Satu

2175 Words
"Apa nih?" Mala membuka sebuah kotak di meja kerjanya, sesaat setelah dia sampai kantor. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi tepat. Wanita berambut sebahu dan berparas ayu itu mengernyit lalu meletakkan bokongnya di kursi empuk. Sambil menggeser sedikit kotak persegi panjang di mejanya. Kotak berhiaskan pita pink dibalut dengan bungkus kado. Tak ada curiga sedikitpun jika isinya adalah bom atau benda berbahaya. Karena keamanan kantornya memang patut diacungi jempol, sebagai perusahaan Media terbesar di Indonesia. Setiap karyawan yang masuk harus melakukan serangkaian pemeriksaan. Bahkan tas pun harus dibuka dan diperiksa oleh security depan gerbang. Tujuannya hanya satu, demi keamanan bersama. Setelah menghidupkan komputernya, Mala, wanita yang bulan lalu genap berusia dua puluh tujuh tahun itu pun penasaran untuk membuka hadiah di mejanya. Dengan perlahan dia membuka solatipnya agar kertas kado tak rusak, lalu melihat tulisan merk sepatu di kotak itu, dan ketika dibuka pun ternyata berisi sepatu dari merk cukup terkenal New Balance, sepatu sport berwarna biru-pink itu terlihat cantik dan nomornya pun pas di kakinya. Mala melihat sebuah memo kecil di dalam kotak, bertuliskan : "Happy Birthday Mala, Wish U All The Best, hope your steps are always towards happiness. Your Admirer –X" Begitulah tulisannya, Mala tak kuasa untuk menahan rasa gembira di hatinya, untuk pertama kali dalam hidup dia mempunyai pengagum rahasia seperti ini. Diapun mencoba sepatu itu, sangat pas dan nyaman. Segera Mala meletakkan sepatunya kembali pada tempatnya dan menaruh di bawah meja kerja. Dia tahu, mungkin memang belum waktunya mister X itu menunjukkan jati dirinya. Mala memang saat ini tak menjalin hubungan dengan siapapun setelah putus dari kekasihnya setahun lalu. Lima tahun berpacaran ternyata tak membuatnya melenggang ke Kantor urusan Agama untuk melakukan pernikahan. Dan bulan lalu, mantan kekasihnya itu ternyata menikah dengan sahabat kecilnya padahal mereka tak pacaran. Ya terkadang Tuhan menakdirkan jodoh seseorang seperti itu. Yang pacaran lama pun belum tentu menikah, bahkan terkadang orang yang baru kenal lah yang berjodoh. Entahlah semua pasti ada rahasia dibaliknya. *** Mala memandangi wajahnya di cermin besar toilet kantor. Bibirnya tak berhenti tersenyum, entahlah kenapa dia rasanya se-senang ini? Bahkan ketika dia flash back ke belakang, pada kenangannya dengan sang Mantan yang terkenal sangat pelit dunia akhirat itu, tetap tak membuat senyumnya pudar. "Kenapa lo senyum-senyum gak jelas." Cibir Anneke, teman kerja bagian promo, Mala sendiri bekerja di bagian Content, yang mengurusi isi materi dari program yang akan tayang ke televisi. Diantara semua teman kerjanya, hanya Anneke lah yang Mala anggap sahabatnya, mereka masuk bersama di kantor ini sejak Mala lulus kuliah lima tahun lalu. Yang berbeda diantara mereka adalah Anneke yang sudah menikah sejak awal masuk kerja bahkan dia tengah hamil anak keduanya sekarang. "Lo tau enggak?" Tanya Mala, "Enggak?" Jawab Anneke cepat, membuat Mala manyun. "Gue belom selesai ngomong Mak Erot." Mala mencebikkan bibirnya kesal, menghadap ke sahabatnya yang sedang membetulkan letak peniti di hijab modern-nya. Hijab yang melilit-lilit di leher yang membuat Mala terkadang pusing, segitu ribetnya! "Oke, lanjutin. Tau apaan?" Anneke terlihat penasaran, dan dengan cepat Mala menarik tangan Anneke ke ruangannya lalu memperlihatkan sebuah kotak hadiah yang tadi diterimanya. Anneke melotot dan menutup mulutnya yang menganga, pandangannya menelusur ke seluruh ruangan, termasuk ke meja bagiannya yang terletak sekitar sepuluh meter dari tempat dia berdiri. Tampak banyak sekali memang karyawan laki-laki yang belum menikah di ruangan ini, tapi dia masih tak bisa menebak siapakah gerangan yang menyukai sahabatnya yang terkadang kelakuannya abstrak ini? "Menurut lo siapa?" Bisik Mala, "Nirmala Salsabila, akhirnya sebentar lagi elo lepas dari kutukan jomblo..." Jerit Anneke tertahan, karena Mala sudah membekap mulutnya. "Sial lu!" Mala mendengus sebal. Bumil satu ini mengapa jadi ekstra menyebalkan begini ya? "Keep Silent yaa Bumil," Bumil, eh maksudnya Anneke mengangguk sambil meletakkan jarinya di telunjuk. Dan diapun kembali ke meja kerjanya bagian promo, meninggalkan Mala yang masih juga tersenyum enggak jelas. *** "Setoran!" Wanita paruh baya yang memakai kerudung Bergo itu menadahkan tangan pada Mala yang baru saja masuk rumah. "Assalamualaikum," Pelotot Mala ke ibunya yang dijawab sambil terkekeh. Sepertinya sang ibu memasang alarm setiap Mala gajian deh. Mala duduk di Sofa sambil membuka sepatunya, lalu didorong sepatu itu ke kolong meja. Diapun mengeluarkan dompet dan menyerahkan lima puluh persen gajinya ke ibu kandungnya itu. "Makasih yaa Mala, anak pertama mama sayang.. kamu tahu sendiri kan dua adik kamu masih sekolah, SMA, sedangkan adik kamu yang kuliah enggak bisa mamah andalkan, ya buat biaya kuliah aja sering nunggak." Biasa deh ibu bertampang sedih, Mala hanya mengangguk. Perekonomian keluarganya tidak begini dahulu, sebelum ayahnya meninggal. Ayah meninggal karena sakit ketika Mala Kuliah, sejak saat itu dia, dan adiknya yang nomor dua membantu ibu berjualan. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, adiknya akan menitipkan gorengan di warung-warung, begitupun dengan Mala. Hingga akhirnya Mala kerja dan bisa memodali ibunya membuka warung sendiri dirumah, meskipun tidak besar, tapi toko kelontong milik ibunya itu berjalan lancar setidaknya cukup untuk menghidupi ke empat anak perempuannya. "Beli sepatu baru Ka?" Tanya Adel, Adik Mala yang saat ini menempuh kuliah semester akhir. Adel terpaksa molor kuliah karena harus mengumpulkan uang sendiri demi membayar kuliahnya, bahkan sekarang pun dia kuliah sambil kerja menjadi admin di salah satu pabrik. Sambil menyuap Mie instan kesukaannya, diletakkan kakinya ke atas sofa. "Dikasih sama temen," jawab Mala sambil membuka gawainya. "Widih, temen apaan ngasih sepatu mahal gitu?" Lagi-lagi Adel dan rasa ingin tahunya yang besar berhasil menyudutkan Mala, membuat ibunya menoleh menunggu penjelasan anaknya. "Emang harganya berapaan Mal?" Nah kan, Ibu jadi ikut ingin tahu juga. "Diatas lima ratus ribu bu," Potong Adel, baru saja Mala ingin membuka mulut yang terpaksa diurungkan lagi. "Duh sayang yaa nak, lima ratus ribu cuma buat diinjek-injek aja, kalau beli beras dapet sekarung tuh," Ibu Mala meratapi sepatu yang masih dalam kardus itu, membuat Mala tak enak hati lalu memilih masuk kamar, lebih baik dia mencatat pengeluaran bulanan seperti biasa daripada mendengar ibu bersedih hati. Mala lagi-lagi memandangi sepatu itu sambil tersenyum, besok dia akan memakainya, agar yang memberinya senang. Terbayang lagi kisahnya dengan sang mantan, yang bahkan selama lima tahun pacaran pun sepertinya hampir tak pernah membelikan Mala barang-barang bagus, bahkan ketika makan diluar, sepertinya lebih sering Mala yang mengeluarkan uang. Baguslah Mala tidak jadi berjodoh dengan laki-laki medit itu. *** Mala melangkah dengan riang pagi ini, ya sepatunya yang baru berpadu dengan perasaannya yang gembira membuat langkahnya kian ringan. Biarlah Mala dibilang norak, karena memang baru pertama kali dia mendapat hadiah ulangtahun semahal ini, meskipun telat sebulan. Rambutnya dikuncir setengah, yang setengah dibiarkan tergerai. Tas punggung kecil berisi dompet dan alat make up ikut bergoyang ketika sesekali Mala melompat kecil. Telinganya tersumpal earphone berwarna pink, yang tersambung dengan handphone di jaketnya. Bekerja di Media memang cukup menyenangkan, karena dia tak wajib memakai baju formal, malah dia lebih sering mengenakan celana jeans dan atasan yang casual. Setelah meletakkan tas di laci mejanya, Mala pun menyalakan komputer dan mulai melakukan pekerjaannya. Selang satu jam, Anneke datang membawa selembar kertas, perutnya masih terlihat belum membuncit karena kandungannya pun baru berusia empat bulan. hari ini dia memakai kerudung segi empat, bagus lah tak banyak lilitan di lehernya seperti biasa. Cengir Mala. "Nih," Anneke menyodorkan kertas itu, diapun menarik kursi disamping Mala dan duduk di sebelahnya. Mala menarik earphone yang dari tadi mengeluarkan musik favoritnya. "Apaan?" Tanya Mala, Anneke memajukan tubuhnya setengah berbisik, "Gue kumpulin nama cowok ruangan ini yang kemungkinan besar jadi tersangka pengirim hadiah itu." "Caelah tersangka, emangnya kriminal?" "Hahaha, yaudah sih liat dulu, kisaran usia dua lima sampai tiga lima, yang masih belum menikah," "Ya Ampun Ke, klo misalnya dia udah nikah gimana? Trus diem-diem ngasih hadiah karena enggak mau ketahuan istrinya?" Mala memandang horror ke wajah Anneke yang justru memiringkan bibirnya mengejek. "Apaan sih Hallu aja lo!" Anneke sepertinya mulai sebal dengan sahabat satunya itu, dia pun berkacak pinggang dan memilih pergi dari sana, daripada melihat Mala makin stres ketawa enggak jelas. Mala memperhatikan satu-satu nama yang tertera di kertas, ada Abel, Lintang, Arifin, Andra, Ray dan Simon. Abel dan Simon adalah tim promo, satu divisi dengan Anneke, sementara tiga lainnya dari divisi lain namun masih satu ruangan. Entahlah kemungkinan yang mana? Toh bisa saja kan orang luar yang mengirim hadiah itu? Mala meletakkan kembali kertas di meja dan mulai fokus memperhatikan layar berisi sinetron yang akan tayang besok malam sebelum diserahkan ke KPI untuk diberikan stempel lulus sensor. Baru saja mulai pekerjaan, dia mendapatkan telepon dari rekan kerja bagian pengiriman yang mengabarkan bahwa dia tak bisa mengirim materi karena kecelakaan. Parahnya, materi itu harusnya tayang malam nanti. Dengan buru-buru Mala berlari ke bagian Library tempat menyimpan hardisk materi untuk dikirim ke Komisi Penyiaran Indonesia. Setelah mengambil materi, Mala berjalan cepat ke ruangannya, melewati tim Promo. Tangannya ditarik Anneke begitu saja, sehingga teman team promo lain memperhatikan mereka berdua. Ada disitu Abel, Simon dan juga satu orang lainnya. "Mau kemana buru-buru banget?" Tanya Anneke, "Mau ke KPI nih anter materi, temen gue kecelakaan jadi gak bisa anter." Tutur Mala dengan tergesa, "Sendirian? Diantar driver kantor kan?" Raut Anneke terlihat cemas "Enggak, gue bawa motor aja biar cepet, ini materi buat malam nanti, harusnya udah sampai disana. Udah ya gue buru-buru." "Eh tunggu-tunggu," Anneke memperhatikan ketiga rekan kerja cowoknya yang asik main game di handphone, "Kalian pada nganggur kan? Ada yang bisa anterin gak?" tanya Anneke, ketiga temannya saling pandang dengan penuh tanya. "Duwh, Ke engak usah deh nanti ngerepotin lagian enggak apa-apa gue sendiri kok." Mala melepaskan tangan Anneke yang memegang erat pergelangan tangannya dengan tatapan tak enak pada ketiga rekan kerja Anneke. Terlihat seorang pria yang Mala tak tahu namanya siapa? mengubah posisi duduknya, namun Abel yang lebih dulu berdiri, "Yuk, gue anterin." Ucap Abel sambil mengambil jaket yang tersampir di kursinya. "Enggak apa-apa nih?" Tanya Mala tak enak. "Selow, kerjaan gue udah beres kok." Abel pun berjalan lebih dahulu keluar ruangan diikuti Mala, sementara Anneke tersenyum, mungkin benar dugaannya, Abel-lah admirer Mala. Sepanjang perjalanan Mala lebih banyak terdiam, motor matic Abel melaju dengan cukup cepat mengingat materi itu harus segera di periksa sebelum tayang nanti. Mala tampak canggung karena memang dia sangat jarang ngobrol dengan Abel dan lelaki lainnya, bukannya introvert karena Mala memang terkenal ramah pada semua karyawan termasuk office boy, cleaning service maupun security. Tapi entah kenapa berbicara dengan pria jangkung dengan brewok tipis mengelilingi wajahnya, membuatnya jadi segan. Terlebih Abel tak banyak bicara juga. Tak sampai satu jam mereka telah tiba di depan gedung yang dituju, Mala langsung masuk ke dalam, meninggalkan Abel yang memilih diam menunggu di lobby. Tak berapa lama Mala berjalan menuju lobby dan duduk disamping Abel, "Tunggu sebentar enggak apa-apa kan Bel? Soalnya mau di cek dulu materinya." Mala menatap Abel, lelaki itu hanya tersenyum lalu kembali menunduk, fokus pada layar handphonenya. "Hmm Bel, lo belakangan ini ke toko sepatu enggak?" Abel mengangkat wajahnya dan mengernyit, lalu dia nampak berfikir. "Dua bulan lalu sih gue kesana nganterin cewek gue, kenapa?" "Owh enggak apa-apa sih, kali ada sepatu yang recomend gitu?" "Wah kalau sepatu mending tanya ke Jojo deh, dia tuh tahu seluk beluk persepatuan." "Jojo?" "Iya Jonathan anak promo juga, kita kan manggilnya Jojo," tutur Abel membuat Mala mengangguk, dan dia pun mengingat satu pria yang berada bersama Anneke tadi, mungkin namanya Jonathan, entahlah karena Mala memang jarang berbincang dengan tim promo kecuali Anneke. tak ada pembicaraan yang berarti diantara mereka, membuat Mala yakin, bahwa bukan Abel lah secret admirernya. Mungkin dia hanya lelaki baik hati yang tak membiarkan rekan wanitanya seorang diri mengemban pekerjaan yang cukup berat. Tak berapa lama, seorang staff memberikan Mala hardisk yang telah selesai diperiksanya. Dan mereka pun kembali ke kantor masih dalam diam. Abel terlalu pendiam, batin Mala. *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Mala memilih duduk di taman dia sudah mengirim pesan pada Anneke untuk menyusulnya ke taman. Anneke datang sambil menyeruput s**u kotak rasa kelapa kesukaannya. Jangan sarankan dia meminum s**u hamil, karena dia tak akan mau. Sehari-hari hanya s**u kotak aneka rasa lah yang dia minum. Kehamilan kedua ini cukup melelahkan baginya. Beda dengan kehamilan pertamanya beberapa tahun lalu. Ya memang sih setiap anak itu unik dan berbeda. Mala sendiri menyeruput es kopi yang dibelinya di kantin tadi. Taman ini cukup besar ditengahnya ada air mancur sementara dikelilingi oleh pohon yang rindang dan bangku yang dibuat dari cor semen, sementara di beberapa tempat terdapat rerimbunan pohon bunga. Tak hanya cocok untuk berbincang melepas penat, taman ini juga cocok untuk digunakan sebagai lokasi syuting beberapa program, bahkan banyak juga yang memakainya untuk sekedar foto-foto. "Gimana gimana?" Tanya Anneke tak sabar "Failed," Decak Mala, "Maksudnya?" "Bukan dia," "Tau dari mana?" "Terakhir beli sepatu beberapa bulan lalu dan itu sama pacarnya, sepanjang kita ngobrol dia lebih banyak chat entah sama ceweknya mungkin, dan gak ada percakapan yang berarti enggak tik tok, lebih banyak gue yang tanya-tanya." "Hmm, tapi tadi dia keliatan antusias mau nganterin gitu?" "Mungkin karena rasa kasihan, kemanusiaan gak lebih," Mala menghela nafas panjang, sementara Anneke menepuk pelan punggungnya. "Apa sih?" Kekeh Mala, "Kita cari yang lain," Anneke tampak antusias. "Ih biarin lah let it flow Anneke cantik," Mala sejujurnya menikmati rasa penasarannya, tak akan seru kan kalau langsung ketahuan? Anneke tampaknya mengerti, dan dia memutuskan akan mengamati dalam diam. *** bersambung yaa,, gimana nih tanggapannya? lanjutin / jangan? hahaha  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD