Jomblo
Malam semakin larut. Kenangan bangku SMA, putih abu-abu itu kembali mengusik ketenanganku. Mengingatnya, sungguh membuat aku tak habis pikir. Dulu. Betapa sombongnya aku waktu itu.
Mempermainkan perasaan perempuan, dengan seenaknya. Aku tak peduli, meski diantara mereka ada yang terluka. Julukan play boy cap kapak, begitu melekat di diriku.
Ya. Itu dulu. Sekarang, tak satu pun perempuan mau mendekatiku. Rasanya garing banget, hidup aku sekarang.
Padahal, usiaku sudah tak muda lagi. Bujang lapok, adalah predikat yang harus aku terima untuk saat ini.
Tapi, ya sudahlah. Kalau memang Tuhan mentakdirkan aku menjomblo seumur hidup, aku bisa apa? Selain harus pasrah dan ikhlas.
***
Subandi, sahabat karib sejak di bangku SMA, paling risau memikirkan nasibku. Karena tak kunjung mendapatkan jodoh. Bahkan, demi menolong aku.
Dia berusaha mengenalkan dengan beberapa teman-temannya yang perempuan.
"Aku heran ya Bro, sama kamu. Diantara perempuan-perempuan yang aku kenalkan, tak satu pun yang jadi seleramu," seloroh Subandi yang mencoba ingin tahu tentang perasaanku, ketika bertemu perempuan.
"Jangan....jangan.....!" celetuk Subandi.
Aku langsung menimpali.
"Jangan-jangan, kamu nggak normal, ya Bro! Itu kan, kalimat berikutnya yang ingin kamu lontarkan untuk aku?" kataku, coba menebak sambungan kalimat dari Subandi tadi.
"Hahahaha. Aku nggak ngomong begitu ya. Itu pernyataan kamu sendiri lho ya, baru saja," kilah Subandi terkekeh.
"Dasar gemblung kamu!" kataku sambil kutonjok perut buncitnya.
"Bug!" spontan Subandi mengaduh kesakitan.
"Awas kalau aku mati, nggak ada lho mak comblang sepintar aku!" kata Subandi, sembari memegangi perut buncitnya yang baru saja aku tonjok itu.
Setelah puas bergurau, aku mengajak Subandi makan nasi padang lauk gulai jengkol.
"Bro. Kalau mau dapat jodoh, jangan keseringan makan jengkol." kata Subandi mengejekku.
Dia orangnya memang suka aneh-aneh. Suka buat aku emosi. Tapi, seemosi apa pun aku, rasanya tak bisa membenci dia.
***
"Bro. Kapan makan-makan gratis orang se-Kampung?"
Pertanyaan yang ke seribu itu, selalu membuatku bosan untuk menjawabnya.
Tapi, meski demikian, aku selalu berusaha menjawabnya dengan suka cita.
"Oalah. Sekarang ini kan, masih masa pandemi wabah virus corona. Mana boleh kumpul ramai-ramai," jawabku, penuh diplomasi.
"Hahahahah." Subandi tertawa lepas.
Bagiku, Subandi Itu teman yang paling menyebalkan. Tapi bikin happy.
Kalau ada kawannya mengatakan pesta nikah, aku selalu dipaksa untuk menemaninya. Alasan Subandi, dia nggak punya kawan, selain aku. Jadi, dia minta ditemani.
Hmmm. Punya teman kok nggak yang beres. Terus, dia juga suka ngenalin cewek ke aku. Tapi, tak satu pun masuk dalam penilaian aku.
Aku sendiri juga heran. Aku belum merasa tertarik sama teman-teman Subandi.
Di mataku, cewek-cewek rekomendasi Subandi, biasa-biasa saja. Belum ada yang menggetarkan jiwa.
Diantara belasan cewek yang pernah dikenalkan ke aku, belum ada yang seperti Sabrina. Perempuan dua puluh dua tahun silam yang pernah menghiasi hari-hariku saat di bangku putih abu-abu.
Pengkhianatan Sabrina, masih membuatku trauma untuk memulai cinta yang baru.
Memang, aku play boy, waktu itu. Tapi, jujur, hanya satu perempuan yang benar-benar aku cinta, hanya Sabrina.
***
Kubuka album lama yang sudah usang. Aku rindu sosok perempuan yang kasih sayangnya begitu tulus.
Siapa lagi, kalau bukan Mama. Mungkin, kalau Mama masih ada di hadapanku, pasti aku selalu didesak dan ditanya kapan dikenalkan sama calon mantu.
"Maaf, Ma. Sampai usiaku kepala empat. Aku belum bisa menemukan perempuan pengganti seperti Sabrina."
"Ma. Doakan aku dari sana ya Ma. Supaya Tuhan mengirimkan bidadari seperti Sabrina, buat aku." gumamku dalam hati.
Andai Mama masih ada di dunia ini, pasti aku tak terlalu kesepian seperti sekarang.
"Aku bukan nggak berusah Ma, mencari bidadari itu. Tapi, tak satu pun melekat di hati." kataku lagi, dalam hati, sedih.
Sementara, Yoga adikku nomor dua, dan Fitri si bungsu, sudah bahagia bersama lelaki pujaannya.
Aku berharap mereka bahagia sampai ke anak cucu, bersama belahan jiwanya.
Banyak kenangan manis yang tak bisa kulupa. Sabrina, selalu baik sama Mama.
Aku pernah berkhayal waktu itu, suatu hari, Sabrina benar-benar bisa menjadi calon menantu idaman Mama.
Sabrina oh Oh. Kenapa aku harus mengenangmu sampai sekarang. Padahal, mimpi-mimpi indah itu sudah kamu porak-porandakan.
Harusnya aku berhenti berkhayal tentang kamu. Harusnya aku bisa membunuh bayanganmu. Kalau itu bisa aku lakukan, pasti sudah aku lakukan dari kemarin.
Sabrina, kumohon pergilah dari hidup aku. Jangan siksa aku seperti sekarang. Sekarang kamu sudah bahagia dengan lelaki pilihanmu.
Sabrina, ajari aku bagaimana melupakan semua kenangan tentang dirimu. Bebaskan aku dari belenggu cintamu!
Bantu aku memulai hidup baruku. Aku juga ingin bahagia, Sabrina!
***
"Sudahlah. Mas Bro. Lupain cewek Mas Bro yang lama itu. Kan dia juga sudah bahagia sama lelaki pujaannya," kata Subandi, yang tiba-tiba nyelonong masuk kamar, membuyarkan lamunanku.
"Pintu ruang tamu nggak dikunci. Orangnya ngayal di kamar. Kalau ada maling. Bisa habis permatamu dicolong maling," seloroh Subandi.
"Permata apaan. Permataku sudah hilang dua puluh dua tahun yang lalu digondol maling tak dikenal," sebutku.
"Hahahaha. Ada ada saja sih Mas Bro ini!" celetuk Subandi lagi.
"Move on Mas Bro. Move on. Ini sudah 2022. Dua puluh dua tahun lalu kan, udah jaman penjajahan dahulu kala. Dia aja belum tentu ingat Mas Bro. Eh Mas Bro masih ingat-ingat dia. Rugiiiiiii......pakai banget, Mas Bro!" celoteh Subandi memekakkan telingaku.
"Bukan aku nggak bisa move on. Tapi, emang otakku nggak bisa lupain dia. Dia perempuan hebat yang tak akan pernah aku temui lagi," jelasku panjang lebar, mencoba mencari pembelaan diri.
Subandi semakin terkekeh dengan penjelasanku. Tapi, benar adanya pernyataanku tadi. Di otakku, Sabrina memang perempuan sempurna.
"Mas Bro. Sabtu aku ada acara reuni SD. Temani aku yuk, Mas Bro. Pleasssssss!?" kata Subandi, sambil menangkupkan kedua telapak tangannya, memohon kepadaku.
"Hahahahha. Aneh kamu. Aku kan bukan alumni sekolahmu. Lagian, kok ada sih, reunian jaman sekolah SD. Bukannya yang kekinian itu, reunian sekolah SMA." kataku mencoba memprotes Subandi.
"Aduh. Kenapa gini sih kawan aku sekarang. Susah diajak kompak. Plissssss, temani aku. Aku nggak punya teman selain kamu, Mas Bro!" kata Subandi lagi, memohon lagi.
Aku jelas menolak ajakan Subandi. Mau apa pun yang terjadi, aku tolak ajakan dia. Lagian aku bukan bagian dari alumni sekolah SD nya Subandi. Kalau aku ikut, pasti kesannya aneh.
"Nggak ah. Malas nanti aku dikejar emak-emak. Kan aku masih perjaka. Jadi takut, aku membayangkannya!" elakku lagi.
"Hmmmm. Sok kegantengan Mas Bro ini. Ayolah Mas Bro!" pintanya lagi setengah mendesakku.
Kusuruh dia mengajak istrinya. Tapi, kata dia, istrinya nggak tahu. Kalau tahu, pasti Subandi dilarang pergi.
Kurasa, Subandi itu takut sama istrinya.
"Eh. Aku ada kenalan kawan. Dia minta tolong ke aku. Kalau ada yang mau gabung di komunitas ISTI, tinggal bilang aja. Enak lho. Di komunitas itu, ada refresingnya tiap bulan. Keluar kota. Uang iurannya hanya seratus ribu rupiah tiap bulan!" jelasku.
Tapi, spontan, Subandi langsung paham, apa itu komunitas ISTI.
"Hmmmm. Maksud Mas Bro, aku disuruh masuk ke grup Ikatan Suami Takut Istri? Kampret juga Mas Bro ini!" jawab Subandi panjang lebar.
Aku pun tertawa lepas, melihat responnya!
"Hahahahahahahah!" (***)