Tiga Puluh Enam

1161 Words
Hari ini tidak sama dengan hari - hari sebelumnya. Rutinitas setiap hari yang hampir dia lakukan selama beberapa minggu ini, pagi ini tidak ia lakukan. Wanita tua itu ragu, apakah dia harus datang ke rumah majikannya atau kah meminta izin untuk beberapa hari ke depan. Jika boleh jujur, wanita yang sudah di penghujung usianya itu baik - baik saja dalam keadaan fisiknya, tetapi perasaannya dan pikirannya lah yang sedang tidak baik - baik saja. Sehingga semua itu mempengaruhi semangat hidupnya. Saat meminta ijin untuk pulang pergi sementara, selama beberapa hari ke depan, mbah Darmi berencana untuk datang dan mulai bekerja dari pagi hari, tetapi sampai jam di dinding menunjukan pukul delapan pagi dia belum juga berniat untuk berangkat. Dia memiliki perasaan tidak enak hati pada kedua majikan yang sudah sangat baik padanya itu, tetapi rasanya dia pun tidak sanggup jika harus bertemu dengan gadis remaja yang di matanya terlihat sangat terlihat mirip dengan Lastri. Dari sejak bangun subuh tadi, mbah Darmo belum sedikit pun bergeser dari tempatnya berserah diri pada tuhannya. Dia masih duduk dengan rapih di alas sujudnya. Memohon kekuatan dan keikhlasan hati atas segala takdir hidup yang memang harus ia jalani. Sampai akhirnya solat subuh dia lanjut sampai solat dhuha, dia masih juga terpaku di sana. Di tempat itulah ia merasakan perasaan paling nyaman, saat mencurahkan segala perasaan yang ia miliki kepada sang pemiliki kehidupan. Bersujud menumpahkan segala beban di hati dan pikiran yang selalu mengiringi jalan kehidupannya. "Mbah, mbah, si mbah masih di rumah?" Berbarengan dengan ketukan dari pintu belakang rumah wanita tua itu, bu Nuril memanggil manggil mbah Darmi. Mbah Darmi menyelesaikan salam terakhirnya. Dan akhirnya beranjak dari posisi duduknya bersimpuh. "Ya, aku masih di rumah, Ril."Mbah Darmi menyahut sambil melangkahkan kaki menuju pintu belakang. Perlahan dia menekan pegangan pintu belakang dan membuka pintu yang sebelumnya ia kunci dengan kunci kayu. Dilihatnya wanita paruh baya yang sudah seperti anak untuknya itu, berdiri dibalik pintu dengan membawa nampan berisi makanan dikedua tangannya. "Si mbah, jadi berangkat ke rumah mbak Rai dan mas Pras tidak hari ini?" Tanya bu Nuril. Tanpa di persilahkan bu Nuril pun masuk ke dalam rumah mbah Darmi, melalui dapur rumah tentunya. Ia meletakkan nampan berisi makanan yang dia bawa, di atas meja tempat mbah Darmi biasa menyimpan makanan. Di tutupnya dengan menggunakan tudung saji yang terbuat dari rotan. Mbah Darmi belum menjawab pertanyaan yang bu Nuril ajukan tadi. Mbah Darmi masih terlihat bingung dengan keinginannya sendiri. "Mbah, si mbah hari ini mau ke tempat mbak Rai apa tidak? Kalau memang tidak, nanti biar aku yang ke sana untuk memintakan ijin." Dengan baik hati bu Nuril menawarkan diri untuk membantunya. "Aku sepertinya kurang sehat, Ril. Tetapi aku tidak enak dengan mereka kalau aku tidak datang. Apalagi sekarang sedang ada tamu di rumah mereka, pasti tenaga aku mereka butuhkan." Ucap mbah Darmi yang masih terdengar penuh keraguan. "Jangan seperti itu, mbah. Kalau si mbah memang sedang tidak sehat, ya jangan dipaksakan! Aku yakin, mbak Rai pun pasti memaklumi." Ucap bu Nuril. "Ya sudah, kalau begitu mungkin aku akan minta ijin untuk hari ini." setelah diam cukup lama akhirnya mbah Darmo mau untuk ijin bekerja. "Kalau begitu, sekarang aku akan ke rumah mbak Rai, memintakan ijin untuk si mbah." Ucap bu Nuril. Mbah Darmi terlihat menganggukkan kepalanya. "Sekarang aku pergi dulu, ini makanan yang aku bawa si mbah makan yah! Nanti aku pulang, si mbah harus sudah makan." Ucap Bu Nuril dengan penuh perhatian. Semua memang harus disyukuri. Di saat anak yang diharapkan nyatanya tak juga kunjung hadir di hari - hari tuanya, allah menggantinya dengan orang berhati baik yang memperhatikan dirinya tak bedanya seperti seorang anak. Mbah Darmi sangat bersyukur, karena telah dikirim tetangga baik hati seperti bu Nuril dan keluarganya. "Oh, iya mbah, aku sekarang mau ke rumah mbak Rai. Takut anakku cari, nanti tolong bilang aku ke rumah mbak Rai dulu, sebentar pulang." Ucap bu Nuril menitip pesan pada mbah Darmi untuk anak - anaknya. "Iya, nanti kalau anakmu kemari aku sampaikan." Sahut mbah Darmi. "Makasih ya, Ril. Maaf aku selalu saja merepotkan kamu." Lanjut mbah Darmi dengan tulus. Ucapannya benar - benar mewakili perasaannya kepada bu Nuril selama ini. "Jangan seperti itu, mbah! Aku tulus ikhlas membantu si mbah. Si mbah sudah aku anggap seperti orang tua aku sendiri. Kita sudah seperti keluarga." Bu Nuril pun terdengar sangat tulus pada mbah Darmi. Ia tahu wanita tua di hadapannya ini benar - benar butuh seseorang untuk menemaninya. " Ya sudah, aku tinggal dulu yah." Bu Nuril pun berlalu meninggalkan mbah Darmi yang terduduk di depan meja berisi makanan yang tertutup tudung saji. Selama ini mbah Darmi merasa sudah sangat banyak merepotkan keluarga bu Nuril. Walaupun yang banyak berinteraksi dengan dirinya adalah bu Nuril, tetapi semua keluarganya pun sama baiknya dengan bu Nuril. Bahkan suami bu Nuril sama sekali tidak pernah mempermasalahkan istrinya itu membantu wanita tua yang tinggal di sebelah rumahnya itu. Suami bu Nuril tidak pernah mempermasalahkan jika istrinya mengambil sebagian makanan di rumah mereka untuk di bagi dengan mbah Darmi. Begitu pun dengan anak - anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa, mereka tidak pernah melarang ibu mereka menghabiskan banyak waktunya untuk menemani wanita tua itu. Mbah Darmi benar - benar sangat merasa bersyukur karena diberikan tetangga yang baik hati seperti keluarga bu Nuril. Bu Nuril berjalan menyusuri gang kecil yang mengarah keluar perkampungan, sesekali dia sempat berbincang dengan tetangga yang menyapa ketika ia lewat depan rumah mereka. Di perkampungan tempat tinggal mereka ini, memang masih kental rasa kekeluargaan antar warga. Bahkan tidak hanya bu Nuril hampir seluruh seluruh warga kampung itu saling perduli satu sama lain, termasuk kepada mbah Darmi yang memang tinggal sebatang kara. Karena bu Nuril yang posisi tempat tinggalnya tepat di samping mbah Darmi, membuat ia lebih memiliki hubungan yang lebih erat dengan wanita sebatang kara itu dibanding warga lainnya. "Pagi - pagi mau pergi kemana, bu Nuril?" Sapa pemilik warung sembako yang menjadi langganan wanita paru baya itu. "Eh, bu, ini mau ke rumahnya mbak Rai, penghuni baru rumah bangunan tua di pinggir jalan itu." Jawab Bu Nuril menjawab basa - basi dari tetangganya itu. " Mari." Lanjutnya. "Iya, iya, silahkan." Sahut pemilik warung, menutup percakapan singkat diantara mereka. Begitulah warga Desa, saling sapa, basa basi masing sering mereka lakukan. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sudah individual, setiap orang mengurus urusannya masing - masing. Bahkan tetangga samping rumah pun belum tentu saling kenal satu sama lain. Bu Nuril sudah keluar dari gang perkampungan. Dia telah tiba di jalan besar mengarah keluar perkampungan. Tinggal belok kanan dan melewati beberapa rumah saja dia pun akan sampai di rumah tujuannya. Saat tiba di depan rumah tua itu, bu Nuril tidak langsung memasuki pagar. Wanita paru baya itu sempat terdiam sejenak di luar pagar. Dalam hatinya bergumam, ada juga rupanya orang yang menempati rumah ini, setelah sekian lama kosong. Banyaknya cerita dan gosip - gosip tidak baik tentang rumah itu, membuat sebagian warga desa yang mengetahuinya cerita tersebut menganggap rumah itu begitu seram dan berpikir tidak akan ada orang yang berani menempatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD