2

1376 Words
Hari ini adalah ulang tahun Rey yang ke tujuh belas, sesuai dengan permintaannya ia ingin merayakan acara ulang tahunnya di panti asuhan.   Mereka sudah menyiapkan sebuah acara sederhana di panti asuhan itu, sebuah tenda dan beberapa pilihan makanan catering sudah tertata rapi di atas meja yang disediakan.   Semua penghuni panti asuhan duduk dengan rapi di kursi yang disediakan, keluarga Rey juga sudah sampai dan duduk di tempat yang khusus yang disiapkan untuk mereka.   "Iya adek-adek, seperti yang kita tau saat ini kita sedang merayakan ulang tahun kak Reyhan yang ke 17." Pembawa acara itu bertepuk tangan, begitu juga dengan anak panti asuhan yang sedang duduk rapi di sana.   Acara itu berlangsung meriah, diawali dengan doa dan dilanjutkan dengan games kecil. Karena mayoritas di tempat ini adalah anak-anak, maka acara ulang tahun Rey ini dibuat seramai mungkin.       "Mah, Rey mau ke toilet, ya." Pamit Rey pada Ibunya, setelah mendapat anggukan, lelaki itu melenggang pergi.   Cukup sering berkunjung ke panti asuhan ini, membuat Rey hampir hafal seluruh tempat yang ada termasuk toilet. Ia tidak perlu bertanya pada siapapun lagi.   Setelah berada sekitar 5 menit di dalam toilet, Rey keluar sembari mengeringkan bajunya yang sedikit basah karena air menggunakan tangannya.   "Pake acara kesiram segala," gerutu Rey sambil berjalan menunduk karena memperhatikan bagian bajunya yang sedikit basah.   Karena pandangannya teralih pada bajunya, Rey tidak memperhatikan apa yang ada di depannya. Membuat dirinya tidak sengaja menabrak seseorang.   "Eh, maaf." Rey mendongakan kepalanya untuk melihat siapa yang di tabraknya barusan.   "Lo?"   Ucap mereka berdua secara bersamaan, Tamara dengan pandangan kagetnya dan juga Rey dengan tatapan sinisnya.   "Rey, ngapain di sini?"   Rey mendelik sebal, "Lo yang ngapain."   Tamara menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"   "Iya, lah." Rey memutar bola matanya malas.   "Jadi duta shampo lain? Ha ha ha, ups." Tamara tergelak geli.   "Ha ha ha," sinis Rey, "lucu ya lo, pengen gue tabok."   "Idih, galak amat kaya bull dog," ejek Tamara seraya menjulurkan lidahnya.   Rey menatap sinis gadis itu, kemudian berlalu. Enggan lama-lama berurusan dengannya. Namun, baru beberapa langkah, tangannya dicekal oleh Tamara.   Tidak terima disentuh oleh gadis itu, Rey menghempaskan tangan Tamara dengan kasar. "Jangan pegang-pegang!"   "Santai dong." Tamara mencebikkan bibirnya, "lo yang lagi ulang tahun itu, ya?"   "Penting banget, ya?" sahut Rey judes. "Lagian, gue nggak ngundang lo, tuh."   "Tapi, lo ngundang semua orang yang tinggal di sini," balas Tamara.   "Terus, apa hubungannya sama lo?" ketus Rey.   "Gue tinggal di sini."   • • • •   Rey menyenderkan dirinya di salah satu tiang gazebo itu, pikirannya sudah jauh menjalar kemana-mana. Rasanya, Rey lelah harus bersikap seperti ini.   Menjadi seorang lelaki yang bermulut pedas dan tidak pedulian itu, rasanya sangat berat untuk Rey jalani.   Berbeda dengan dirinya yang dulu, memang dari dulu Rey jarang bicara dan terkesan cuek. Hanya saja bedanya, dulu dirinya tidak pernah berkata kasar pada makhluk rentan yang disebut perempuan.   Itu semua karena Tiara, gadis yang berhasil merebut hatinya untuk pertama kali karena kebaikan hatinya. Namun, sayang. Semua itu hanya fiksi belaka.   Rey tertawa hambar saat mengingat betapa bodohnya dirinya, selama satu tahun. Gadis itu dengan tidak langsung sudah menguras hartanya.   Rey, aku mau nyumbang buat kegiatan amal loh. Kamu mau nyumbang juga nggak?   Rey, kasian korban kebakaran itu. Kita harus bantu.   Sayang, panti asuhan yang biasa aku datengin bakalan di tutup. Mereka sudah nggak punya biaya lagi.   Aku mau beliin makanan untuk anak jalanan itu.   Rasanya nggak tega, tapi tabungan aku sudah habis buat amal.   Aku sedih, nggak bisa bantu mereka lagi.   Suara-suara Tiara saat berakting menjadi penyelamat terputar lagi di ingatan Rey, lelaki itu tertawa hambar. Betapa bodohnya dirinya, tidak meminta bukti bahwa uang yang selama ini diberikannya pada Tiara benar-benar gadis itu gunakan untuk sumbangan amal.   Nyatanya, gadis itu menggunakan uang yang Rey berikan untuk berfoya-foya. Belanja, mempercantik diri, jalan-jalan, sangat jauh dari kata membantu.   "Terima kasih Tiara, berkat lo gue jadi sadar." gumam Rey, "Bahwa tidak semua wanita baik itu benar-benar baik."   Rey rasanya muak, saat ia percaya pada orang lain untuk pertama kalinya. Ia harus mendapatkan pelajaran yang sangat berharga.   • • • •   Tamara tengah tertidur pulas, dengan selimut yang membungkus seluruh tubuh mungilnya. Gadis itu mirip dengan makanan lemper sekarang.   Seseorang datang, menggerakkan tubuh Tamara. Agar gadis itu terbangun dari tidur lelapnya.   "Sayang," wanita paruh baya itu menyibak pelan selimut yang membungkus tubuh putrinya, "yuk, pulang."   Gadis itu mengerjap, ia menyipitkan matanya yang masih sangat berat untuk terbuka. Rupa wanita itu hanya sedikit terlihat, namun ia tahu siapa wanita itu. Ia adalah ibunya.   "Bunda." gadis itu mengucek sedikit matanya.   "Yuk pulang, besok kamu sekolah," ajak wanita itu.   "Tamara ngantuk, Bun." gadis itu kembali memejamkan matanya.   "Kalo kamu nggak mau pulang, besok-besok bunda nggak izinin kamu main ke panti ini lagi." ancam Bundanya, Tamara langsung bangkit dan berjalan keluar kamar itu.   "Maafin Bunda, gara-gara bunda yang sibuk kerja. Kamu sampe harus tinggal di panti asuhan ini biar nggak kesepian." gumam wanita itu sembari menatap punggung anaknya yang kian tidak terlihat.   • • • •   Pagi ini Rey berjalan di koridor dengan diiringi para sahabatnya. Inilah mereka, Rey, Rio, Revin, Rasya dan Rico atau biasa disebut 5R.   Mirip ukuran foto? Memang. Tidak jalan mereka disebut cetakan foto berjalan karena nama grup yang tidak lazim didengar. Namun, siapa peduli? Mereka tetap spesial di mata para wanita.   Yang membuat mereka berlima spesial adalah ketampanan yang haqiqi. Badboy? Bukan.   Mereka tidak suka membolos, walaupun yang cerdas hanya Rey dan Rasya. Tetap saja, nilai mereka semua selalu tinggi.   Tentunya karena bantuan dari kertas berisi tulisan jawaban benar yang di berikan Rey adalah kunci dari keberhasilan mereka untuk melewati yang namanya ujian.   Merokok, clubing, playboy? Bukan gaya mereka. Lebih baik menjadi murid teladan dengan segudang prestasi, itulah motto mereka.   Saat masuk ke kelas, mata Rey menangkap potret seorang gadis yang sedang duduk dan fokus dengan buku yang ada di hadapannya. Itu Tamara.   Rey melangkah malas menuju kursinya, kemudian duduk. Tidak lupa ia menggebrak pelan mejanya, untuk memberi kode pada Tamara yang daritadi sedang fokus dengan Bukunya, bahwa Rey sudah datang.       Memperhatikan Tamara, membuat Rey menjadi teringat akan sosok Tiara. Gadis yang menjadi cinta pertamanya, dan menjadi orang yang pertama kali membuatnya sakit hati.   "Ibaratkan buah semangka, luarnya mulus. Pas dibelah, isinya bolong-bolong." gumam Rey yang sedang mendeskripsikan Tiara.   Tamara menoleh, gadis itu menatap Rey dengan alis terangkat satu. "Maksud lo?"   "Nggak penting." Rey menatap Tamara sinis, kemudian ia bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri para sahabatnya yang sedang duduk di luar kelas.   "Itu cowok kenapa, sih?" gumam Tamara, heran.   Part 3. "Tak perlu menjelaskan siapa dirimu pada orang lain. Karena yang menyukaimu tak membutuhkannya. Dan, yang membencimu tak akan memperdulikannya."     Tamara duduk termenung, bingung hendak berbuat apa di saat teman satu-satunya yang ia miliki di kelas sedang tidak hadir karena sakit.   Bosan, gadis itu menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangannya yang berada di atas meja.   Matanya mulai terpejam, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah yang kian mendekat. Tamara mendongakan kepalanya.   Itu Jordan, ketua kelas.   "Lo, nggak keluar Tam?" Jordan melangkah menghampiri Tamara.   "Gak ada Tasya, gue males," balas Tamara.   "Bareng gue aja, pasti lo malu kalo nggak ada yang temenin 'kan?" Jordan kini duduk di bangku yang berada didepan Tamara.   Awalnya Tamara ingin menolak, namun karena perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Ia memutuskan untuk menerima ajakan Jordan untuk ke kantin bersama.   Saat mereka sampai di kantin, Jordan menyuruh Tamara mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Hanya tersisa satu meja, Tamara langsung mendudukan dirinya di meja itu sambil menunggu Jordan datang.   Beberapa menit kemudian, Jordan datang dengan sepiring siomay dan segelas teh es yang ada di genggamannya.   "Gue mau pesen dulu ya, lo makan aja duluan." Tamara hendak berdiri, namun Jordan menahan lengannya.   "Ini udah gue beliin." Jordan menyerahkan sepiring siomay dan teh es yang di belinya tadi, "buat lo, gue udah makan. Sorry gue nggak nanya lo mau makan apa, tapi feeling gue lo mau makan siomay."   Dahi Tamara mengernyit, ia tidak mau menerima pemberian dari orang yang baru dikenal.   "Makasih, tapi gue nggak enak. Gue ganti." Tamara hendak mengambil beberapa lembar uang di dalam sakunya, namun hal itu dicegah oleh Jordan.   "Jangan diganti, gue ikhlas. Anggep aja buat salam pertemanan." Jordan tersenyum.   "Tapi gue ga-"   "Lo makan sekarang ntar keburu bel masuk." Jordan menyela omongan Tamara.   Gadis itu mengangguk pasrah, dan segera memakan siomaynya.   Tanpa mereka berdua sadari, daritadi ada sepasang mata yang sedang memperhatikan tingkah laku mereka.   "Sok banget nggak mau dibayarin, padahal dalem hatinya seneng bukan main." Rey mencibir dari kejauhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD