Time Capsule

2209 Words
Kapsul waktu.Gue pernah bermimpi lagi mendem suatu kaleng bekas biskuit twister saat masa kecil. Bukan, itu bukan mimpi. Itu kenyataan. Dan tau ga gue mendem kapsul waktu itu sama siapa? Sama si curut Sachin! Cowok itu pergi keesokan harinya setelah pemendaman dan dia sekarang kembali lagi. Tapi dalam wujud berbeda. Dulu dia kelinci imut, sekarang curut amit. Dia hampir tiap hari bikin gue nangis karena ulahnya yang bikin otak gue mendidih. Seperti saat ini. "Sachiiin!! Kutu kupreeet! Curut buntiiing! Sialaan!" Berbagai sumpah serapah kulontarkan untuk Sachin. Dengan badannya yang tinggi tegap itu, mampu menjatuhkan diriku hanya dengan senggolan di pundakku. Dan hasilnya, aku terdampar di negeri antah berantah bernama tong sampah. Mengerikan. "Kenapa boncel? Gabisa keluar ya? Badan lo kekecilan sih!" Sialan kuadrat. Dia tertawa di atas penderitaan gue. "Sachin lo nyebelin bangeeeet!!" ujarku sambil berusaha keluar dari tong sampah ini. Dengan kekuatan yang tersisa, gue lempar dia dengan botol pocari di samping gue. Sial. Dengan tengilnya dia meliuk menghindar, tanpa menoleh sedikitpun. Dia itu setan kali yah? Masa ga liat bisa ngehindar gitu. Sebelum hilang di belokan, dia sempat menoleh dan melet. Kambing. Aku menghela napas. "Sabar, Retta.." Kuelus dadaku sendiri. Untungnya sekarang udah pulang sekolah. Kalo masih pagi kan berabe. "Apa liat-liat?" ujarku ganas. Gada yang bantuin gue apa? Apa mereka seneng liat tontonan gratis ini? Mamaaaaaa.. ★ Akhirnya setelah kurang lebih dari lima belas menit datanglah pahlawan kesorean. Pak satpam. "Neng, neng ngapain di tong sampah?" ujar pak satpam dengan kepala botak itu. Kayanya bisa buat ngaca deh. Muahaha. "Lagi nyari curut pak.." ujarku mendengus. "Ah yang bener neng?" ujar si satpam kaget. Ya enggak lah pak! Ya kali gue nyari curut. Ngapain juga.. "Saya kejepit pak, tolongin dong..." kataku melas. "Ah iya neng, sini dibantuin.." ujarnya seraya menarikku keluar. Dengan cepat aku membersihkan diri dari sampah bau yang menempel di sekujur tubuhku. Tiba-tiba si satpam botak seksi itu ngasih gue plastik. "Apaan nih pak?" "Gatau neng, tadi bapak dikasih sama cowok trus dia bilang kasih ke eneng." Ewh. Apaan nih? "Bukan bom kan pak?" Akhir-akhir ini gue sering curiga dengan apapun. "Bukan atuh neng.. Bapak tinggal ya." Akhirnya setelah satpam pergi itu, aku membuka kantong kresek dan menemukan jaket. Jaket putih. Kebetulan nih. Pasti ni jaket turun dari surga, di bawa sama malaikat buat dikasih ke gue. Eh maksud gue malaikatnya bukan satpam botak tadi ya. Ya pasti cowok yang ngasih ni jaket ke satpam tadi. Thanks! Dengan cepat aku segera belari menuju kamar mandi, mengganti seragam bauku dengan jaket bau. Bau toko. Haha. ★ "Rett? Buruaaan!!" Alyssa sepertinya usah ga sabaran banget tuh di bawah. "Iyaaa sabar kenapaaa!!" teriakku. Hari ini ceritanya kami sekelas mau ada acara kumpul gitu. Cuma satu kelas doang. Yang ngusulin ya ketua kelas dong. Aku berlari kecil di tangga, tadi abis ngambil jaket putih yang ketinggalan di ruangan musik. JEDUUK. Dengan cantik aku mencium lantai. Benjol dah kepala. "Duh, siapa sihh..." Ada yang nyengkat gue. Sumpah songong bangets! Aku menoleh, dan mendapati Sachin tengah bersidekap. Kapan sih ni anak berenti gangguin guee?   Kmaren rok abu gue kena permen karet gara-gara ditempelin sama curut satu itu. Trus kmarennya lagi gue ngeliat ada mainan uler-uleran di tas yang bikin gue jantungan. Dan berbagai masalah lainnya sejak pertama masuk SMA. "Lo kenapa sih Sa? Ga bosen apa liat gue menderita?" teriakku kesal. "Engga tuh. Gue malah menikmatinya." Kampret. "Lo dulu ga gini, Sa! Kemana Sachin gue yang dulu?!" teriakku frustasi. "Rett? Ud--" Aku mendengar suara Alyssa di belakangku terhenti. Kulihat Sachin ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan. Dan dia pergi begitu saja. Menyisakan punggung yang selama ini bisa membuatku nyaman hanya dengan menatapnya. "Rett..." Elusan pelan Alyssa di lenganku memaksa air mata yang kutahan keluar begitu saja. "Sial. Ngapain gue tangisin si curut itu." ucapku sambil mengusap air mataku kasar. "Yuk pergi, Al." ★ Aku sedang mengumpulkan ranting kecil yang bisa kutemukan di sekitar kebun sekolah. Setelah mengumpulkan ranting kecil, kami langsung cabut ke tepi pantai. Aku masih belum tau pasti acara apa saja yang disiapkan oleh anak-anak. Yang kutau hanya api unggun. Sesampainya disana ternyata sudah sore. "All, bantuin gue buat siapin makan dong." tariak Valdo dari dalam pondok. Kalau dihitung, yang ikut sekitar dua puluh orang. Lumayan lah... Aku masih sibuk mengambil ranting di dalam bagasi. Eugh, cuma cewek doang ya disini? Kok cowoknya gada yang ngangkat ranting sih? Kutumpuk semua kayu yang bisa kubawa dalam pelukanku dan langsung berjalan, tanpa melihat ke depan. Wow, hebat kan gue!! Aku hanya bisa menatap tanah, siap siaga kalau ada benda yang bisa membuatku jatuh. Tiba-tiba ada sepatu di dekat kakiku. "Eh eh minggir deh lo. Ga liat apa gue lagi ribet gini?" ujarku garang. Dia diam saja. Ewh. "Minggir ah jangan ganggu." ujarku sambil bergeser ke kanan. Orang itu ikut geser ke kanan. Aku ke kiri, dia ikut ke kiri. Dan seterusnya, dia tetap mengikuti perlakuanku. Aaaah! Rese kan! Kuhentakkan kakiku. Tapi itu malah menyebabkan ranting kayu yang kubawa terjatuh semua. "Sial. Sengaja kan lo?" ujarku sambil berjongkok memunguti kayu itu. "Eh lo bisu kali ya? Ngomong bi-- ELOOO!!" Ah, ternyata dia. Yaiyalah, siapa lagi kalo bukan Sachin. Dengan menggerutu aku mengambil ranting pohon yang berserakan di pasir. "Yang rajin ya boncel." Aku menggeram kesal. Kalo tau dia ikut, ga bakalan gue ikut acara ini! Kok gue jadi kesel sendiri sih?! Sambil tertawa dan tanpa membantuku, dia langsung pergi begitu saja dari hadapanku. Kutu kupret emang dia! ★ Sudah pukul tujuh malam, waktunya kami makan malam. Dan disinilah aku, sedang membolak balik daging bakar yang kelihatannya sangat lezat. "Enak gila baunya. Buruan matengin ya Rett!" Wuasem, dikata ga lama kali bakar daging. "Nih lo aja yang bakar kalo ga sabar Ra!" Renra mendelik. "Yeh itu kan tugas lo... Tugas gue kan udah beres." "Yauda sana pergi jauh-jauh, jangan ganggu gue. Apa lo mau gue bakar?" ujarku sambil memainkan penjepit untuk daging. "Ih horor lo. Sumanti!" ujarnya sambil tertawa dan kabur begitu saja. Akhirnya, sendiri lagi. Gue membalikkan daging dengan hati-hati, kemudian memandang sekitar. Pantai ini... Dulu gue pertama kali ketemu sama Sachin disini. Saat itu gue lagi nyari harta karun yang disembunyiin sama orangtua gue. Pas gue dapetin tempatnya ternyata harta gue udah digali sama Sachin. Gue nangis, dan dia kaget. Langsung dah ngasih tu harta ke gue. Sachin tu DULU perhatian banget. Kok sekarang sikapnya kaya kampret sejati? Ada yang menoyor kepala gue! Tanpa nengok juga gue udah tau itu pelakunya Sachin. "Woy boncel jangan bengong. Daging gue gosong noh." Err. "Curut! Daging lo apaan? Ini kan gue yang bakar!" ujarku ganas sambil membolak balikkan daging. "Daging gue lah. Kan gue yang beli tadi siang." Aku hanya bergumam tak jelas menanggapi perkataannya. Males ah ngomong sama dia, nanti gue kena darah tinggi. Gue masih merasakan dia duduk di belakang gue. Doooh, ngapain sih dia? Aku masih khusyu dengan daging bakarku ketika ada sesuatu yang menutupi pandanganku. "Eh lepasin gak? Bahaya nih. Lo mau gue mati kebakar?" ujarku garang. Ternyata wangi parfum Sachin enak... Dan posisi ini bener-bener bikin gue ga nyaman. Tangannya yang nutupin mata gue. Ibu jarinya mengelus pelan kening gue. "Maafin gue, Clarett..." Cuma Sachin yang manggil gue gitu. Suaranya terdengar benar-benar di samping telinga gue. Gue bisa rasain hembusan nafasnya. Mendengar pernyataannya, gue cuma bisa matung. Sampe akhirnya dia ninggalin gue dengan daging gosong. ★ Setelah makan malam beres, gue dan anak sekelas lainnya ngerubung di sekitar api unggun. Kita cuma duduk beralaskan tikar yang dibawa dari rumah masing-masing. Yang lain lagi asik ngobrol sendiri. Alyssa lagi mojok noh sama pacarnya. Sedangkan gue nulis-nulis ga jelas di pasir. Dan bagooos, sebelah kanan gue Sachin. Mengapa Tuhaaaan? Rasanya canggung banget sebelahan sama kunyuk satu itu. Gara-gara permintaan maaf dia tadi tuh. "Hei daripada kita ga jelas gini gimana kalo maen truth or dare?" uja Alvian. "Iya. Ga boleh ngelak pokoknya." sambung Tristan. "Yang ngelak dapet hukuman!!" teriak Austin. Kemudian Alvian si pencetus ide mengambil botol kosong dan memutarnya. Berhenti mengarah di Tristan ternyata. "Truth or Dare?" "Dare!" "Oke, tembak cewek yang lo suka disini!" teriak Alvian. Wah. Seru nih. Gue liat Tristan mukanya jadi merah. Wow, pertama kalinya gue liat tu cowok mukanya merah. "Kenapa? Lo ga berani? Kena hukum dong!!" teriak Renra. Akhirnya Tristan bangkit dan berdiri di depan Laura. Wow. Jadi selama ini dia suka sama Laura? "Gue suka sama lo. Jadi pacar gue ya?" Dan dari gelagat yang gue liat, Laura gelisah gitu. Tristan apalagi. Laura mengangguk perlahan, gue liat ada rona merah di mukanya. Whoaaaaaaaa diterima mameeen! Sorak sorai langsung rame. Indira yang duduk di sebelah Lauren memeluk sahabatnya itu. Kayanya udah mendem lama tuh si Laura. Sama kaya gue. Eh. Hahahaha. Gue ngelirik ke Sachin, dan ternyata dia lagi merhatiin gue. Mata gue sedikit melebar karena tatapan tajam Sachin, dan akhirnya gue nunduk lagi. Doooh. Suasana jadi aneh gini. "Retta!" Anjrot gue kena. "Truth or dare?" ujar Tristan. Truth? Ga deh, nanti kalo gue ditanya macem-macem berabe. "Dare!" teriak gue mantap. "Oke, peluk sebelah kanan lo!" Mampus. Anak-anak kan tau gue sering di bully sama Sachin. Tapi kenapa pada iseng banget sih? "Gue... ngambil hukuman aja deh..." ujarku lemah. "Ah ga seru lo! Masa taku meluk Sachin? Apa jangan-jangan lo suka sama dia?" Teriakan Alvian bener-bener bikin gue kesel. "Eh jangan asal ngomong deh lo!" balasku. "Peluk-peluk-peluk-peluk!" teriak Alyssa sambil bertepuk tangan. Membuat yang lain mengikuti irama tepukannya. Ga tahan di panas-panasin sama anak-anak, akhirnya gue mendekat ke arah Sachin. Gue menjulurkan kedua tangan perlahan,sampai akhirnya meluk Sachin. Gue nutup mata, takut bakal diapa-apain sama curut ini. Tapi yang terjadi adalah dia meluk gue balik, dan taunya... taunya... Dia nyium mata kanan gue singkat. OH MY GOSH. Dengan kecepatan tinggi gue menjauh darinya. Gue liat dia tersenyum. Tersenyum saudara saudara!! Bukan senyum evil... Tapi senyum tulus. Bikin gue menyerit bingung dan jantungan. "Sachin. Lo belom dapet giliran. Nyari kesempatan dalam kesempitan ya?" teriak Valdo sambil terkikik. Dan yang gue liat Sachin hanya cuek, dan memandang laut. ★ Hari sabtu. Malem minggu. Idung diplester karna kena bola basket. Dandanan: kaos,jeans, jaket, converse ga lupa. Dan sore ini gue bawa segepok bunga mawar putih di tangan. Asal lo tau, selama beberapa bulan terakhir ini di kolong meja gue selalu ada bunga itu. Setiap hari. Setiap pagi, sebelum masuk sekolah. Gue bingung gimana cara orang itu naro disana. Padahal gue pernah dateng jam setengah enam. Dan ajaibnya bunga itu udah ada di kolong meja gue. keren kan? Tiap hari libur, di depan pintu kamar gue pasti ada tu mawar. Gue tanya sama kakak tapi ga di jawab. Sekarang gue lagi jalan ke bukit belakang rumah gue. Orang itu bilang mau menunjukkan dirinya. Tapi dengan syarat gue harus membawa seluruh bunga yang di kasih ke gue. Whoa. Banyak. Banyak banget. Sayang banget tapi, ada yang udah layu. Ya pasti lah! "Halo?" teriakku ketika sudah sampai di ujung pintu masuk bukit. Dengan takut-takut aku menaiki tanjakan bukit itu. Gue inget. Gue dulu mendem kapsul waktu gue di bukit ini. Apa gue kesana dulu aja kali ya? Akhirnya kulangkahkan kakiku menuju tempat penguburan kapsul. Dan betapa terkejutnya gue karena ada banyak foto yang diikat menggantung di batang pohon. Gue mendekati salah satu foto, disana ada gue yang lagi serius belajar di kelas. Ada juga foto gue lagi ketawa bareng Alyssa. Ada foto gue yang diambil dari jarak yang jauh, gue lagi sendirian duduk di bangku koridor sekolah, baca buku. Tapi sumpah fotonya keren banget. Gue telusurin saru-satu foto yang tergantung di tiap pohon. Ga begitu gelap, karena banyak lentera yang juga sengaja di letakkan. Bener, yang bikin niat banget ini mah. Sampai akhirnya di salah satu pohon besar tempat dimana gue kubur kapsul waktu 'kami'. Gue tertegun, di sekitar pohon itu cuma ada foto gue dan Sachin saat kecil. Kenangan yang ga pernah gue lupain. Ada Sachin saat dia ultah 7 tahun dan gue nyium pipi dia. Ada gue dan dia berangkulan dengan tawa lebar. Ada juga gue yang lagi nangis dan Sachin gendong gue di punggungnya. Sumpah, foto ini bikin gue gabisa berkata-kata. "Sachin? Lo dimana?" teriakku kesal. Diam, hening. Gue tau yang bikin semua ini pasti Sachin. Jadi yang ngirim bunga ini juga dia? "Sa! Jangan ngumpet! Keluar gak!" teriakku, lagi. Aku bersandar pada batang pohon, dan terduduk lemas. Kuletakkan mawar putih di sebelahku, di atas tumpukan tanah, tempat kapsul waktu bersemayam. Kupeluk lututku, menangis. Tapi ada lengan yang melingkari tubuhku. "Sorry ya Clarett, bikin lo kesel mulu..." Suara itu, suara Sachin yang sesungguhnya. Lembut. Aku mendongak dan langsung menghambur ke pelukannya. "Lo kenapa sih Sa? Jahat banget sama gue!" Dia hanya terkekeh. "Kan gue udah minta maaf..." "Ga cukup maaf lo!" ujarku sambil memukul lengannya. Sachin melepas pelukannya. "Mawar itu ga cukup buat mewakili permintaan maaf gue? Hmm?" Oh ternyata beneran dari dia... Jangan-jangan... "Jaket putih dari lo juga?" Dia hanya tersenyum dan mengecup keningku. "Udah ah jangan nangis. Kita buka kapsulnya nyook." ajaknya. Akhirnya aku menggali bersama si curut rese ini dan membuka masing-masing surat yang kami tulis dulu. Gue lupa isinya apa. Hahaha. Claretta Kalo udah gede aku mau jadi pengantin Sachin! Sachin Clarett, aku mau pergi dulu ya. Nanti pas aku dateng kita nikah ya! Aku tertawa saat membaca surat milik Sachin. Begitupun dia. Kami saling pandang setelah membacanya, dan Sachin meluk gue. "Nanti ya gue cari kerja dulu. Ntar baru gue lamar lo." Gue hanya ketawa mendengar perkataannya yang ga romantis sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD