Empat

2401 Words
Benar seperti janjinya, pukul delapan pagi Axell sudah ada depan rumah Mala. Mala pun telah siap mengenakan seragam kerja karena setiap hari kamis pasti seluruh karyawan diwajibkan mengenakan seragam kerja perusahaan. Setelah berpamitan pada ibu, Mala pun membonceng di belakang motor Yamaha R25, motor sport yang membuat penumpangnya harus agak membungkuk itu. Mala memilih memegang ujung jaket Axell dari pada harus memeluk kan, emangnya dia siapa? Peluk-peluk orang sembarangan? “Mau kemana nanti?” Tanya Mala memecah percakapan dengan mister X secret admirer –ganteng- nya itu. “Enaknya kemana?” “Ditanya malah balik nanya, gak kreatif.” Axell terkekeh, “Ke cafe temen aja ya sekalian makan malam, tempatnya enak kok.” “Bolehlah.” Tutur Mala, aneh sekali. Mengapa dia merasa nyaman berbicara dengan pria ini. Axell memang ramah, omongan mereka nyambung dan ada feed backnya selalu ada bahan pembicaraan sehingga tak terasa, sudah tiba di kantor. Mereka berjalan bersisian ke ruangan, suasana kantor masih cukup sepi. Setelah Mala duduk, Axell mengusap pucuk kepala Mala dan berjalan ke tempatnya. Sentuhan kecil yang nyaris membuat jantung Mala meledak. Setelah pulang kerja mereka langsung berangkat ke cafe yang cukup jauh dari tempat kerja mereka. Cafe ini sangat unik namun keren. Ada beberapa kursi yang terbuat justru dari bahan daur ulang, salah satunya dari peti buah, tong bekas bahan bakar, sementara di bagian lain ada tempat yang telihat mewah. Sepertinya cafe ini mengusung tema kebebasan. Ya kebebasan memilih mau makan di spot yang mana? Sementara itu di tengah cafe ada layar televisi delapan puluh inci, dan panggung yang mana ada alat musik lengkapnya. Dari drum, gitar, piano. Suasana cafe tak terlalu ramai, hanya ada beberapa kerumunan pria yang sepertinya anak kuliah, dan sepasang muda-mudi yang sedang berpacaran. Axell celingukan tampak mencari seseorang, dan orang yang dicarinya sepertinya tahu dan langsung berjalan cepat menghampiri Axelle, diikuti seorang wanita berpakaian seksi. Juga berkalung salib. “Wah kedatangan pak bos terhormat. Lagi sidak bos?” Ledek pria tinggi bertato itu. wanita di belakangnya juga mempunyai tato di dadanya. “Siapa nih?” Tanya wanita bertato itu menjulurkan kepalanya melihat Mala. Mala tersenyum tak enak, matanya menyorotkan pertanyaan yang sama pada Axell. “Mala, kenalin ini Stephan pemilik cafe dan cewek bawel ini istrinya, Retha.” Stephan dan Retha menyalami Mala, “Bohong tuh, yang ada juga dia pemilik cafe modalnya dari dia semua, gue dan Retha Cuma pengelola aja. Oiya Stephanus, dipanggil Stephan.” Ucap Stephan sambil menjabat tangan Mala. “Nirmala, dipanggil Mala.” Ucap Mala, sementara Axell hanya tertawa sambil menyikut Stephan yang tersenyum jahil. “Wah Okinya mana Nirmala? Gue Margareth biasa dipanggil Retha sama dua kunyuk ini.” Kenal Retha sambil tertawa mengejek ke suaminya. Stephan hanya menjulurkan lidahnya. Pasangan yang unik. “Oki siapa?” Tanya Mala “Wah, generasi tahun sembilan puluh masa enggak tahu kisah Oki dan Nirmala, itu lho yang di majalah Bobo.” “Oalah,” Mala menepuk keningnya pelan, “Udah cuekin aja dia mah suka ngomong yang aneh-aneh.” Tutur Axell sambil menghela Mala untuk duduk di sudut ruangan dekat jendela. Stephan dan Retha mengekor mereka berdua, Retha menyodorkan buku menu untuk Mala. Mala memesan spaghety, menu yang menurutnya aman karena dia tak tahu nama-nama makanan lain tak dikenalnya, daripada salah makan yang berakibat diare yakan? Dan ternyata Axell pun memesan menu yang sama. Stephan menyeringai dan menarik Axelle, “Khusus buat elo, Elo yang masak!” Ucap Stephan memaksa Axell berdiri. “Dih, elo kan tau gue gak bisa masak.” “Klo gak bisa masak ngapain elu bikin cafe njirr!” “Ya karena gue suka makan haha simple, masak kan urusan kalian berdua.” Axell ingin duduk lagi namun dicegah Stephan. “Ikut gue cepet.” Paksanya sambil berjalan menjauh dari meja, sementara Retha duduk di kursi samping Mala. “Kalian udah lama kenal?” Tanya Retha dengan senyum ramahnya. “Sebenernya kami satu kantor,” “Iya keliatan dari seragam kerja kalian sama haha,” Mala tertawa tak enak, jawaban bodoh. “Ini pertama kalinya gue liat Axell bawa cewek kesini, gue gak pernah liat dia pacaran sebelumnya padahal kenal dari kecil. Kita sahabatan bertiga.” Mata Mala menyelidik dengan kening berkerut. “Woy, jangan mikir ada cinta segitiga. Hahaha gak mungkin banget, dulu emang yang pertama gue sukain itu Axell, tapi ditolak mentah-mentah. s**t banget kan! Trus malah jadinya sama si Stephan.” Betul kata Axell, wanita ini cukup cerewet. Ralat, sangat  cerewet! “Dia dipanggil Axell dari dulu?” Tanya Mala, karena yang dia tahu dikantor dipanggil Jojo. “Ya, semua keluarga dan teman dekat manggilnya Axell, Cuma temen kerjanya aja yang manggil Jonathan. Dan gue rasa dia lebih nyaman dipanggil Axell sebenernya.” Mala hanya mengangguk, tak lama Axell muncul dan mengusir Retha dengan terang-terangan. “Pokoknya jangan percaya apa yang diomongin nenek lampir itu.” Tunjuk Axell di depan hidung Retha, membuat wanita itu sebal dan bergegas pergi sambil memanyunkan bibirnya. *** Selang sepuluh menit dua hidangan spaghety telah mampir di meja mereka. Hidangan yang membuat Mala tertawa dan membuat Axell membentuk alis secara aneh. Bagaimana tidak? Spaghety itu dibuat berbentuk hati dengan taburan keju justu di tengah lubang hati plus ada tulisan dengan saus dan mayonaise di pinggir piringnya, “Axell love you.” Axell menoleh ke arah pantry dimana terdapat pintu kaca, dan disanalah para karyawan cafe tertawa cengengesan sambil membentuk tanda peace dengan jarinya. Axell menggorok leher dengan ibu jarinya, mengancam kejahilan mereka. Tak lama seorang waitress membawakan dua minuman tak ada yang aneh, hanya bentuk strawbery nya saja dibuat hati. “Udah sih, ini enak lho.” Mala mencoba menarik perhatian Axell yang sedang mengancam para karyawan dengan bahasa tubuh. “Mal,” “Eihmm,” jawab Mala dengan mulut penuh makanan. “Pacaran yuk,” Axell memutar spaghety dengan garpunya. “Hayuk,” Jawab Mala cepat. membuat Axell mendongak tak percaya. “Cepet banget jawabnya?” Protes Axelle, tapi Mala hanya tertawa, diletakkan garpu di piring, lantas dia minum untuk membasahi tenggorokannya. “Klo hanya untuk pacaran, sayang-sayangan, kasih perhatian dan sebagainya gue bisa. Tapi klo untuk dua hal gue gak bisa.” Ya Mala, anak sulung yang terbiasa mandiri, selalu bisa berfikir cepat dalam mencari sebuah solusi. Solusi yang terkadang suka disesalinya sendiri karena terlalu cepat mengambil keputusan. “Apa?” Tanya Axell penasaran. Mala mengacungkan satu jarinya, “Pertama, Free s*x, sorry gue bukan penganut s*x bebas, enggak boleh juga. Dosa besar.” Lalu Mala mengangkat jari tengahnya, membentuk dua jari, “yang kedua, Komitmen. Ya.. kita kan beda keyakinan, gue rasa gak akan bisa kita menikah.” Axell terdiam, tenggorokannya terasa pahit. Pahit menerima kenyataan yang selama ini menghalanginya untuk mengungkapkan cinta pada wanita yang ada di hadapannya ini. Lain halnya dengan Mala yang anak sulung, Axell merupakan anak terakhir yang manja pada kakak-kakak dan orangtuanya. Karena sayangnya sama Axell bahkan semua kakaknya selalu menuruti Axell sehingga dia bisa selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Tapi untuk masalah hati, entahlah? Axell ingin memiliki Mala sepenuhnya, namun benteng besar nan kokoh terasa sangat menghalanginya. Lama mereka terdiam, Mala pun sebenarnya merasa bimbang. Tapi dia tak mau menyia-nyiakan kebahagiannya. Masalah menikah urusan belakangan baginya. “Gimana?” Tanya Mala karena Axell masih terdiam juga. Axell mendongak dan mengangguk. “Untuk free s*x ya gue setuju, lagian gue juga enggak mau lah mengotori wanita yang gue sayang. Cinta itu harusnya melindungi, bukan merusak kan?” Axell mengangat kedua alisnya dan tersenyum. Manis. “Untuk komitmen, hmmm yaa memang begitu lah konsekuensi hubungan kita. Jadi kita jalani ini dengan gembira ya.” Tutur Axell, Mala hanya mengangguk. “Jadi kita resmi jadian nih?” Tanya Mala lagi. Kali ini Axell mengangkat kelingkingnya untuk ditautkan ke kelingking Mala. “Kayak anak kecil ih,” Desis Mala, “Udah sini sih.” Paksa Axell menarik tangan Mala, setelah kelingking itu terpaut dia pun mengecup tangan Mala dengan tatapan mesra yang penuh cinta. Mala merasa melayang, bahkan dia tak bisa merasakan apakah kakinya masih menyentuh lantai saat ini? Axell meminta Mala memakai cincin pemberiannya, dan karena Mala masih membawa di tas, diapun dipakaikan cincin itu oleh Axelle. “Cantik.” Puji Axelle. Membuat pipi Mala bersemu merah. *** Tahukah kamu hal yang paling indah saat berpacaran? Yaitu saat kalian berboncengan di motor, dan yang wanita memeluk dari belakang, sementara pengemudi pria nya memegang tangan atau menyentuh lutut si wanita. Tak ada jarak yang tercipta, meski tak ada kata. Namun detak jantung seolah mampu menceritakan segalanya. Memberitahu pada dunia bahwa merekalah pemiliknya. Jomblo dilarang baper ya. Sama seperti yang dilakukan dua sejoli yang dimabuk asmara ini. Axell tak segan mengetatkan pegangan tangan Mala atau sekedar menyandarkan sikunya di paha Mala. Sentuhan kecil yang terjadi saat lampu merah menyala. Mala meletakkan dagunya di bahu Axell, mengikis jarak antara mereka, sesekali mereka berdua tertawa entah karena apa? Mungkin menertawakan nasib mereka? Atau takdir yang seolah akan mempermainkan mereka kelak. Toh mereka tak perduli, yang mereka pikirkan hanyalah, bagaimana caranya agar mereka berdua bisa selalu bahagia bersama. Kesedihan adalah hal terakhir yang ada dalam benak. “Aku mampir enggak nih?” Tanya Axell, sejak dimotor tadi mereka telah mengikrarkan untuk mengubah sebutan loe-gue end jadi aku-kamu kucrut #ehhh “Udah malem, langsung pulang aja ya.” Mala masih berdiri di samping motor Axell. “Besok aku jemput ya.” “Enggak usah, kost-an kamu kan deket kantor malah muter-muter kalau kesini.” “Buat pacar, apa sih yang enggak?” “Receh banget kamu ish.” Axell tertawa ringan. Suaranya terdengar renyah dan merdu di telinga Mala. “Aku pulang ya,” “Hati-hati.” Axell mendekatkan wajahnya ke wajah Mala. Membuat Mala salah tingkah dan memejamkan mata, tapi Axell justru menyeringai dan mengusap pucuk kepala Mala dengan pelan. Mala membuka mata nya sebal, ya merutuki kebodohannya sendiri. Apa yang dia harapkan sih? m***m dasar. Axell melambaikan tangan, dan motornya berpacu membelah jalan. Sementara Mala masuk rumah dengan riang. Orang kasmaran mah bebas. *** Pagi hari ketika Mala membuka pintu rumahnya, Axell sudah ada di depan rumahnya, memeluk helm sambil melambaikan tangan ke arah Mala. Senyum selalu menghiasi wajah tampannya. Mala melemparkan senyum pada lelaki yang kini menjadi kekasihnya itu. setelah mengenakan helm, diapun naik membonceng motor Axell. Mentari pagi menjadi saksi betapa dua pasang sejoli ini tak pernah memudarkan senyum sepanjang perjalanan menuju kantor. “Jadi anak Mami ada lima, aku anak terakhir.” Cerita Axell, Mala memeluk pinggangnya erat, sementara tubuhnya bersandar pada tubuh Axell. Dengan dagu yang ditopang di bahu lelaki itu. lanjutnya, “Kakak pertama laki-laki, namanya Mas Yoseph profesinya dokter spesialis penyakit dalam. Tinggal sama mamih sampai sekarang, udah nikah dan punya anak dua. Sementara kakak kedua aku perempuan, Mbak Maria, yang ketiga laki-laki lagi Mas Samuel, kerja di perusahaan Papi dan keempat perempuan lagi, namanya Mbak Agnes. Mereka semua sudah menikah. Mami tuh hebat melahirkan dengan jarak lima tahun. Jadi aku sama Mas Yoseph sama kayak ayah sendiri beda dua puluh tahun hehe,” kenang Axell. Mala mendengarkan dengan seksama. “Papi meninggal tahun lalu, sejak itu kantor Papi dikelola Mas Samuel.” “Kamu kenapa enggak kerja disana juga?” “Nanti lah, aku lagi seneng kerja di media, enggak terikat.” Lampu merah menyala, Axell menghentikan motornya. Sementara tangannya mendekap erat pelukan Mala. Tak perduli lah dengan para Jones alias jomblo ngenes disekitar mereka yang mungkin sudah menyumpah serapah. Tak perduli dengan tatapan bapak-bapak yang dalam hatinya bilang, ‘belum aja lu naik motor berempat sama anak.’ Atau para emak-emak bermotor yang nyinyir, ‘nanti dah kalo elo udah nikah mikirin biaya sekolah anak darimana? Beras habis? Apa masih bisa peluk-pelukan mesra-mesraan begitu?’ Biarlah mereka larut dalam pikiran masing-masing, toh sejak Axell mengikrarkan menjadi pacar Mala, sejak itu pula dia akan menutup telinga dan mata dari omongan orang-orang tentangnya. *** “Gila!!” Bentak Anneke ketika dia berhasil menarik paksa Mala ke toilet. Mala hanya bersandar pada dinding toilet dan memperhatikan raut kesal sahabatnya itu. Anneke memegang kepalanya, ingin dia teriak, memaki menyumpah serapahi Mala akan keputusan yang dibuat. Tapi... Dia tak bisa. Malam tadi setelah mendapat pesan dari Mala yang mengabarkan bahwa mereka sudah resmi berpacaran, membuat Anneke langsung insomnia mendadak, berbagai kata dia tulis dan kirim ke Mala tapi hanya di read saja. Membuat Anneke naik pitam. “Cinta sih cinta Mal, tapi pake logika dong!” Anneke memutar tubuhnya, menghadap cermin besar dan melihat Mala dari cermin itu. “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.” Mala justru bersenandung lagu Agnes Monica. Membuat Anneke rasanya ingin mencekik gadis itu saat ini juga. “Mal,” Anneke menghadap Mala dan memegang kedua bahunya, mereka bertatapan dengan wajah yang serius, pudar senyum Mala tadi. Anneke seram! “Lo tau kan kita sama Axell tuh berbeda, hubungan lo mau dibawa kemana? Apa Axell mau jadi mualaf? Atau elo yang bakalan murtad? Inget Mal, sadar sebelum terlalu jauh. Sadar sebelum cinta lo terlalu besar buat dia. Jangan jadi Bucin. Gunain akal sehat lo.” Mala memegang kedua tangan Anneke dan menurunkannya, dia mengenggam erat tangan sahabatnya ini. Dia tahu Anneke melakukan ini karena sayang padanya. Tapi dia mau egois. Dia mau merasakan kebahagiaan pula. “Jodoh itu ditangan Tuhan, gue yang pacaran lima tahun pun ternyata enggak berjodoh, siapa yang tahu tentang nanti? Gue Cuma mau jalanin hal yang membuat gue bahagia aja. Gak mudah menahan masalah gue selama ini.” Mata Mala berkaca-kaca. Membuat Anneke sedih, “Sejak bokap meninggal, keuangan keluarga gue menurun drastis, bahkan gue harus banting tulang sejak kuliah. Sekarang pun setelah gue kerja, gue enggak bisa bener-bener nikmatin gaji gue. Gue harus bantu ibu gue, bukan berarti gue enggak ikhlas, karena ikhlas datengnya dari hati. Cuma... gue selalu menahan keinginan gue selama ini. sekarang keinginan gue cuma satu Ke, gue cuma pengen bahagia jalanin hubungan ini sama Axell. Gue enggak mau mikirin hal yang belum terjadi. Please ke, Gue tau gue salah, gue tau yang gue lakuin ini enggak sepenuhnya benar. Tapi... gue bahagia saat bersamanya.” Dan luruhlah air mata Mala yang ditahan sejak tadi. Anneke memeluknya erat, punggung Mala naik turun karena isak tangis. Bahkan Anneke pun tak kuasa menahan tangis. Mereka menangis sambil berpelukan. “Maafin gue Mal, lo tau gue lakuin ini karna gue sayang sama lo...” Mala mengangguk, “Kalau nanti ada masalah atau apa, elo tau kemana harus cerita kan? Gue slalu ada untuk lo. Oke.” Anneke mengurai pelukannya, diusap pipi Mala yang basah dan mereka pun saling melempar senyum. Meski nafas masih belum beraturan. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD