisa beli lewat aplikasi. 'Sesuai aplikasi, ya, Bang.' Beres!” Dia merasa menang. Kali ini, dirinya selangkah lebih unggul dari Ferdhy.
“Mana enak? Pasti baksonya udah dingin lah. Enakan makan di tempat,” ujar Fedhy menghasut sang istri supaya tidak jadi memesan melalui abang grob itu. Dengan begitu, Rida akan mengajaknya makan di luar. Setelah itu, Ferdhy bisa kembali melaksanakan rancangan modusnya.
“Tenang, ada kompor. Dingin, ya, tinggal dipanasin.” Lagi-lagi, Rida bisa menimpali perkataan Ferdhy.
“Tabung gasnya aku jual!” Ferdhy pun mulai jengah. Berdebat dengan Rida memang tidak ada habisnya.
“Kurang kerjaan banget sampe jual tabung gas. Gajimu kurang, Om? Kasian banget, sampai harus jual tabung gas!” cemooh Rida.
Ferdhy menarik tubuh Rida lalu mendekapnya erat. Kemudian menggelitik tubuh mungil Rida hingga lemas.
“Ampun, Om!” seru Rida kegelian dengan tawa yang mengharu biru.
Ferdhy tidak mengindahkan permintaan ampun Rida. Dia malah menambah kecepatan gelitikannya dan hal itu membuat Rida kian menggelepar seperti ikan yang kehabisan air. “Panggil Om sekali lagi, aku bikin ngompol kamu!” ancam Ferdhy kepada Rida yang kepayahan.
“Iya, Om. Eh, Mas Ferdhy maksudnya. Ampun. Rida beneran kapok. Udah, aku nyerah. Nggak kuat gelii!” ujar Rida dengan suara memekik.
Ferdhy menghentikan aksinya dengan napas memburu.
Rida pun terkulai lemas di pelukan Ferdhy dengan mata berair, karena terlalu ripuh tertawa. “Aduh, ampun, ampun. Nggak kuat aku. Capek banget. Huh!” Rida engap-engap.
“Makanya jangan mancing-mancing. Siapa yang nyuruh manggil-manggil Om?” Ferdhy puas melihat Rida megap-megap.
Rida nyengir. “Iya, maaf.”
“Nggak terima maaf!” pungkas Ferdhy pura-pura marah. Dia beringsut menjauh dari Rida. Ferdhy turun dari petiduran. Azan magrib sebentar lagi berkumandang, Ferdhy ingin bersiap untuk ke masjid.
Rida yang peka suaminya tengah merajuk pun mencoba memperbaiki keadaan. “Terimanya apa?”
Ferdhy yang lamat-lama mendengar pertanyaan Rida pun menjawab, “Jatah!” Dia sedikit berteriak, sebab tengah di kamar mandi.
Rida terkekeh. Sungguh mudah memperbaiki suasana hati Ferdhy yang tengah buruk. "Dia rumit seperti molekul asimetris, tapi juga mudah ditaklukan. Unik."
Tak berapa lama, Ferdhy keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Penampilan suaminya seperti ini, membuat Rida sulit berpaling. Hanya sarung dan baju koko saja sudah mampu membuat Rida jatuh cinta berkali-kali pada Ferdhy. “Kenapa mukanya kusut amat. Mau digosok?” godanya yang membuat sang suami makin muram.
“Pakai tanya lagi!” Ferdhy memberengut, sebal.
“Nggak usah ngambek. Gih, buruan ke masjid. Entar habis isya, anterin Rida beli bakso. Rida pengin banget makan bakso yang pedes. Pasti nikmat banget.” Rida menelan saliva kala membayangkan bakso itu berada di mulutnya.
“Ogah! Nggak ada untungnya buatku.” Ferdhy meraih kopiah di gantungan baju.
“Entar aku traktir,” bujuk Rida tak mau menyerah.
“Kamu ngeledek? Aku bisa beli sendiri! Uangku banyak. Aku nggak butuh traktiranmu!” ketus Ferdhy.
Rida pun terpaksa mengeluarkan jurus andalannya. Daripada tidak bisa makan bakso? Urusan lelah, pikir nanti. Yang penting bisa makan bakso. “Ya udah, entar malam aku kasih jatah, deh.”
Ferdhy mendekat lalu mengulurkan tangannya pada sang istri. “Insyaallah?”
Rida menjabat uluran tangan Ferdhy. “Iya .... “
Ferdhy menggeleng. “Bilang Insyaallah dulu.”
Berat hati Rida berkata, “Iya, Insyaallah.”
Suasana hati Ferdhy langsung kembali membaik. Semangat dia keluar hendak pergi ke masjid.
“Pulang, bawa martabak telur, Mas,” seru Rida.
“Gak bawa duit!” teriak Ferdhy, karena sudah berada di lantai bawah.
“Ya udah, entar malam juga nggak jadi!” balas Rida dengan teriakan lebih keras. Entah, orang-orang rumah mendengarnya atau tidak.
Mendengar itu, Ferdhy membeliak tegang lalu berlari kembali ke atas. Namun, dia kalah cepat, sebab Rida sudah mengunci pintunya dari dalam. “Yaang, buka, Yaang,” rengeknya sembari menggedor pintu. “Yaang, nggak bisa gitu dong. Kan udah sepakat. Kamu juga udah bilang Insyaallah, loh.”
Tidak ada sahutan dari dalam, karena Rida tengah terpingkal-pingkal sambil membenamkan wajah ke bantal supaya tidak mengeluarkan.
“Dahlah, aku ngambek. Ngak usah cari aku. Aku tidur di pos satpam.”
Tawa Rida malah semakin menjadi saat mendengar perkataan terakhir Ferdhy.
Ferdhy pun kembali menuruni satu per satu anak tangga dengan hati hampa tak bersemangat. Dia mengentak-entakan kakinya ke lantai dengan geram. "Menyebalkan," gumam Ferdhy seraya terus mengayuh langkah.