Tiga Puluh Dua

1100 Words
Wanita tua itu jalan perlahan menuju rumah yang beberapa bulan belakang ini ia tinggali sendiri. Sudah berminggu - minggu lamanya ia tidak meniduri rumah yang menjadi satu - satunya harta yang ia miliki itu. Beberapa kali ia pernah menengoknya tetapi tidak sampai tidur di sana, ia datang hanya untuk sekadar membersihkan atau menghilangkan bau pengap karena jarang ditinggali. Hari ini dan beberapa hari ke depan ia berencana untuk tidur di sana, kedua majikannya telat mempersilahkan ia untuk pulang pergi selama ada ibu dan adik mereka yang sedang bertamu untuk beberapa hari ke depan. Rumah yang menjadi tujuannya itu sudah semakin dekat, hanya tinggal melewati beberapa rumah saja ia pun akan sampai. Dari kejauhan sudah nampak berdiri seseorang yang sangat mbah Darmi kenal. Tetangga yang selama ini selalu ada untuknya itu, berdiri dari kejauhan mengamati kedatangannya. Sebenarnya bagi mbah Darmi, Bu Nuril dan keluarganya itu sudah cukup untuk menemani masa tuanya. Keluarga tetangga sebelah rumahnya itu sudah mengganggap ia seperti bagian dari keluarga itu sendiri. Apalagi bu Nuril sendiri sudah tidak memiliki orang tua, yang saat ini ia punya hanya seorang ayah mertua yang ikut tinggal bersama salah satu kakak iparnya di kota lain. walaupun sulit untuk orang lain pahami, kenapa mbah Darmi bersikeras hati untuk tetap bekerja di usia tuanya. Wanita tua itu tidak menghiraukannya, ia tetap ingin kembali masuk kedalam rumah itu, rumah yang selama beberapa tahun pernah ada dalam hidupnya. Ingin melepaskan sesuatu yang selama ini mengganjal perasaannya, dan ia harus mendapatkan jawaban itu sesegera mungkin. Ia tidak tahu kapan ajal akan menjemput wanita tua sepertinya. "Mbah, tumben jam segini si mbah pulang? Apa ada barang yang harus diambil?" Bu Nuril bertanya ketika mbah Darmi sudah ada tepat dihadapannya. "Mbak Rai dan ibu mertuanya sedang pergi. Aku minta ijin untuk pulang cepat." Jawab mbah Darmi dengan nada bicara yang sedikit lemas. "Si mbah kenapa ,mbah. Sakit?" Tanya bu Nuril, khawatir. Mbah Darmi memang terlihat sedikit pucat, bu Nuril pun menyadari ada yang berbeda dari wanita berusia senja yang beberapa tahun belakangan ini hampir setiap hari ada bersamanya. "Ah, tidak. Si mbah hanya sedikit lelah saja mungkin habis jalan." Jawab mbah Darmi berbohong. Mbah Darmi sendiri sebenarnya tahu jika dia tidak sedang baik - baik saja, tetapi dia tidak tahu kenapa dirinya bisa seperti ini. Perasaannya terasa sangat perih dan sedih. Ia merasa sangat kesepian. Padahal selama berbulan - bulan hidup sendiri, bahkan saat awal - awal kepergian suaminya ia selalu tegar menjalani hidup. Ia selalu merasa ikhlas dengan segala sesuatu hal yang terjadi pada hidupnya. Laras, gadis remaja yang sama sekali tidak dia kenal itu, mengapa bisa membuatnya merasa sedih hanya ketika melihatnya? Gadis itu bahkan tidak berbuat apa - apa yang melukai perasaannya. Dia gadis manis yang terlihat manja dan ceria. "Jangan bohong pada Nuril, mbah. Aku tahu si mbah sedang tidak enak badan." Sahut bu Nuril. Wanita paruh baya itu tahu jika tetangga yang sudah seperti keluarga baginya itu sedang menyembunyikan keadaannya. Bu Nuril yang khawatir tentu saja terus mengekor langkah mbah Darmi dibelakangnya. Mbah Darmi tidak langsung membuka pintu rumah. Ia lebih dulu terduduk di bale - bale yang ada di depan rumahnya. Ia merogoh kunci yang ada di salah satu saku bajunya dan menyodorkannya pada bu Nuril. "Tolong bukakan! Mataku sudah tidak awas, susah memasukan ke lubangnya." Pinta mbah Darmi. Bu Nuril pun mengikuti permintaan si mbah. Ia meraih kunci rumah yang mbah Darmi berikan. Di bukanya pintu rumah yang terkunci itu. Setelah pintu terbuka, mbah Darmi masih tetap duduk di atas bale bambu. Seolah dia belum mau beranjak dari sana. Bu Nuril menghampiri mbah Darmi dan ikut duduk di sampingnya. Ia bertambah yakin jika wanita tua itu pasti sedang tidak baik - baik saja. Sedari tadi ia melihat mbah Darmi banyak melamun. Bahkan wanita tua itu melamun saat sedang berjalan. Ia yang selalu bersemangat di usia senjanya, kali ini terlihat banyak diam. "Mbah, apa yang si mbah rasa? Lemes, capek atau pusing?" Tanya bu Nuril mencoba mencari tahu. "Benar, ril. Aku tidak apa - apa." Jawab mbah Darmi datar. "Jangan bohong sama aku, mbah. Kan kemarin aku sudah bilang, kalau si mbah tiba - tiba ngerasa tidak enak badan saat kerja, jangan ragu - ragu bilang sama aku." Ucap bu Nuril. "Iya, aku gak bohong. Mungkin aku cuma sedikit capek saja. Maklum sudah tua." Jawab mbah Darmi. "Kalau begitu, si mbah minta ijin saja sama mbak Rai dan mas Pras untuk beberapa hari ke depan. Sampai keadaan si mbah sudah normal kembali." Ucap bu Nuril memberikan saran. Mbah Darmi tidak langsung menjawab. Dia sejenak terdiam, mungkin sedang memikirkan saran yang dikatakan tetangganya itu. "Kalau si mbah mau, nanti aku yang datang kepada mereka untuk mintakan ijin." Mbah Darmi hanya mengangguk. "Si mbah sudah makan? Atau mau aku buatkan teh manis hangat?" Ucap Bu Nuril yang cukup khawatir jika mbah Darmi sakit. "Aku sudah makan, iya boleh teh hangat." Sahut mbah Darmi. Bu Nuril pun beranjak dari duduknya. Ia berjalan masuk kedalam rumah untuk menuju dapur. Mbah Darmi cukup rapih dalam merawat rumah, dapur bahkan terlihat sangat bersih. Bu Nuril pun dapat dengan mudah menemukan barang - barang yang dia perlukan, walaupun dapur itu bukan dapur miliknya. Memang selama ini bu Nuril cukup sering menjamah dapur itu untuk membantu mbah Darmi. "Mbah, ayo masuk! Tehnya sudah aku simpan di atas meja. Si mbah lebih baik istirahat, rebahan di dalam." Ucap bu Nuril. Jika melihat keadaan mbah Darmi yang sedang sakit seperti sekarang ini. Bu Nuril sangat merasa kasihan dengan wanita yang sudah tidak memiliki siapapun di masa tuanya itu. Kadang dalam hati kecilnya terbersit kekecewaan pada anak semata wayang yang mbah Darmi punya. Mengapa anak perempuannya itu dengan tega melupakan seorang ibu yang sangat mencintainya itu? Semua orang di kampung itu tahu betapa mbah Darmi dan mendiang suaminya dulu begitu menyayangi anak yang mereka tunggu selama puluhan tahun itu. Selama ini Mbah Darmi memang tidak pernah membahas tentang anak perempuannya itu. Ia tidak mau semua penduduk desa menganggap Lastri anak yang durhaka karena pergi dan tidak memberikan kabar, seolah menghilang. Membiarkan kedua orang tuanya yang telah tua hidup dalam kerinduan padanya setiap hari. Mbah Darmi masih meyakini anak yang paling dia kasihi itu memiliki alasannya tersendiri, mengapa dia tidak datang setelah bertahun-tahun pergi. Baginya, Lastri adalah anak yang paling baik dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Mbah Darmi meyakini tidak mungkin anak perempuannya itu tidak pernah lagi datang kepada ia dan mendiang suaminya tanpa alasan yang kuat. Dalam diam, mbah Darmi sendiri merasa sesuatu yang buruk mungkin telah terjadi kepada putrinya itu. Tetapi dia sangat takut untuk membayangkannya. Ia masih berharap suatu hari nanti dapat bertemu dengan anak yang sudah sangat ia rindukan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD