bc

Our Story (Indonesia)

book_age0+
497
FOLLOW
2.9K
READ
love-triangle
second chance
friends to lovers
badboy
goodgirl
student
drama
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Setiap orang memiliki sebuah kisah yang menyisakan emosi menyakitkan maupun membahagiakan. Ada kalanya kamu harus melepaskan seseorang yang sangat kamu cintai. Pun dalam suatu situasi dan kondisi tertentu, kamu memutuskan untuk menerima, memaafkan, dan memberi kesempatan kedua kepada orang yang telah menyakitimu.

.

Walau segalanya terasa menyakitkan, namun kamu tau bahwa itu adalah salah satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan.

.

Jadi, kenangan apa yang paling membekas dalam ingatan dan hatimu?

chap-preview
Free preview
Daddy
Ketika aku baru keluar dari perut ibuku, seorang yang menggendongku dengan perasaan haru bukanlah dokter yang membantu persalinan ibuku. Tapi ayahku, dengan wajah penuh dengan derai air mata, dia memandangku dengan takjub. "Selamat datang ke dunia, Risty sayang," bisiknya pelan. Aku tak mengerti apapun saat itu. Yang kutau, aku hanya berteriak mengeluarkan tangisan--menandakan aku telah hadir di dunia. Aku ingin dunia mengakui kalau ada seorang malaikat kecil yang akan disayangi oleh ayahnya. Dia semakin mendekat, mengecup keningku dengan sayang meskipun wajahku masih dipenuhi oleh darah. Aku terdiam merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhku. Bibirnya mendekati telingaku dan dia mengumandangkan adzan. Setelah selesai, ayah mengumandangkan iqamah di telinga kiriku. Selanjutnya dia berbisik, "semoga Risty jadi anak sholehah dan memiliki kepribadian baik." Ayah adalah orang pertama yang kudengar suaranya di telingaku yang masih belum bisa mendengar dengan jelas betul. *** Dua hari kemudian, aku dibolehkan pulang ke rumah. Tapi aku begitu kaget karna tiba-tiba begitu banyak orang yang menghampiriku. Mendatangiku. Mereka mencoba untuk menggendongku, melepaskan pelukanku dari Bunda. Aku tak mau. Sebagai protes seorang bayi kecil, aku menangis keras. Bukannya mengembalikanku ke pelukan Bunda, mereka malah tertawa. Bunda bahkan ikut tertawa. Tangiskupun semakin keras. Kenapa mereka seperti itu? "Eh eh anak Ayah kenapa nangis?" Ayahku dengan lembutnya mengambilku dari pelukan ibu yang membawa seorang anak di sisinya. Ayah mengecupku berkali-kali, menggesekkan hidung kami hingga aku tertawa. Aku geli, Ayah. Kumis Ayah yang jarang-jarang mengenai kulit kisutku. Aku begitu merah, kata mereka. Begitu kecil karna beratku hanya 2,5 kg. Aku memonyongkan bibir, mencoba mengecap cairan kekuningan kental yang tadi baru sempat kurasakan. Rasanya hangat dan membuatku kenyang serta tidak haus. "Risty laper ya? Mau minum cucu? Iya sayang?" ucap Ayah seraya mengecup pipiku berkali-kali. Setelahnya, aku dibawa ke gendongan Bunda untuk diberikan ASI. Lihat deh, Ayah begitu pengertian padaku, ya? *** Aku sekarang sudah mulai berjalan, meski tertartih-tatih, tapi Bunda dan Ayah selalu sabar mengajariku untuk bisa berjalan lurus. Aku menggenggam jari kelingking Bunda dengan erat. Pandanganku fokus pada Ayah yang menjulurkan kedua tangannya ke hadapanku. "Ayo Risty," panggil Ayah, "kamu pasti bisa sayang!" Aku tertawa. Rambut ikalku yang masih sangat pendek bergoyang terbawa angin dari AC yang dipasang Ayah agar aku tak merasa kepanasan. Ketika langkahku hampir mendekati Ayah, dia bangkit dan berbicara dengan seseorang di ponselnya. Ayah, kok Ayah pergi sih? Aku sangat kesal saat itu. Rasanya ingin menangis. Kenapa ayah tidak memelukku? *** Beberapa hari kemudian, aku melihat Ayah yang kata Bunda lagi sholat. Berulang kali aku ingin menghampiri Ayah tapi dia tidak memperbolehlanku.Hingga akhirnya aku merangkak mendekati Ayah yang mencium lantai. Aku tertawa, ternyata Ayah bukannya lagi sholat! Ayah lagi main kuda-kudaan. Ketika Bunda sedang sibuk dengan makanannya, aku merangkak menaiki Ayah yang sedang main kuda-kudaan. Aku tertawa senang karna sudah lama sekali Ayah tidak bermain denganku. Tapi kok, Ayah diem aja sih? Kenapa Ayah gak gerak-gerak? Akhirnya aku kesal dan turun untuk melihat wajah Ayah. Aku duduk tepat di hadapan Ayah. "Yaaa ... hh ...." panggilku. Kenapa Ayah gak ngeliat aku sih? Jari telunjuk Ayah padahal mengarah ke aku, lho. Aku cemberut karna Ayah pura-pura tidak melihatku. Dengan wajah memerah, aku merangkak dan duduk di pangkuan Ayah. Bermain-main dengan wajah Ayah yang kelihatannya semakin kurus. Ketika dia menoleh ke kanan dan kiri, tangannya langsung menangkap punggungku. Dia mengangkatku dengan lembut lalu memelukku erat. "Anak Ayah kangen ya sama Ayah?" Ayah menggesekkan hidung kami. Aku hanya bisa tertawa dan memainkan rambut Ayah yang memanjang. Dia membawaku ke pundaknya lalu aku diajaknya berlari. Angin yang berhembus membuat mataku menyipit, tapi mulutku terbuka lebar dan mengeluarkan tawa. Aku sayaaaang banget sama Ayah! *** Ketika aku berumur lima tahun, aku sadar kalau Ayah sering meninggalkanku dan Bunda berdua di rumah. Dia suka pergi pagi-pagi buta dan pulang menjelang matahari terbenam. "Ayah berangkat dulu ya, sayang," ujarnya sambil mengecup bibirku dengan lembut. "Ity ikut Ayah ..." aku mengeratkan lenganku pada leher Ayah. Aku ingin main sama Ayah hari ini! Kemarin-kemarin Ayah udah gak pernah main sama aku lagi. Aku 'kan kangen. Aku kesepian tau, Yah! Tapi kok Bunda gak sedih ya ditinggal sama Ayah? "Risty sayang," Bunda menarikku menjauh dari Ayah, "Ayah mau kerja dulu." Kemudian sesaat aku mengalihkan pandanganku dari Ayah, dia sudah pergi meninggalkanku. Aku cemberut. Tangisku pun pecah karna Ayah lagi-lagi meninggalkanku. *** Aku sudah masuk SD sekarang. Punya banyak teman yang suka mengajakku bermain. Baik di rumah ataupun di sekolah. Ketika sarapan, Ayah masih suka mengecup keningku dengan lembut dan mengusap rambutku. "Ayah kerja dulu ya, Risty jangan bandel di sekolah," itu adalah ucapan setiap harinya. Aku mengangguk mengerti dan berusaha menjadi anak baik di sekolah. Saat nilai ulanganku bagus, aku akan berlari memasuki kamar Ayah dan membentangkan kertas ulanganku di hadapannya. "Ayah! Risty dapet nilai 9 loh! Paling tinggi di kelas!" ujarku girang. Tapi tanggapan Ayah apa? "Ayah lagi sibuk, Nak," ucapnya tanpa melirikku sedikitpun. Tanganku melemas dan segera menurunkan kertas ulangan yang kubanggakan. Aku 'kan udah gak bandel dan jadi anak pinter. Tapi kenapa Ayah masih sibuk aja sama kerjaannya? Waktu untukku mana? Akhirnya aku mendekat, mengecup pipi Ayah dengan sayang sebelum benar-benar pergi meninggalkannya diantara tumpukan kertas miliknya. *** "Ayah pulaang!" suara Ayah yang menggema di seantero rumah sama sekali tidak menggangguku yang sedang bermain dengan ponsel. "Risty, Ayah pulang loh," sapa Ayah seraya mebentangkan kedua tangannya di hadapanku, "pelukan buat Ayah mana?" Aku memiringkan kepala lalu tertawa dan memeluk Ayah singkat. "Ih Ayah kayak anak kecil aja deh minta peluk-peluk Risty." Ayah tersenyum lembut, ketika aku akan melepaskan pelukan, Ayah justru mengeratkannya. Membuatku meronta karna belum sempat membalas pesan dari teman sekolahku. Oh ya, aku masuk SMP favorit di kotaku loh! "Ih Ayah," jedaku, "Risty mau bales pesan temen nih." Ayah terkekeh dan mengacak rambutku dengan sayang. Ada rasa kecewa yang kulihat ketika matanya menatapku yang hanya fokus pada benda elektronik di tanganku. Dia masih berdiri di hadapanku, membuatku mendongak. "Kenapa Yah?" Dia menggeleng lalu mengacak rambutku. "Anak Ayah udah gede ternyata." "Ya Risty 'kan gak selamanya anak kecil, Yah ..." aku terkekeh. "Tapi bagi Ayah, Risty itu tetap gadis kecil Ayah." *** "Kamu gak boleh berhubungan lagi sama dia!" Ini pertama kalinya aku bertengkar dengan Ayah semenjak kematian Bunda. Bunda meninggal ketika aku naik ke kelas sebelas. Bunda meninggal dalam keadaan tidur, dan aku sama sekali tidak menyadarinya. Saat ini yang kupunya adalah Ayah yang menyebalkan. Ayah yang suka mengaturku. Ayah yang suka melarangku untuk bergaul dengan teman-temanku. "Dia baik, Yah," kataku membela cowok yang selalu menghubungiku setiap hari, "Ayah gak kenal dia jadi jangan larang-larang Risty." Setelahnya, aku mengambil tas selempang dan helm. Kutinggalkan Ayah yang menatapku dengan sorot penuh kekecewaan. Aku merasa kesal karna Ayah sok-tau dengan kehidupanku. Ayah 'kan juga pernah muda, masa sih gak ngertiin kemauan aku? Sampai beberapa bulan kemudian, aku menangis tersedu karna pacarku itu hanya menjadikanku barang taruhan. Tebak apa yang dilakukan Ayah? Dia memelukku, mengusap punggungku dengan lembut. "Panggil dia kesini dan Ayah akan memukulnya keras." Aku semakin menangis. Dulu aku selalu membela dia, tidak pernah mendengarkan perkataan Ayah hingga aku mengabaikan Ayah selama berminggu-minggu. Ayah begitu baik, hanya dia yang kumiliki setelah kepergian Bunda. *** Ada air mata haru ketika aku berhasil memakai toga di kepalaku. Ketika acara kelulusan berakhir, aku memeluk Ayah yang membawakan sebuket bunga untukku di tangannya. Ayah tersenyum lembut, dia mengusap punggungku dengan sayang. "Selamat ya, Risty sayang," gumam Ayah. Aku mengangguk, mengeratkan pelukan dengan senyum lebar. Ayah kini sudah semakin tua, rambutnya memutih dan punggungnya tak setegap dulu. Tapi aku tetap mencintainya. Ketika ada panggilan dari teman-temanku untuk berfoto, aku melepaskan pelukan meski agak ragu. Entah kenapa tatapan Ayah yang begitu teduh membuatku tak bisa meninggalkannya barang sekejap. "Kenapa diem aja?" tanya Ayah tiba-tiba. Aku mengerjap sekali, "eh--ah, enggak Yah. Risty kesana dulu ya Yah? Ayah gapapa 'kan sendirian?" Ayah mengangguk, lagi-lagi dengan senyum teduhnya. "Ayah gapapa, Risty." *** Tak bisa kuhentikan tangisan ini ketika tangan Ayah menyerahkanku pada pria yang kucintai. Di hari pernikahan ini, Ayah menyambut Firman dengan senyum teduhnya. "Jaga Risty untuk Ayah ya Firman," jeda Ayah, "jangan sakiti dia apalagi membuatnya menangis. Meskipun dia sudah menemukan Pangerannya, tapi bagi Ayah, Risty tetap seorang Putri kecil Ayah." Aku kembali menangis, kini aku memeluk Ayah dengan erat. "Ayah, maafin Risty karna selama ini suka gak nurut sama Ayah. Risty sayang sama Ayah. Maafin Risty ya Yah," ucapku diantara isak tangis. Tangan Ayah yang besar mengusap kepalaku. Kini rambut Ayah sudah sepenuhnya memutih, tinggi Ayah pun sudah sama sepertiku. Bahkan aku melebihi tingginya. Aku sayang Ayah. *** Aku sadar, selama ini aku hanya seorang gadis kecil yang selalu menyusahkan Ayah. Selalu meminta agar keinginannya terkabul. Aku ini manja. Suka tidak memikirkan bagaimana kondisi Ayah. Tapi meskipun begitu, Ayah selalu saja berusaha untuk memenuhi keinginanku. Kenangan bersamanya dari aku kecil hingga akhir hayatnya masih terekam jelas di ingatanku. Masa di mana aku mengabaikannya, memarahinya, hingga aku menangis di pelukannya. Pandanganku berkabut saat air mata itu menggenang di pelupuk mataku. "Ayah," panggilku seraya mengusap gundukan tanah merah yang masih baru. "Terima kasih karna sudah menyayangi Risty ketika dunia membenci Risty. Terima kasih karna telah menjadikanku anak yang paling berbahagia di dunia. Terima kasih karna udah bimbing Risty hingga sukses ..." Aku mengusap air mata. "Meskipun Ayah belum liat cucu Ayah yang masih di kandungan Risty, tapi Risty pasti bakalan cerita tentang Ayah sedetail mungkin hingga dia merasa kalau Ayah ada di sisinya .. Risty sadar, Ayah adalah satu-satunya pria yang gak akan nyakitin Risty ... "Ayah, dimanapun aku berada, ketika aku lebih banyak meluangkan waktu dengan teman-temanku, bahkan ketika aku sangat mencintai suamiku," aku menghela napas. "Ayah tetap jadi pria nomer satu di hatiku." *** END ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bridesmaid on Duty

read
162.2K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.2K
bc

Everything

read
278.3K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.7K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.9K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.4K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook