You Got Me

4183 Words
Hai, aku ingin menceritakan kisah cinta pertamaku yang menyedihkan. Aku baru dua bulan menginjak bangku SMA, dan aku memutuskan untuk pindah dari kota Jakarta yang sumpek dan panas ini. Aku pindah ke sekolah asrama di kota hujan, Bogor. Hari ini hari minggu, aku pergi meninggalkan "pacar"ku di Jakarta tanpa ucapan selamat tinggal. Aku menutup mataku, merasakan hembusan angin di kota Bogor ini. ------------------------------- Aku sedang ke toko buku hari itu, bersama dengan sahabatku sejak jaman TK dulu. Finan. Dia sedang berada di bagian komik, sedangkan aku berada di bagian peralatan sekolah seperti pensil dan yang lainnya. Aku ingat, sebentar lagi ulang rahun sepupuku yang sudah kuanggap adikku sendiri. Ya, asal kau tahu, aku tak punya adik.  "Naya, udah dapet belum kadonya?" Finan menepuk pundakku. Membuatku kaget setengah hidup. Aku menengok ke arahnya, menunjukkan dua tempat pensil berwarna biru dan merah, dengan gambar anak kucing, Hello Kitty.  "Bagusan mana nih Nan? Aku bingung." aku menatapnya. Dia tampak berpikir.  "Yang merah lebih bagus Nay." dan ketika dia menunjuk warna merah, aku langsing bergegas ke kasir.  Keluar dari toko buku, aku menelpon pacarku. Rencananya sore ini kami mau ketemuan di cafe biasa kami menghabiskan waktu. Kau tahu, orangtuaku tak mengizinkanku pacaran. Jadilah kita backstreet.  "Yan, kamu dimana?" aku langsung berbicara ketika sudah diangkat.  Hening sejenak, terdengar agak berisik dan dia seperti sedang berbisik pada seseorang.  "Ak-aku lagi di kamar Nay. Aku sedang tidak enak badan." dia berkata dengan agak gugup, membuatku curiga. Namun kutepis perasaan itu jauh-jauh. Aku menghembuskan nafas perlahan. Rencana kencan kami batal lagi.  "Aku kesana ya Yan? Aku baru banget keluar toko buku sama Finan, mau langsung pulang nih." aku menatap sedih ke Finan yang sepertinya tahu arah pembicaraanku dengan Bian.  "Tak-tak usah Nay. Setelah aku tidur juga langsung sembuh kok." dia menolaknya. Padahal biasanya kalau sedang sakit dia selalu memintaku untuk datang ke apartemennya. Menemaninya.  "Baiklah kalau begitu--" aku terdiam. Mataku terkunci pada seseorang yang sangat kukenal sedang duduk berdampingan dengan seorang gadis, lengannya memeluk pinggang gadis itu mesra. Aku tak bisa berkata-kata. Aku langsung berjalan masuk ke dalam cafe itu tanpa mempedulikan Finan yang berteriak memanggilku.  Aku mendekat ke arah meja yang ditempati oleh sepasang sejoli itu.  "Jadi disini kamar kamu, Bian?" aku langsung berkata ketika sampai di depannya. Dia mendongak, handphone yang sedang digunakan untuk berbohong padaku terjatuh. Dia kaget, wajahnya pucat.  "Nay.. Ak-Aku bisa jelasin.." dia berdiri, berusaha menahan lenganku yang kecil.  "Aku ga perlu penjelasan lagi. Karena kita udah gada hubungan apa-apa lagi." aku berkata dengan tenang. Dengan cepat aku berbalik dan berjalan menjauhinya. Sakit memang, namun aku tak kecewa. Entah kenapa. --------------------------------------   "Naya! Jangan bengong aja dong. Barang kamu masih banyak tuh di dalem bagasi." Kak Yumi memanggilku yang sedang menikmati semilir angin.  "Ah iya ka." aku begegas membantu kakakku itu. Ingat ya, Kak Yumi itu cowok. Kepanjangannya Fayumi Dirgantara. Aku punya dua kakak lelaki. Kakak pertamaku tak bosa ikit, dia sedang mengurus pemakaman ayah mertuanya di Depok.  Dan saat itu, aku melihatnya. Lelaki dengan badan tegap, berperawakan tinggi, putih, dengan rambutnya yang acak-acakan. Aku terpana. Dia melihat ke arahku, dan tersenyum simpul, kemudian dia berlalu pergi. Aku menatapnya sampai dia hilang dibalik tembok besar itu, penghalang asrama putri dan asrama putra. Dan untuk beberapa saat, aku merasa waktu nerhenti berdetak. Namun hatiku berdetak dengan sangat cepat. Siapa dia? ************ Aku berjalan ke ruang kelas, ditemani oleh kepala sekolah. Dia dengan istimewa mengantarku ke kelas. Karena dia adalah sahabat ayahku ketika sekolah dulu. Tak lama kemudian, aku sampai di depan kelasku yang baru.  "Bu Nety, bisa ganggu waktu mengajarnya sebentar?" Pak kepala sekolah benar-benar orang yang sopan. Kepada bawahannya pun baik banget.  "Oh, iya Pak. Silahkan." Kemudian Pak Ridho pun masuk ke dalam kelas, aku mengikutinya dari belakang. Anak-anak yang tadinya sedang khusyu langsung ribut menlihat kedatanganku ini.  "Tenang anak-anak. Bapak mau perkenalkan murid baru. Dia pindahan dari Jakarta." Pak Ridho menengok ke arahku, memberi sinyal kepadaku untuk memperkenalkan diri. Aku tersenyum dan mengangguk sopan.  "Namaku Nayala Violetta, pindahan dari Jakarta. Salam kenal semuanya." aku membungkuk sedikit, memberi salam kepada mereka. Sekejap, suasana tambah riuh. Aku memberanikah untuk mengangkat wajahku dan menyisir penduduk kelas yang hanya berjumlah kurang dari 30 orang ini. Dan ketika itu, mataku membelalak kaget, disana. Di bangku  dekat jendela. Dia yang membuat hatiku tak kafuan kemarin, sedang menatap keluar jendela dengan wajah menerawang.  Pak Ridho berdehem. "Baiklah, kalian baik-baik ya sama Naya. Bapak tinggal dulu. Selamat pagi." Pak Ridho pun pergi meninggalkan kelas kami.  "Baiklah Naya, kamu duduk di belakang Skandar ya. Tak apa kan duduk disana?" tanya Bu Nety hati-hati. Aku masih terdiam. Terpaku memandang Skandar yang sudah melihat ke arahku. Dia tersenyum. Lagi. Manis.  Ucapan Bu Nety menyadarkanku dari alam lain. Terima kasih, Bu Nety. Akupun menenoleh ke arah Bu Nety dan tersenyum ke arahnya. "Gapapa bu."  Aku berjalan ke bangkuku, tepat di belakangnga. Dia belakang Skandar.  "Hei, Naya. Aku Rimi." tiba-tiba seorang gadis mengulurkan tangannya, mengajakku berkenalan. Dia duduk di sebelahku. Anaknya manis sekali, ada lesung pipinya ketika tersenyum.  "Hai Rimi, aku Naya. Semoga kita bisa berteman baik ya." aku menyambut uluran tangannya, dan tersenyum.  "Hei Nay, gue Anzal." seorang cowok yang duduk di depan Rimi menyapaku.  "Hai, Nzal." aku melambai sambil tersenyum ke arahnya. Dia melirik Skandar, dan berkata padaku.  "Dia Skandar William. Lo yang sabar ya duduk di belakangnya. Dia anaknya garing abis." Anzal terkikik geli mengatakannya, dan langsung terdiam ketika diberikan death glare oleh Skandar. Aku hanya tersenyum geli.  "Hush, udah ih. Bu Nety ngeliatin tuh." Aku, Anzal, Rimi dan Skandar langsung diam. Err, salah. Yang diam hanya aku, Rimi dan Anzal. Skandar sih emang daritadi diem aja. *************  "Nay, kamar kamu nomer berapa?" Rimi bertanya kepadaku saat sekolah berakhir. Aku yang sedang asik memasukkan buku pelajaranku, mendongak ke arahnya, dan berpikir sebentar.  "Mmh, kamar 43, Mi. Kamu berapa?" aku bertanya kepadanya.  "Waaah! Kamar kita deket banget. Aku depan kamar kamu Nay, di kamar 41." Dia melonjak girang, dan aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang seperti anak-anak. "Nanti malem aku main ke kamar kamu ya!" ujarnya bersemangat. Aku mengangguk semangat.  "Bawa makanan ya!" aku berkata sambil tertawa.  "Makanan aja pikiran lo Nay, pantesan tu pipi tembem kaya bakpao." Anzal yang entah dateng darimana langsung ikutan ngobrol aja.  "Yeh.. Ini mah udah dari sananya kali.." ujarku sambil menggembungkan pipiku.  "Haha. Pipi lo tuh, bener-bener gemesin ye." Anzal terlihat seperti ingin mencubit pipiku. Namun yang mencubit pipiku bukan jari jemari Anzal, melainkan Skandar.  Aku mendongak, menemukan dia sedang nyengir ke arahku sambil memainkan jari telunjuk dan ibu jarinya di pipiku yang tembem ini.  "Iya, kenyal banget loh." Skandar berkata dengan santainya, sedangkan aku berasa menjadi patung ketika jari dia masih menyentuh pipiku. Tiba-tiba tangannga menjauh, hawa panas yang sedari tadi menjalar di pipiku mendadak menjadi dingin. Aku merasa kecewa ketika tangannya menjauh. Apa ini? Kenapa aku kecewa negini? Dadaku? Aku memegang dadaku yang seperti habis naik roller coaster.  Bahkan aku masih diam ketika Anzal dan Skandar sudah meninggalkan kelas. Meninggalkan aku dan Rimi yang masih terdiam.  "Skandar itu, baik.. Aku suka sama dia, Nay.." suara itu. Bukan suara dari dalam hatiku. Namun dari sebelahku. Rimi mengatakannya. Dia menyukai Skandar. Kenapa ada perasaan sakit di hatiku?  Aku tersenyum kepadanya. "Aku akan membantumu!" aku berkata dengan semangat. ************ Pukul 00.30 WIB  Aku belum bisa tidur. Ini hari pertamaku di asrama. Entah mengapa aku nerasa kangen dengan ayah ibu dan kedua kakakku. Ingin rasanya menelpon mereka. Namun kuurungkan niatku, ketika tahu jam sudah menunjukkan tengah malam. Aku mendesah pelan. Mengambil jaketku dan mengunci kamar dari luar.  Aku menatap lorong yang sepi. Ya jelas sepi, ini kan tengah malem. Aku cengengesan sendirian, menertawakan kebodohanku. Tanpa disangka kakiku menuntun ke tangga darurat, naik ke lantai atas, dan naik lagi. Tanpa sadar aku sudah berada di atap yang sudah kukunjungi tadi setelah membereskan barang-barangku.  Aku berjalan perlahan sambil memainkan kunci kamarku dengan gantungan bintang berwarna biru. Ya, aku suka bintang. Ketika sedang resah, aku pasti memandang bintang dari balkon kamarku-setidaknya itu dulu ketika aku masih di Jakarta. Walaupun sangat jarang bintang terluhat di langit Jakarta.  Aku menghempaskan pantatku di bangku panjang. Aku menghela napas dan mememgadah ke langit, kemudian kututup mataku, merasakan hawa dingin Bogor. Namun samar-samar, aku mendengar suara orang memetik gitar sambil.bernyanyi. Aku berdiri dan menengok ke balik dinding yang kutau kalau di seberang dinding itu adalah atap dari gedung asrama putra.  Disana, aku melihatnya. Memetik gitar sambil bernyanyi.  Hatiku mencelos, kakiku lemas. Kenapa selalu bertemu dengannya?  Ketika kudengarkan dengan seksama, dia sedang memainkan lagu Need You Know by Lady Antabellum. Entah kenapa lagu itu seakan menohok jantungku.  Dia menengok, mungkin merasa jika diperhatikan olehku.  Aku menggaruk tengukku yang tak gatal. "Hallo" aku menyapanya.  Dia menatapku heran, kemudian berkata "Lo ngapain disini? Ga tidur?"  "Mmh, gabisa tidur. Kamu sendiri?" aku duduk di pinggiran pembatas gedung putri dan putra.  "Hei, jangan duduk disitu. Bahaya tau." dia menaruh gitarnya, dan berdiri. Kemudian membuat ancang-ancang seperti ingin lomba lari.  "Eh? Kamu mau ngapain?" aku bingung melihat posenya dia. Yang kuingat adalah senyuman miringnya yang penuh pesona, sebelum dia sukses mendarat di sebelahku. Aku menganga kaget. Dia nyengir tak berdosa dan menarikku berdiri yang masih duduk di pinggiran pembatas.  "Dibilang bahaya juga. Udah sini aja." dia menarikku untuk duduk di kursi panjang ya.g sebelumnya aku duduki. Aku masih bengong melihatnya sudah ada di sampingku. Dia melompat? Ya Tuhan!  "Hei! Yang bahaya tuh kamu tau. Kalo sampe jatoh gimana coba?" aku merengut kesal. Mungkin karena khawatir yang berlebihan, campur dengan shock. Gila nih cowok!  "Biasa aja kali Nay, gue udah biasa." dia mengacak rambutku dengan pelan. Membuatku sedikit risih karena perlakuannya.  "Biasa? Kamu sering nyusup ke asrama putri ya?!" aku bertanya nyaris berteriak. Kemudian sadar dan aku menutup mulutku sendiri. Sedangkan dia? Hanya diam dan menatap langit.  Aku melihat dia tersenyum. Akhirnya aku mengikutinya yang bersandar pada kursi panjang dan menutup mataku. Menikmati hawa dingin malam ini. Aneh sekali, tadi aku sama sekali tak mengantuk, namun sekarang rasanya mataku berat sekali. Aku mengikuti keinginan mataku, dan tanpa tersadar kepalaku sudah bersandar di pundak Skandar. **************  "Ya Tuhan! Apa yang kulakukan??" aku berbisik pelan, mendapati diriku yang bersandar di bahu Skandar ketika bangun dari tidurku. AKU TIDUR DI ATAP DENGANNYA??! Sekejap, pikiranku melayang ke Rimi.  Aku menatap wajah tampan Skandar, mata coklatnya yang indah tertutup, hidungnya yang mancung menggodaku untuk kucubit, dan aku melihat bibirnya yang agak tebal, namun terlihat seksi. Duh! Mikir apa kaaau Nay!! Aku memukul kepalaku keras.  "Udah mandangin wajah ganteng gue?" tiba-tiba bibir itu bergerak, namun matanya masih menutup sempurna. Aku mendengus kesal. Ternyata ni anak udah bangun..Dia membuka salah satu matanya, dan tersenyum menggoda ke arahku.  "Ih! Apaan deh.." aku berdiri dan beranjak dari tempat kami tertidur malam ini.  "Aku duluan ya." aku melambai pelan ketika sampai di depan pintu darurat.  "Jangan lupa bawa jas gue loh ya!" aku menengok ke arahnya, tak mengerti. Ketika aku ingin bertanya, dia sudah menghilang di balik dinding pembatas itu. Aku menyerit.bingung. Jas apaan? Akupun mengangkat kedua bahuku, dan saat itulah jas sekolahnya terjatuh. Aku menatap jas yang kulampirkan di lenganku.  Berpikir.  Jadi dia nyelimutin aku pake ini?  Wajahku merona merah. Aku yakin sekarang wajahku seperti kepiting rebus.  Aku menepuk pelan pipiku dan berlari menuruni tangga darurat. Katika sanpai di depan kamar, aku melihat Rimi sedang mengunyah roti gandumnya.  "Hahu hahi haha?" dia berkata dengan mulutnya yang penuh, tapi aku bisa mengerti bahasa planet.yang sedang dia gunakan.  "Dari bulan." aku terkikik geli dan masuk kedalam kamar. Bersiap ke sekolah. Aku membuka jaket dan menaruhnya di gantungan, sedangkan jas sekolah Skandar aku letakkan di ranjang agar tak kelupaan membawanya.  Tiga puluh menit kemudian, aku sudah berada di kelas. Aku melihat sekeliling kelas, sudah ramai ternyata. Rimi juga sudah ada di kelas. Sedang menyalin tugas pastinya. Aku mencari si pemilik jas yang sedaritadi kubawa-bawa. Namun aku tak menemukannya. Apa dia ga masuk ya? Dia sakit? Akupun berjalan ke arah bangkuku. Dan saat itulah aku melihatnya sedang melipat kedua tangannya, kepalanya terbenam diantara lenamgannya. Dan aku mendengar dengkuran halus. Dia tidur ternyata.  "Itu jasnya siapa Nay?" Rimi bertanya tanpa berpaling dari tugasnya. Aku terdiam. Kalau aku bilang ini punya Skandar, apa aku harus kasihtau kejadian tadi malem? Aku.bingung harus menjawab apa.  "Jas gue, Mi." Skandar tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arahku. Aku yang lemot apa Skandar yang gerakannya.cepwt banget sih? Kok bisa sampe ga sadar kalo dia udah bangun? Ck.  "Nih, jasnya." akupun memberikan jas miliknya. Sedangkan Rimi hanya menatapku dalam diam, kemudian kembali menyalin tugasnya.  Ketika Rimi sedang ngobrol dengan Gia-teman sekelasku yang duduk di samping Rimi. Akupun memajukan tubuhku, mendekati telinga Skandar. "Makasih ya jasnya." aku berkata dengan sangat pelan.  Dan Skandar hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari iPhone miliknya. ************* Aku sedang duduk termenung di dalam kelas, sesekali memperhatikan anak-anak cowok yang sedang bermain bola di tengah hujan sederas ini. Oh ayolah, mereka bukan anak kecil lagi yang hobi main hujan. Mereka ga takut sakit apa ya? Ck.  Lihatlah, Anzal bermain dengan sangat semangat, Agung sama gilanya sama Anzal. Mereka itu kalo di kelas kaya anak kembar, badannya sama-sama kecil. Hahaha. Ada juga Iqbal, dia paling gemuk diantara cowok lainnya. Dan yang kuperhatikan, dia paling dekat dengan Skandar.  Hmm, Skandar.  Cowok hang belakangan ini udh bikin pikiran aku tersita. Padahal baru beberapa hari ini aku kenal sama dia. Sikapnya yang ga menentu, bikin hati aku makin berdetak super kenceng kaya masuk Rumah Hantu Hospital yang di Jepang itu. Ewh, benar-benar buat ga karuan. Belum lagi Rimi suka padanya. Rasanya sulit diterima, entah kenapa. Padahal aku dan Rimi sudah mulai bersahabat. Sahabat akan saling mensukung bukan? Hh.  "Heeei? Nayaa~" aku mengerjap kaget ketika baru sadar, ada tangan yang digoyangkan ke kanan kiri di depang wajahku. Tangan Anzal. Sejak kapan dia disini? Kayanya tadi lagi main bola deh. Kan bener, dia tuh kaya hantu. Suka nongol tiba-tiba.  "Eh?" aku hanya bisa memberikan tanggapan seperti itu. Dia nyengir, kemudian menarik bangku Skandar mendekati mejaku. Dia duduk menghadapmu.  "Nay, lo suka ya sama Skandar?"  DEG.  "Hah? Apaan sih Nzal?" aku kaget bukan kepalang akan pernyataannya, itu bukan pertanyaan. Suka?  "Yaelah, ga usah tampang bego gitu deh. Keliatan tau." dia nyengir lagi, kemudian mengacak poniku.  "Uhhh, jangan acak poni aku.." akh merapihkan poniku segera setelah dibuat acak olehnya.  "Hei hei, jomblangin gue sama Cindy dong." aku mengerjap kaget. Tanganku berhenti di kepalaku. Siapa dia bilang? Cindy? Cewek manis yang tinggal di sebelah kamarku? Sebenarnya dia lebih muda setahun dariku, berhubung dia pintar makanya dia sekarang satu angkatan denganku.  "Kok mintanya sama aku? Aku kan anak baru Nzal, ngaco banget deh kamu." Anzal berdiri, merapihkan buku-bukunya yang berserakan. Dia menengok ke arahku, tampak berpikir. Seolah terlihat ada lampu terang di atasnya, matanya bersinar. Dia mendapat ide.  "Sama Rimi aja deh. Sebenernya gue udah ngincer dia. Tapi kayanya dia demen sama Skandar deh. Bener ga sih tebakan gue?" aduuuh, ni anak. Udah tau kenyataannya, masih aja ngebet mau deketin. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.  "Nah itu kamu tau faktanya, kenapa masih minta jomblangin?" aku terkekeh geli. Bangkit dari dudukku berniat ingin menerobos hujan yang tak kunjung reda.  "Gue duluan ya Nay!" dia berjalan keluar kelas setelah nyengir lebar, mungkin tertawa sendiri karena permintaan anehnya itu. Memang otaknya agak konslet dia.  Aku akhirnya berdiri di pinggiran lorong kelas, bermain dengan teteas air hujan yang terjatuh dari atap sekolah. Aku melebarkan telapak tanganku, membiarkan tanganku basah terkena air. Tiba-tiba ada jaket yang terlampir di bahuku, aku menengok ke belakang. Dia lagi, Skandar.  "Ngapain bengong? Ntar kesambet loh." dia berkata sambil menepuk kepalaku pelan.  "Engga bengong kali." aku meberenggut. Dia tertawa dan memainkan pipiku. Sepertinya dia sangat menyukai pipiku ini. Aku tersenyum menatapnya.  "Lo ga balik?" dia bertanya sambil melepaskan tanganya dan melijat jam tangannya. "Udah jam segini loh.." aku melirik jam tanganku, terlihat jarum jam menunjukkan angka 5. Astaga, selama itukah aku diam di kelas?  "Masih ujan gini, aku gabisa pulang." aku memandang ke arah hujan yang tak kunjung berhenti. Tiba-tiba tangan seseorang menarikku paksa, hingga aku sudah berada di bawah siraman air hujan yang sangat dingin ini.  Ya ampun, aku basah kuyup. Aku menengok ke Skandar yang menatapku sambil tertawa jahil. Aku menonjok pelan bahunya, kesal karena hal yang kuhindari sejak pulang sekolah tadi malahan menimpaku. Ya, aku di kelas berdiam diri karena menunggu hujan reda. Tapi anak ini, sukses buat aku basah kuyup.  "Udah ah, lomba yuk. Yang sampe paling cepet di asrama dia yang menang." aku diam memperhatikannya, sambil sesekali menyapu air yang memenuhi wajahku. Useless you knoe. Hujan benar-benar deras.  "Yang kalah harus traktir!!" dia menjerit sambil berlari. Aku melongo melihat tingkahnya, dan sekejap aju mengejarnya yang sudah berada jauh di depanku. Memang dasar laki-laki. Kakinya kan panjang, jadi mudah saja menang melawan kaki pendekku ini. Ketika sampai di asrama putri, dia terdiam di depan pintu masuk. Menunggu aku yang masih berusaha mengejarnya, sepertinya. Padahal sudah jelas siapa yang menang.  "Kamu curang ih.." aku berkata kesal sambil mengelap air yang sudah menggenangi mataku. Ugh, ini seperti aku menangis. Mataku sembab.  "Janji tetaplah janji. Gue tunggu ya traktirannya." dia tersenyum manis sekali. Dan aku hanya bisa mengangguk. Aku menunduk, melihat diriku yang basah karena kelakuan Skandar.  "Lihatlah, in---" ucapanku terpotong ketika bibir Skandar sudah menempel di bibirku. Aku melotot kaget, namun tak lama kemudian aku menutup mataku perlahan dan membalas ciumannya. Hanya satu kata, hujan kali ini benar-benar indah. Terasa sekali bibirnya tersenyun ketika aku membalas ciumannya. Dia memelukku erat, dan melepaskan tautan bibir kami. Aku membuka mataku perlahan, dan dia menyatukan dahi kami. Dia tersenyun, sangat manis. Tangan kanannya masih melingkar di pinggangku, dan tangan kirinya menggenggam tangan kananku.  Aku tertunduk malu. Aku merasa kehilangan ketika dia melepaskan pelukannya dan jemarinya.  "Aku pulang. Sampai ketemu besok, Nay." dia berkata pelan, namun aku mendengarnya. Tubuhku terdiam, suaranya seakan menghipnotisku. Akupun hanya bisa mengangguk dan memandangnya yang berlari menerobos hujan yang sudah tak sederas tadi. Ketika sosoknya hilang, aku berputar je arah kanan, hendak masuk ke kamarku. Dan betapa kagetnya aku melihat seorang yang sangat kukenal, sedang memegang segelas coklat panas yang mengepul, memandangku sedih.  "Rimi.." ************* Beberapa hari ke depan, Rimi tampak muram dan menjauhiku, begitu pula aku. Skandar tampak lebih diam dari biasanya, dan akupun tak bisa mengatakan apa-apa padanya. Lagipula, apa yang harus kukatakan? Apa aku harus bertanya kenapa dia melakukannya? Kupikir dia harus menjelaskannya kepadaku, sebelum aku bertanya. Namun dia hanya diam. Itu artinya tak perlu ada yang dibesar-besarkan. Walaupun hatiku melambung tinggi penuh harapan, namun sebagian hatiku memikirkan Rimi. Aku benar-benar merasa sedih.  "Hoi~ Nay, lo diem aja?" Anzal memghampiriku yang sedang duduk diam di kursi kesayanganku. Aku menoleh ke arahnya, dan aku menjatuhkan kepalaku di atas lenganku yang selalu berada di atas meja. Aku membenamkan wajahku.  "Puyeng aku, Nzal.." aku berkata sambil menggelengkan kepalaku, tetap membenamkan wajahku.  "Puyeng kenapa? Kaya nenek-nenek aja lo ah." dia duduk di bangku Skandar dan menatapku. Kemudian dia mengambil sesuatu dari kantong jasnya.  "Nih makan, biar semangat lagi." sebatang coklat putih Tobleron sampai di penglihatan mataku. Coklat kesukaanku. Aku tersenyum girang dan mengambilnya..Bagaimana dia tahu?  "Thanks Nzaaal!!" aku berteriak ketika dia hampir hilang di balik pintu kelas.  Ketika sedang asik makan coklat, tiba-tiba Rimi menghampiriku.  "Sepertinya kita perlu bicara." aku mendongak, mataku berbinar karena akhirnya Rimi mau berbicara padaku.  Dan, disinilah aku. Di taman menghadap lapangan basket, tempat diman. biasanya Skandar menghabiskan waktu saat istirahat. Bermain basket tentunya.  Rimi duduk terdiam memandang ring basket.  "Kau tahu, pertama kali aku menyukainya ketika dia bermain basket disini.." aku mendengarkan dengan seksama cerita yang akan dilonyarkan Rimi.  "Beberapa hari setelah aku pindah kesini, sebelum masuk sekolah, orangtuaku meninggal karena kecelakaan pesawat.." ada jeda untuk mengambil napasnya sejenak. "Kemudian, di hari aku menangis disini meratapi nasibku, Skandar bermain basket dengan sangat semangat." dia menoleh ke arahku, dan tersenyum.  "Dan saat itulah aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia terlihat begitu mempesona. Begitu semangat menghadapi hidup. Melihatnya, seperti aku menemukan semangat untuk kembali menjalani hidup. Apalagi ketika aku tahu bahwa kami satu kelas." dia kembali menatap ring, kemudian menatap sepatu flatnya.  "Di kelas, dia sangat pendiam. Aku jarang sekali ngobrol dengannya. Apalagi mendapatkan senyumnya.." dia menghela napasnya, dan melanjutkan.  "Tapi kau, di hari pertama masuk sudah dapat senyumnya.." dia tersenyum kecut ke arahku. Itu bukan kali pertamanya aku bertemu dengannya dan mendapat senyumnya.. Itu untuk yang kedua kalinya.. Seandainya aku bisa mengatakannya pada Rimi.  "Dan ketika aku melihat tatapan matanya padamu, ada yang berbeda disana." dia menoleh kembali padaku.  "Dan saat itu aku sadar bahwa aku kalah darimu, bahkan sebelum berperang." ada cairan bening terjatuh dari sisi matanya yang biru indah itu. Tak terasa aku juga mengeluarkan air mataku.  "Ak-aku tak bermaksud menyakitimu Mi.." aku berkata dengan terbata.  Aku melihatnya tersenyum dengan air matanya, dia meremas jari-jari tangannya.  "Dan aku memutuskan untuk melepaskan cinta pertamaku, jika memang dia bahagia denganmu Nay. Aku rela.. Karena kau adalah sahabatku.." dia terisak dalam diam. Aku memeluknya, dan kami menangis bersama-sama. Entahlah, persahabatan yang baru saja kami jalin seperti sudah terjalin selama bertahun-tahun lamanya. Aku merada sangat nyaman di samping Rimi. ************ Waktupun berjalan dengan cepat, tak terasa kami sudah selesai di kelas X ini. Dan kini aku sedang terdiam sendirian di dalam kelas. Rapot sudah dibagikan, dan sekrang waktunya liburan. Teman-temanku yang lain sudah pulang ke kota masing-masing. Rimipun sudah kembali ke Batam. Dia memesan tiket lebih awal, dia juga melewatkan pengambilan rapot. Dia bilang sudah sangat kangen dengan keluarganya. Alasan lainnya, dia tak ingin beli tiket saat harga tiket melambung tinggi. Haha, dasar Rimi.  Aku berdiri dari bangkuku, dan berjalan pelan ke meja di depanku. Orang yang selama ini mengacihkanku tanpa alasan yang jelas setelah ciuman itu. Ah, ciuman pertamaku. Aku mengusap pelan bibirku dengan ibu jariku. Kemudian aku duduk di kursinya, dan menatap mejanya. Kuelus perlahan mejanya seakan aku mengelus rambutnya yang terlihat halus.  "Hei, apa kabar? Kisah kita hanya benerapa hari ya. Setelah itu kita seperti orang yang sama sekali tak mengenal.." aku tersenyum kecut.  Aku ingat awal pertemuanku di depan asrama. Aku ingat tatapan matanya ketika aku masuk kelas pertama kali. Aku ingat ketika kami tak sengaja bermalam di atap gedung asrama. Aku ingat ketika kita mandi hujan bersama. Aku ingat ketika kau menciumku.. Dan hatiku terasa kosong ketika kau mengabaikanku.. sampai sekarang.  Tak terasa air mataku mengalir, ketika otakku memutar balik semua kenangan antara aku dan dia. Aku tersenyum.  "Kenangan yang indah, walau hanya sesaat.." aku mengusap air mataku.  Dan saat itu, aku melihat ada ukiran namaku di mejanya.    I'm sorry Naya, for everything..  Taman, 010814.    Aku mengerjap kaget. Taman? 010814? Itu kan hari ini bukan?  Aku langsung berdiri, dan.berlari dengan.secepatnya ke taman di belakang asrama putri dan putra. Aku ingat sekali, dia bilang kalau dia sangat menyukai taman itu. Membuatnya tenang. Ketika aku sampai di taman itu, aku menutup mulutku dengan haru. Terakhir kali aku kesini, taman ini hanya terdapat beberapa bunga mawar dan bunga tulip. Namun sekarang, aku melihat taman bunga lavender. Bunga kesukaanku. Rasanya saat ini aku ingin menangis. Apa dia yang melakukannya?  Aku mendekat ke taman bunga itu, dan menyentuh bunga berwarna ungu tersebut. Aku menoleh ke sekeliling, namun orang yang kuharap ternyata tak ada disini. Aku tersenyum lembut.  "Hei, lavender. Makasih ya udah hibur aku. Paling ga, kamu bisa gantiin dia saat dia gada disisiku." aku mencium harum wangi bunga itu.  "Kamu gamau disisi orang itu, hm?" aku kaget, dan menoleh.  Disana, dia berdiri dengan pakaian santainya. Berbalut T-shirt putih polo, dan celana jeans panjang serta sepatu kets yang kutau kalau itu adalah sepatu kesayangannya. Sudah dekil memang, tpi dia bilang dia nyaman memakainya.  "Skandar..?" aku berkata pelan, seperti berbisik. Dia berjalan mendekat padaku, parfum papermint darinya langsung menyeruak di penciumanku. Aku rindu wangi ini.  "Miss me?" dia berkata sambil tersenyum miring, senyum yang sangat aku sukai.  Dan sebagai jawaban atas pertanyaanya, aku menangis. Air mataku tumpah ruah seperti air bah. Dia memelukku erat, dan aku memukul d**a bidangnya pelan.  "Kenapa.. Kenapa kamu ngelakuin semua hal nyakitin itu?" aku berteriak dengan suara serak dan dengan tangisan. Dia hanya memelukku erat dan mengelus punggung dan rambutku lembut.  "Maaf, aku hanya ingin memastikan petasaanku. Aku tak ingin kita larut dalam perasaan sesaat." dia menyentuhkan dagunya di puncak kepalaku, dan perlahan menciumnya, merasakan wangi shampo yang keluar dari rambutku.  Aku masih menangis, namun sudah reda. Aku ingin mendengar semua penjelasan yang keluar dari mulutnya.  "Kau tahu kan, kita.baru mengenal.beberapa hari.. Dan aku langsung merasakan feel itu saat bersamamu. Rasa yang tak pernah kualami. Dan hari berhujan itu, hari dimana aku.tak bisa mengontrolnya lagi. Aku minta maaf jika perlakuanku seenaknya saja ke kamu." dia melepas pelukannya dan menyentuh daguku.  "Lihat mataku." dia berkata dengan pelan, kemudian tersenyum. Dia mengusap air mataku yang masih sedikit mengalir, dan berkata dengan menatap manik mataku dalam.  "Aku mencintaimu, sekarang, esok, dan selamanya."  Air mataku kembali mengalir. Aku kembali menangis. "Aku juga, sangat mencintaimu.." benar-benar, aku ingin mengatakannya dengan senyuman lebar, bukan dengan.tangisan seperti ini.  Dia mendekat ke wajahku, dan mencium lembut kedua mataku yang masih mengeluarkan air mata, sampai aku diam tak menangis lagi. Kemudian dia mencium hidungku, kedua pipiku, kemudian dia melihat mataku dalam, seakan meminta izin. Aku mengangguk dan membiarkan dia melumat bibirku. Semenit kemudian dia melepasnya perlahan, dan dia menyatukan dahi kami. Sehingga mataku dan matanya bisa bertemu pandang dengan lama.  "Hei. Kalo aku ga liat tulisan di meja kamu gimana coba?" aku melepaskan pelukannya dan memandangnya.  "Uhm, yah.. Aku yakin kok kamu bakalan liat. hehe." dia terkekeh pelan. *** END ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD