Tiga

2017 Words
Jam sembilan malam tepat, Mala menuju ruang pengawas CCTV, dia menunggu jadwal pulangnya Damar agar ditemani, lagipula dia melakukan cek CCTV ini secara ilegal, karena jika secara resmi dia harus melalui prosedur yang cukup ribet yang harus dipintai tanda tangan dari atasan terkait. Dan harus ada alasan yang jelas agar bisa melakukan pengecekan itu, seperti kehilangan barang atau teror dan sebagainya. Karena Mala tak mau jadi rame makanya dia memilih menggunakan jalur ilegal tersebut toh tak ada yang dirugikan. Pesan masuk dari teman Damar sudah diterima, saat ruangan sepi dan hanya ada dia seorang lah makanya Mala dan Damar bisa masuk. “Mau lihat yang jam berapa mbak? Hari apa?” Tanya rekan Damar yang tak mau disebutkan namanya itu. Berasa kriminal bukan sih? Oke skip. “Dua hari lalu Mas, antara jam enam sampai jam sembilan pagi deh.” Ucap Mala memperhatikan layar komputer di hadapannya. Mas operator tersebut menyalin data dan mulai menekan play pada video di hadapannya. Video yang dipercepat itu menampakan suasana ruangan Mala pada pukul enam pagi, sepi tak ada seorangpun yang masuk. Hanya ada dua orang petugas kebersihan yang mulai membersihkan ruangan, baru pada pukul delapan seorang pria mengenakan topi masuk ke ruangan dan nampak celingukan di depan meja kerja Mala. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah paper bag  dan meletakkan di meja Mala. “Stop Mas, bisa diperbesar gak ya?” Video hitam putih itu di berhentikan dan di zoom oleh operator. Tak jelas namun Mala bisa mengenali orang itu. “Mbak itu kan....” Suara Damar terputus karena Mala sudah membekap mulutnya. “Sssttt,” Desis Mala, dia mengeluarkan handphone dan memfoto rekaman itu. Setelah itu Mala keluar dari ruangan sambil berterimakasih pada operator. “Mar, pokoknya ini rahasia ya. Ni buat beli jajan lo sama temen lo.” Mala menyodorkan dua lembaran merah dari sakunya, dan menyerahkan ke Damar uang tutup mulut itu. “Beres mba,” Damar cengengesan menerima uang di tanggal tua seperti ini. “Makasih yaa, gue balik dulu,” “Hati-hati Mba,” Damar melambaikan tangan dan kembali masuk ke ruangan operator CCTV tadi. Sepanjang perjalanan pulang, Mala lebih banyak melamun. Rasanya masih tak percaya bahwa pria itu yang meletakkan kado selama ini. Bahkan tak pernah sekalipun Mala menyangkanya, semua diluar perkiraannya, Mala fikir Simon atau karyawan lainnya tapi ternyata? “TIiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiNNN!!” Klakson mobil dari arah berlawanan mengagetkan Mala, bahaya! Dia melamun tadi. Mala meraih kesadarannya kembali dan mulai melajukan motonya dengan kefokusan yang tinggi. Mata Mala susah sekali terpejam, padahal sudah lewat tengah malam, dia bahkan melewati jadwal makan siang dan malamnya hari ini. sudah bisa dipastikan besok maghnya akan kumat. Tapi Mala tak perduli, dia ingin waktu segera berlalu agar dia bisa mengembalikan cincin mahal itu. sialnya semakin ingin cepat berganti hari, Mala justru mendapatkan insomnia yang membuat waktu malah terasa semakin lama. *** Mala terlihat gusar, sudah pukul satu siang tapi laki-laki yang dicarinya tak tampak batang hidungnya sama sekali. Apakah dia tak masuk kerja? Pukul dua siang baru lelaki itu masuk ke ruangan, dia melepaskan jaket dan topinya. Sepertinya dia habis dari luar, nampaklah rambutnya yang dikuncir atas itu. Dia duduk tepat disamping Anneke. Mala menarik nafas panjang dan mulai menghitung waktu sampai dia terlihat siap dan sampai pria itu terlihat rileks karena baru masuk ruangan. Mala berusaha menetralkan debaran jantungnya dan berjalan cepat menuju kubikel Anneke. Dia menarik kursi kosong dan duduk tepat ditengah-tengah antara Anneke dan pria tadi. Jonathan! “Bisa ngomong sebentar?” Tanya Mala tegas. Jonathan hanya melirik Mala sekilas lalu fokus ke game di handphonenya. “Please, talk here.” Ucapnya dingin. Mala menarik nafas panjang, jadi dia mau nya ngomong bahasa inggris? Oke Mala bisa sih sedikit bahasa inggris, urusan benar-atau salahnya belakangan yang penting dia bisa ngomong dulu deh, mengutarakan apa yang ingin diucapkannya. “You can give me another stuff, but not this one!” ucap Mala, semua tim promo menatap Mala dan Jonathan lekat. Anneke hanya menutup mulutnya tak percaya. Bahkan Simon terlihat merekam diam-diam adegan mereka berdua. Mala menyerahkan paper bag pemberian Jonathan yang mana didalamnya terdapat kotak beludru berisi cincin. “You may throw it away!” Tunjuk Jonathan pada tempat sampah di dekat mereka. “You are crazy! You can’t treat that stuff like a trash!” Mala mulai kesal, harga barang ini saja setara gajinya tiga bulan, bisa-bisanya dibuang seperti sampah begitu saja. Sampai matipun tak akan rela Mala melakukan itu. “Whatever. I won’t take the stuff back!” Jonathan mengunci layar handphone dan berdiri meninggalkan Mala yang hampir menangis. Mengapa dia bisa sekejam itu? Sedingin itu? tak bisakah dia berbicara pelan dengan wanita yang disukainya. Ataukah Mala hanya ke-geeran merasa dicintai padahal mungkin Jonathan hanya mengasihaninya? Tapi siapa sih orang yang mengasihani dengan memberikan cincin berlian? Entahlah. “Jo!” Panggil Mala setengah berteriak hingga karyawan lain yang tadinya acuh, menjadikannya pusat perhatian. Jonathan terus berjalan membelakangi Mala, dia bahkan mengangkat tangan kanannya agar Mala diam saja. Mala sudah tak kuat menahan air mata, Anneke mengusap punggungnya hingga Mala menoleh, diapun berjalan ke toilet, diikuti Anneke. Tak lupa Anneke mengambil paper bag tadi dan membawanya serta. Samar-samar Simon berbicara sambil menggelengkan kepala, “Ini kita masih di Indonesia kan?” Tanyanya pada Abel yang memilih fokus pada layar komputer di hadapannya. Di toilet, Mala menumpahkan seluruh kesedihannya, kekecewaannya akan tanggapan dingin Jonathan. Setelah cukup tenang, Anneke yang tadi hanya terdiam dan mengusap punggung Mala, menatap Mala sambil tersenyum. Menunggu Mala bercerita tentang yang terjadi barusan. “Elo tau nama panjang Jonathan?” Tanya Mala memulai percakapan. Anneke memutar bola matanya berusaha mengingat. “Jonathan Axell.” Ucap Anneke setelah mengingat nama panjang rekan kerjanya, dan sesaat kemudian dia menutup mulutnya yang menganga, matanya masih melotot tak percaya. “Mister X?” Tanyanya lagi, Mala mengangguk dan menyusut air matanya. “Enggak mungkin.” Anneke tak percaya dengan kenyataan ini. “Awalnya juga gue gak percaya, sampai lihat di CCTV.” Mala mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Jonathan Axell ketika meletakkan paper bag yang sama seperti di hadapan mereka. Di meja Mala. “Tapi dia kan...” Anneke menyerahkan ponsel mala kembali. “Sejak kapan lo tahu?” “Malam tadi, selama ini gue terlalu menikmati semua hadiah dari dia, sorry gue enggak cerita ke elo. Selain kasih sepatu, dia juga kasih coklat, pernak pernik, jam tangan ini. Dan yang terakhir ini, benda yang gak bisa gue terima. Gue fikir tanpa lihat CCTV gue akan bisa tau siapa pemberinya, tapi ternyata dia terlalu pandai menutupi hal ini.” “Jadi,,, oke oke gue ngerti. Trus ini apa?” Anneke menunjuk paper bag itu. mala membuka nya dan menunjukkan cincin berlian. Lagi-lagi Anneke menutup mulutnya. “Cincin.” Gumamnya. “Bukan sembarang cincin Ke, ini berlian lo tau harganya belasan juta!” Mala mendesah frustasi, diletakkan kembali cincin itu ke tempatnya. Dia bersandar pada dinding. Tak tahu lagi yang harus dia lakukan. “Perbedaan keyakinan kita, itu yang bikin dia gak bisa nunjukkin perasaannya ke gue.” Tebak Mala yang mungkin memang tepat sekali. “Kalian akan saling menyakiti jika diteruskan,” Anneke mengusap rambut Mala seperti kasih sayang kakak kepada adiknya, meski mereka seusia. “Ya, gue tahu. Dan ini berat... buat kita berdua. Gue udah jatuh cinta, tanpa gue tahu dia siapa? Gue jatuh cinta sama laki-laki yang selalu memuji gue dari pesannya. Gue udah terlanjur suka sama pria yang ngasih gue perhatian selama ini.. dan.. gue enggak tau lagi Ke. Enggak ngerti kenapa jadi seperti ini?” Mala terisak, Anneke memeluknya dan mengusap punggung Mala, membiarkan Mala menyalurkan seluruh kesedihannya. *** Pagi ini kepala Mala terasa berat, sudah magh ditambah flu dan kurang tidur. Rasanya dia tak sanggup jika harus berangkat kerja, maka dia memutuskan untuk izin saja hari ini. Mungkin tidur lebih banyak disiang hari bisa membuatnya sejenak melupakan kesedihannya akan kenyataan ini. ketika dia sudah jatuh cinta dengan suatu sosok yang tak dikenalnya , yang justru setelah dia tahu siapa sosok itu? Perasaannya bukan menghilang, tapi semakin bertambah. Besar harapan dia untuk bersama meskipun tak mungkin bisa. Prinsip saja sudah beda, bagaimana harus menjalani hidup selanjutnya? Menjalani kisah cinta yang indah seperti di dongeng-dongeng. Mungkinkah bisa? Jelas jawabannya tidak. Tapi siapa yang tahu? Mala harus mengubur rapat impiannya. Menutup harapan yang telah sirna. Dan kini dia harus bangkit, merasa kehilangan tanpa sempat memiliki. Sakit dan terasa sangat perih. Sementara itu di kantor. Anneke menatap getir pada kubikel Mala. Dia harus merasakan kesedihan seperti ini. Dia tak menyalahkan Jonathan Axell atau mister X yang telah mencuri hati sahabatnya. Bukan salah Axell jika dia tak mampu menghilangkan perasaannya. Cinta! Adalah hal yang suci, tak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa? Karena ketika rasa itu tercipta, mata seolah buta, telinga menjadi tuli dan mulut menjadi bisu. Hilang logika dan akal sehat, yang tersisa hanya jiwa gila yang terus saja merindu. Meski berulangkali menolak, meski beribu kali menyangkal tapi rasa itu tetap tumbuh subur dalam sana. Hingga Axell mungkin tak kuat menanggungnya lagi. Dirumah, Jonathan biasa dipanggil Axell oleh keluarganya, meskipun di kantor dia biasa dipanggil Jojo atau Jonathan tapi panggilan kecil selalu membuatnya lebih nyaman. Anneke menarik nafas panjang, dan membuangnya dengan keras. Axell yang baru tiba pun melihat kursi Mala dan pura-pura tak merasakan apapun. Sudah siang seperti ini tapi Mala tak nampak. Dia tahu wanita itu pasti tak masuk kerja, apakah karena dirinya? “Dia sakit.” Ucap Anneke tanpa memandang Axell, seolah tahu pertanyaan di benaknya. “Oh.” Jawab pelan Axell tanpa menoleh, “Maaf.” Sambungnya lagi. Anneke menoleh dan tersenyum sinis, didorong kertas kecil berisi nomor ponsel Mala, “Minta maaf nya jangan sama gue, tapi sama dia.” Axell memandang kertas berisi deretan angka itu dengan pandangan yang sendu. Haruskah? Axell : Are you oke? Pesan yang dikirim ke Mala, tak dibacanya. Mala terlalu lelah bahkan hanya untuk membuka matanya saja terasa berat. *** Mala baru bangun pukul tujuh malam, hari sudah gelap namun kepalanya sudah lebih ringan. Dia keluar kamar dan melihat dua adik kembarnya yang bernama Rena dan Lena sedang membantu ibu membuat pastel, mungkin untuk pesanan karena terlihat jumlahnya yang banyak. Ibu Mala datang dari arah dapur, membawa adonan pastel lagi. “Sudah baikkan Mal?” “Iya, Adel kemana? Enggak bantuin?” “Ngajar privat, kamu mau mandi air panas? Mamah masakin ya?” “Enggak usah Mah,” Tolak halus Mala, dia menarik handuk dari belakang pintu kamarnya dan memutuskan untuk mandi, agar tubuh dan fikirannya lebih segar. Setelah mandi, Mala kembali melihat ibu dan dua adiknya yang terlihat asik membentuk pastel tersebut. “Mau Mala bantuin?” Tawarnya “Enggak usah, ini tinggal sedikit lagi kok. Kamu istirahat aja biar besok bisa kerja.” Mala mengangguk dan masuk ke dalam kamar kembali. Kamar berukuran tiga kali empat, tempat ternyaman dalam rumah baginya. Karena ruangan ini sudah ditempatinya sejak kecil. Mala membuka gawainya yang ternyata mati kehabisan batrei. Sambil mencharge, diapun membuka agendanya. Nampak tulisan di kertas sticky note warna warni. Semua tulisan dari Axell berisi kata-kata penyemangat saat memberikan hadiah ke Mala. Mala menyentuh tulisan tangan Axelle, seolah merasakan bahwa jari lelaki itu masih tinggal disana, tersenyum saat menuliskan kata-kata berbahasa asing tersebut. Batrei handphone sudah terisi beberapa persen, Mala pun menghidupkannya. Hal pertama yang dia cek adalah pesan w******p khawatir ada masalah pekerjaannya. Namun matanya justru tertuju pada pesan dari nomor asing yang belum di simpannya. Mala melihat tulisan, “Are you oke?” dan dia pun memperhatikan foto profilnya. Nampak Axell dengan senyum manisnya memakai seragam kerja dan berdiri depan ruangan penuh televisi. Mala menimbang untuk membalas pesan yang dikirim sejak enam jam lalu itu. Lalu dia melihat status Axell yang online. Mala : Udah lebih baik. Axell : Sakit apa? Mala : Flu & magh Axell : Syukurlah bukan sakit hati. (icon tersenyum) Mala: Udah gak punya hati jadi gak bakal sakit. Axell : Masa? Mala : Iya (plus icon ketawa terbahak-bahak) Axell : Besok gue jemput ya, share loc please. Mala      : Mau ngapain (tapi tetap sambil share loc) Axell : pulang kerja kita jalan. Gak boleh ditolak. Mala hanya mengirim sticker ingin menangis yang dibalas Axell dengan sticker sakit. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD