Tiga Puluh Tujuh

1347 Words
Bu Nuril dengan langkah santainya memasuki pekarangan rumah peninggalan jaman Belanda tersebut. Ketika memasuki rumah itu, memang sekarang terasa berbeda, tidak seperti saat waktu masih kosong dulu. Apalagi taman yang cukup indah itu menyegarkan pandangan mata. Bu Nuril melangkah semakin mendekat ke arah pintu masuk. Ubin berukuran kecil dengan warna abu - abu mendominasi teras depan rumah, terlihat sangat bersih dan terawat. Rupanya mbah Darmi dan penghuni rumah cukup baik merawat rumah lama itu. Bu Nuril mulai mengetuk pintu kaca dengan sebagian kayu bercat kan hijau tua di hadapannya. Tak lupa dia pun mengucapkan salam, sebagai pertanda bahwa yang mengetuk rumah itu benarlah orang yang akan bertamu atau memiliki keperluan dengan si empunya rumah karena Jika suara ketukan pintu tanpa diikuti ucapan salam atau kata permisi, semua akan terdengar seperti orang iseng saja yang menjahili pemilik rumah. Tak perlu menunggu lama, dari arah dalam rumah terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arah pintu. Dari luar bu Nuril dapat melihat, di balik pintu kaca itu tampak mbak Rai sang penghuni rumah yang merupakan majikan dari mbah Darmi berdiri untuk membukakan pintu. Pintu kaca pun terbuka sehingga membuat tidak ada sekat diantara keduanya. Dengan senyum yang sangat ramah, Rai menyambut kedatangan wanita yang bertamu ke rumahnya itu. "Maaf, bu. Mencari siapa yah? Atau ada yang bisa saya bantu?" Rai membuka percakapan diantara keduanya. "Maaf sebelumnya, mbak Rai kan?" Tanya bu Nuril di ikuti dengan anggukan dari Rai. "Perkenalkan saya Nuril, mbak." Terangnya. " Oh iya, bu Nuril. Salam kenal." Sahut Rai. Kalau begitu bagaimana jika kita masuk saja, bu? Tidak enak rasanya bicara sambil berdiri seperti ini." Ucapnya dengan sangat santun. Rai mempersilahkan bu Nuril duduk di kursi tamu, ruang depan. Bu Nuril pun berjalan mengikuti langkah wanita muda di hadapannya. Bu Nuril duduk di salah satu kursi, ia bebas memilih duduk dimana saja, tetapi dia lebih memilih duduk di kursi terluar yang dekat dengan pintu keluar rumah. "Jadi bagaimana bu, ada yang bisa saya bantu?" Rai kembali mengulang pertanyaannya. "Saya ke sini karena ada hubungannya dengan mbah Darmi." Bu Nuril memulai pembicaraannya. Saat mendengar nama mbah Darmi di sebut secara reflek Rai mendengarkan bu Nuril dengan seksama. Ia jadi menebak - nebak apa mungkin mbah Darmi sakit? Karena sampai saat ini mbah Darmi belum juga datang. "Ah, iya bu. Ada apa dengan si mbah? Apa si mbah sakit?" Belum sempat bu Nuril meneruskan ucapannya Rai langsung memotong. "Kurang lebih seperti itu, mbak. Sepertinya mbah Darmi sedang tidak dalam kondisi sehat, jadi saya datang untuk meminta kebijakan dari mbak Rai dan suami untuk memberikan waktu pada mbah Darmi agar bisa beristirahat untuk beberapa hari ke depan." Terang bu Nuril yang telah menyampaikan maksud kedatangannya. "Ya Allah, jika keadaannya demikian tanpa diminta pun tentu kami akan meminta si mbah untuk beristirahat dulu, bu. " Jawab Rai, nampak Rai pun cukup khawatir dengan keadaan wanita berusia senja yang telah ada bersamanya beberapa waktu terakhir itu. "Ya, maka dari itu, mbak, saya sangat yakin mbak Rai dan suami pasti akan memberikan waktu agar mbah Darmi beristirahat, tetapi begitulah si mbah, mbak. Ini pun aku paksa agar mau beristirahat, tadinya si mbah berkeras hati untuk tetap bekerja hari ini. Dia bilang, tidak enak sama mbak Rai dan suami." Papar bu Nuril. "Ya ampun, si mbah." Rai terlihat cukup khawatir. "Kalau begitu tolong dijaga bu, si mbahnya! Biarkan dia istirahat sampai keadaannya benar - benar pulih. Nanti agak siangan saya akan ke sana menemui si mbah." Ucap Rai. Bu Nuril terlihat sangat senang dan tidak menyangka, jika wanita muda dihadapannya ini akan datang untuk menemui si mbah. Ternyata memang benar majikan mbah Darmi ini memang lah sangat baik. "Kalau boleh saya tahu, bu Nuril ini memiliki hubungan apa yah dengan si mbah? Sebab setau saya mbah Darmi sudah tidak memiliki sanak saudara." Ucap Rai. " Memang benar, mbak. Mbah Darmi itu sudah tidak memiliki siapa - siapa lagi. Saya ini tetangga samping rumah si mbah. Kebetulan hubungan kami cukup dekat, karena si mbah sudah tidak memiliki siapa siapa lagi, saya sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri, seperti kepada orang tua sendiri." Papar bu Nuril. Saat keduanya masih mengobrol tentang mbah Darmo, dari dalam rumah, Laras keluar dengan membawa nampan dengan secangkir teh manis hangat diatasnya. Ibunya lah yang sedari tadi meminta agar Laras membuatkan minuman untuk tamu yang sedang ditemui oleh kakak iparnya itu. Saat melihat Laras keluar dengan nampan nya, bu Nuril sedikit terkejut, dia kira yang ada di hadapannya itu adalah Lastri. "Lastri?" Secara spontan bu Nuril menyebutkan nama itu. "Lastri?" Rai terlihat bingung. "Laras bu, ini adik saya yang tinggal di Bogor. Sudah beberapa hari di sini, sedang liburan." Ucap Rai menerangkan tentang Laras yang dikira Lastri oleh bu Nuril. "Ah, iya maaf, mbak. Aku kenal seseorang bernama Lastri dan kebetulan sangat mirip dengan Laras, jadi aku kira Laras ini Lastri. Sekali lagi maaf ya mbak Rai, mbak Laras." Ucap Bu Nuril yang merasa tak enak hati karena telah salah mengira. Melihat bu Nuril yang sangat tidak enak hati. Rai dan Laras pun tertawa secara bersamaan. "Tidak perlu meminta maaf, bu. Bukan masalah." Sahut Rai yang masih tertawa kecil. Bu Nuril pun tersenyum, pipinya nampak memerah, karena malu. "Kalau begitu saya permisi ya, mbak. Sebelumnya Terima kasih sekali karena telah mengijinkan si mbah untuk beristirahat, juga Terima kasih atas teh manis ini." Ucap bu Nuril sambil mengangkat cangkir teh yang ada di hadapannya. "Permisi saya minum ya, mbak." Ucap bu Nuril sambil menatap Rai dan Laras bergantian, dengan cangkir teh yang dia angkat. Semua maksud dan tujuan kedatangannya telah semua ia sampaikan. Tuan penghuni rumah ini ternyata memanglah orang yang sangat baik. Pertemuan pertama meraka terasa seperti bertemu orang yang sudah kenal sangat lama. Bu Nuril pamit berhadapan dengan Rai dan Laras yang berdiri di depannya. Wanita paruh baya itu meninggalkan rumah Rai, berjalan menjauh melewati pekarangan. Saat berjalan di depan rumah itu, katanya seolah tertarik untuk kembali melihat rumah tua itu. Saat di dalam dan berbincang dengan sang pemiliknya tadi dia sempat merasakan nyaman di rumah itu, suasananya terasa biasa saja tidak terlalu menyeramkan seperti banyak gosip yang beredar, walau memang rumah itu berhawa dingin meski tanpa AC yang terpasang. Bu Nuril menjatuhkan tatapannya ke pekarangan samping rumah. Dari kejauhan dia melihat seorang perempuan sedang berdiri di pojok rumah dan menatapnya datar. Tapi terlihat mata itu tertuju lurus padanya. Bu Nuril sempat sedikit bertanya dalam hati, siapa perempuan yang sedang menatapnya itu. Apa. Mungkin adik perempuan mbak Rai juga sama seperti Laras. Tetapi sosok yang dia lihat itu terlihat sangat pucat, wajahnya terlihat sangat sedih. Bu Nuril membuang pandangan dari wanita itu, tetapi saat dia kembali menengok ke arah perempuan itu berdiri tadi, ia tak menemukan perempuan berwajah pucat itu berdiri di sana. "Siapa sih? Bikin kaget aja. Mungkin masih adiknya mbak Rai juga." Gumam Bu Nuril dalam hati, sambil berlalu melangkah jauh meninggalkan rumah majikan mbah Darmi. Wanita paruh baya itu kembali menemui mbah Darmi. Ia masuk melalui pintu dapur sama seperti sebelumnya. Pintu pun masih dalam keadaan terbuka sama seperti saat dia meninggalkan rumah itu. Di dalam rumah, bu Nuril menemukan si mbah yang baru saja selesai dengan makanannya. "Alhamdulillah, sudah dimakan, mbah?" Tanya bu Nuril saat melihat mbah Darmi menyelesaikan suapan terakhirnya. "Alhamdulillah, aku kenyang." Sahut mbah Darmi sambil mengusap perutnya sendiri. Bu Nuril tersenyum melihatnya. "Ada anakku mencari ke sini, mbah? " "Iya, tadi anakmu yang kecil, Rofi, ke sini." Jawab mba Darmi. "Aku sudah sampaikan ijin pada mbak Rai, dia minta si mbah istirahat dulu sampai benar - benar sehat. Dia juga bilang, kalau nanti dia akan ke sini, nengok si mbah." Papar bu Nuril. Sekarang, mbah, apa masi ada yang dibutuhkan? Selagi aku masih di sini." Tanya bu Nuril. "Sudah, aku tidak ingin apa - apa. Perut sudah kenyang, tinggal istirahat saja." Jawab mbah Darmi. "Kalau begitu aku pulang dulu yah. Nanti aku nengok lagi. Atau kalau si mbah butuh sesuatu panggil aku saja yah." Ucap bu Nuril sebelum pulang. Setelah meninggalkan rumah mbah Darmi, bu Nuril baru teringat dengan Laras, sosok yang begitu mirip dengan Lastri anak semata wayang si mbah. "Nanti sajalah aku tanyakan, jika ingat." Gumam bu Nuril dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD