Demi Sebungkus Martabak Telur

1264 Words
Suara azan magrib silih bersahut-sahutan dari dua masjid yang mengapit rumah Ferdhy. Atmosfernya begitu syahdu dan menenangkan dengan hawa yang sedikit menurun. Rida pun menutup semua tingkap dengan sigap. "Alhamdulillah." Dia juga gegas menuju bilik air. Selesai berwudu, Rida memakai mukena lantas menggelar sajadah. Ketika lantunan ikamah berakhir, dia pun salat dengan khusyuk. Bersujud penuh pasrah menghadap Sang Khalik. Rida bersimpuh menanggalkan semua kemelut yang membungkus jiwanya, resah. Baginya, kini adalah waktu untuk bercengkraman dengan Sang Pencipta. Rida harus pusat, sebab taat dan imannya. “Assalamu'alaikum warahmatullah.” Rida mengakhiri salatnya dengan salam lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia beristighfar memohon ampunan. Berdzikir agar hidupnya diberi keberkahan. Tak lupa, segala hajat dan munajat dia langitkan. Seusai menengadah dengan untaian doa, Rida pun menyimpan kembali mukenanya. Dia kembali memasang hijabnya, lalu turun ke lantai dasar untuk membantu sang mama mertua menyiapkan makan malam. “Assalamu’alaikum, Ma?” salam Rida pada perempuan yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri. Rika tersenyum manis padanya. “Waalaikumussalam. Sini, duduk.” Dia menepuk sofa kosong di sebelahnya. Rida mengangguk, lalu duduk di sebelah Rika. “Mama, tumben santai di sini? Mama, nggak masak?” heranya. Rika menggeleng, “Nggak, Sayang. Papa, kamu lembur, nggak bisa pulang. Jadi, Mama nggak masak, deh.” “Yaah, padahal Rida turun mau bantu Mama, masak." Rida sedikit kecewa. Rika mencubit pelan pipi menantunya yang manja itu. “Kamu entar makan di luar aja, ya, sama Ferdhy.” Rida mengacungkan kedua jempolnya. “Oke. Mama, ikut, ya?” Rika menggodek. “Ngapain Mama, ikut? Mau jadi obat nyamuk? Ogah banget!” Rida memandangi sang mama mertua dengan wajah tertekuk. “Mama, makan apa, dong? Belum makan, kan?” Rika menyunggingkan senyuman. Dia merasa beruntung memiliki menantu yang perhatian seperti Rida. Meski Rika hanyalah seorang mertua, tetapi Ruda tidak pernah membeda-bedakan Rika dengan kedua orang tua kandung Rida sendiri. “Ada buah, Sayang. Ada roti juga. Gampang lah, kalau Mama.” “Hemmm ... ya, udah, kalau Mama nggak mau ikut. Mama bilang aja penginnya apa. Entar pulang, Rida dan Mas Ferdhy, bawain.” Rida tidak akan memaksa Rika. Dia cukup tahu bagaimana keras kepalanya seorang Rika. Rika tampak menghela napas panjang. Diusapnya puncak kepala sang menantu penuh sayang. “Mama nggak pengin apa-apa, Sayang. Udah, kamu nggak usah mikirin Mama. Kamu nikmatin aja waktu kamu sama Ferdhy. Oh, iya, berhubung kamu nawarin Mama pengin apa? Mama pengin cucu aja. Bikinin, ya?” Rida tampak nyengir kuda. Tahu akan begini, tidak akan dia menawari apa pun pada mama mertua itu. “Mama, ih.” Rida malu-malu gogog. “Apa? Kan, tadi kamu nanya, toh, apa yang Mama pengin? Ya, itu jawabannya. Mama pengin cucu. Bikinin yang lucu, ya.” Rika terkekeh. “Iya, Mama. Nanti Rida bikinin yang lucu, yang imut dan menggemaskan seperti Rida.” Rida tersenyum lebar. Ferdhy yang baru tiba pun tak sengaja mendengar kesanggupan Rida pada mamanya. “Apanya yang lucu dan gemesin?” sahutnya. Dia menghampiri kedua wanita yang begitu dicintainya tersebut. “Astaghfirullah!” Rida terkinjat mendengar suara Ferdhy. “Mas Ferdhy! Kebiasaan kalau masuk nggak pernah ketuk pintu,” gerutunya marah. “Aku udah ketuk pintu dari tadi, loh. Kamu aja yang keasyikan ngobrol sama Mama,” ucap Ferdhy membela diri. “Udah, ah! Jangan berantem mulu. Kalian itu yang akur dan rukun gitu, loh.” Rika menasihati. Kemudian dia menggenggam erat tangan Rida. “Rid, jangan lupa pesanan Mama, ya. Mama tunggu. Ingat! Harus lucu dan menggemaskan.” Rika tersenyum manis. Rida melukis senyuman kikuk di bibirnya. "Astagfirullah, Rida. Jangan kecewain Mama Rika. Tega kamu!" batinnya tidak enak hati. “Kalian ngomongin apaan, sih? Apanya yang lucu dan menggemaskan?” tanya Ferdhy tidak paham. “Tanya aja sama istri kamu. Dah, Mama ke kamar dulu.” Rika pun meninggalkan sepasang suami istri yang saling bersitatap itu. “Mama ngomongin apa?” tanya Ferdhy menuntut. “Nggak ngomongin apa-apa. Oh, iya, kamu ngapain pulang? Katanya mau tidur di pos satpam?” sinis Rida saat teringat ucapan Ferdhy tadi. “Nggak jadi. Kan, aku berhasil bawai martabaknya.” Ferdhy mengangkat tentengannya ke udara. Rida memicingkan kedua mata. “Kok, dapet? Katanya nggak bawa uang? Jangan bilang kamu nyuri!” tuduhnya membuat Ferdhy terbelalak. “Enak aja, nuduh aku nyuri! Seblangsak-blangsaknya aku, nggak pernah, ya, aku nyuri. Kalau ambil duit Mama, sering. Tapi setelah dipakai, aku ngaku," sungut Ferdhy. “Ya sama aja, Panjul!” tukas Rida. “Ya beda lah. Kan aku bilang sama Mama, meski diakhir acara.” “Terserah kamu lah,” pungkas Rida. “Terus, itu martabaknya dape dari mana?” lanjutnya. Rida menatap curiga sang suami. "Ya, ada lah, pokoknya." Ferdhy enggan memberitahu. Malu, kalau harus mengaku yang sebenarnya pada sang istri. Rida pasti akan menertawakan dirinya. “Kamu godain ibu-ibu penjualnya, ya?” tuduh Rida lagi. “Tuduh aja terus! Suuzon! Mana ada penjual martabak ibu-ibu? Dari zaman kapan tau juga selalu mamang-mamang!” Ferdhy terlihat sewot. “Lah, terus ini belinya gimana?” Rida bingung. Mau tidak mau Ferdhy pun cerita, sebab tidak tahan dengan suuzan Rida. Masa bodo jika istrinya itu akan menertawakan. Biarlah Rida tahu bagaimana perjuangannya mendapatkan sebungkus martabak telur itu. “Ngutang sama mamangnya.” Rida menautkan kedua alisnya. “Terus dikasih?” tebaknya. “Ya, nggak! Mamangnya rada rese. Gayanya kayak preman. Lirikannya dah, kayak orang ngajak gelut. Tapi demi mendapatkan martabak pesanan kamu, aku tinggalin sendalku di sana, sebagai ganti martabak ini. Jadi, ya, aku kasih sendalku sama mamangnya. Terpaksa aku pulang nyeker, biar kamu nggak ngambek lagi.” Rida melirik kaki Ferdhy yang ber te lan jang tak beralaskan apa pun. Dia membungkam mulutnya, menahan tawa yang hendak melolong dari mulut. Bahu Rida bergetar, sebab kekehan yang tertahan. “Ketawa terus! Ketawa aja sampai puas!” seru Ferdhy. Rida mengambil martabak dari tangan suaminya. Kemudian merengkuh sang suami erat. “Ututu, baik banget suami Rida. Ayo, ke kamar. Kasihan banget yang bela-belain nyeker buat bawain istrinya martabak.” Dia menarik tangan Ferdhy supaya mengikutinya. “Jangan lupa entar malem!” peringat Ferdhy kala keduanya sudah di kamar. “Kalau inget.” Rida pun mencomot martabak di kotak karton itu, lalu duduk berlesehan di atas karpet lipat. Ferdhy juga mengikuti istrinya, mengambil sepotong martabak telur yang kini sudah terbuka. “Aku bakalan ingetin. Awas aja kalo kebanyakan alasan!” ancamnya. Rida pula meringis memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Dah, ah, nggak usah bahas itu dulu,” ucapnya. “Tadi, Mama nyuruh kita makan di luar. Katanya Papa lembur. Jadi nggak masak." “Ya, udah. Ayo makan di luar! Ajak Mama sekalian.” Rida menggeleng lemah. “Mama nggak mau. Tadi udah aku ajak. Katanya mau makan buah sama roti aja. Pas aku tawarin mau dibeliin apa, Mama bilang nggak usah. Katanya, Mama nggak pengin makanan, tapi pengin yang lain.” Ferdhy mengernyit bingung. “Apa?” “Pengin cucu yang lucu.” Rida tak acuh terus mengisi mulutnya dengan makanan gurih tersebut. “Ya udah, kita bikin habis ini. Aku nggak mau tahu, pokoknya bikin!” Ferdhy berapi-api. Dia yang begitu menyayangi ibunya pun tidak tega untuk tak mengabulkan keinginan sang ibunda tercinta. Ferdhy selalu menjaga baktinya untuk Rika. Dia akan melakukan apa pun untuk membahagiakan kedua orang tuanya. “Beliin aja di shoppo. Diskon off 50%.” “Edyan!” seru Ferdhy seraya menaruh semula sisa martabaknya. Rida tergelak hingga terpingkal-pingkal sampai tersedak dan batuk hebat. "Astagfriullah." Ferdhy memberikan segelas air pada istrinya. Rida pun meneguk hingga tandas. Dia mendehem untuk menetralkan tenggorokan lalu menarik napas dalam untuk menghilangkan nyeri yang menghantam d**a. "Makanya, kalo ketawa itu jangan berlebihan," peringat Ferdhy. "Hadeuh." Dia menepuk kening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD