3

885 Words
Mobil audi hitam metalic milik Rey melaju membelah jalanan, pikirannya sedang kacau sekarang.   Wanita pertama yang dibencinya, kini kembali lagi. Setelah 2 tahun berpisah dengan Rey, Tiara pindah ke luar negeri, mengikuti Ayahnya. Entah untuk apa gadis itu kembali lagi.   Pikiran Rey sedang kacau sekarang, hampir 2 jam ia melajukan mobilnya tanpa arah.   Entah ada angin apa, Rey tiba-tiba mengarahkan mobilnya ke panti asuhan yang biasa dikunjunginya.   Rasanya bertemu anak-anak di sana bisa mengurangi sedikit rasa setres yang sedang melandanya.   Saat sudah menemukan tujuan, Rey segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan karena itu, banyak pengendara yang mengumpat karena hampir ditabrak oleh Rey.   Sekitar 15 menit, Rey tiba di panti asuhan itu. Saat ingin masuk, Rey bertemu dengan ibu Diana--pengurus anak-anak panti asuhan.   "Loh, Rey? Tumben ke sini hari ini? Biasanya hari jum'at. Eh, apa sekarang hari jum'at ya?" Ibu Diana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.   Rey terkekeh melihat tingkah ibu-ibu di hadapannya ini, "Ini hari Rabu, saya cuman pengen ke sini aja. Pengen main."   Ibu Diana mengangguk paham, "Boleh, tapi mereka lagi main sama Tamara."   Dahi Rey mengernyit, mengapa di mana-mana ada gadis itu? pikirnya.   "Tamara? Dia bener ya bu, tinggal di sini?"   "Bukan tinggal, tapi orangtuanya sibuk kerja. Tamara kesepian, terus suka main di sini. Biasanya tengah malem dijemput sama ibunya, tapi kalo hari sabtu dia nginep." jelas bu Diana.   "Suka main di sini? Bukannya dia pindahan dari Bandung, ya?" tanya Rey yang mulai tertarik.   Ibu Diana mengangguk, "Iya, memang dari Bandung. Tapi, itu udah satu tahun yang lalu. Habis pindah kalau nggak salah dia berhenti dulu satu tahun."   Rey semakin penasaran sekarang, "Kenapa nggak langsung sekolah? Masalah ekonomi?"   Bu Diana menggeleng, "Ekonomi lancar kok, Mama-nya bahkan juga sering menyumbang untuk panti asuhan ini."   "Terus, dia kenapa?"   "Entah, Nak. Ibu nggak bisa cerita lebih jauh, itu privasi mereka," ujar Bu Diana seraya tersenyum.   • •   "Nah, jadi jangan ada yang seperti ibu tirinya snow white, ya! Sampai mau membunuh anaknya, cuman karena kalah cantik." Tamara menutup buku dongeng yang telah selesai ia bacakan.   Semua anak-anak di kamar itu mengangguk mengerti.   "Udah, pencitraannya?"   Tamara menengok ke arah sumber suara, matanya melihat sosok Rey yang sedang bersandar di pintu dengan kedua tangan yang dilipat ke depan d**a.   "Ngapain ngeliatin gue gitu? Gak suka?" ketus Rey.   Gadis itu tidak merespon, ia bangkit dari posisinya kemudian ia pamit dengan anak-anak yang berada di situ. Setelah itu, Tamara langsung menarik Rey untuk keluar dari sana.   Tamara menarik Rey untuk membawa laki-laki itu menjauh dari anak-anak. Saat mereka sudah berada di luar kamar, Tamara segera melepaskan tangannya yang tadi digunakannya untuk menyeret Rey keluar dari tempat itu.   "Apa-apaan sih, lo kira gue apaan di tarik-tarik!" Rey menebas-nebas tangan jaketnya yang habis disentuh Tamara tadi, seakan-akan Tamara adalah kuman.   Tamara yang melihat Rey lantas melongo, apakah sebegitu anti Rey dengan wanita?   "Lo kenapa, sih?!" Tamara menggeretakan rahangnya.   "Gue? Nggak pa-pa." jawab Rey santai.   "Eh, gue nggak pernah ya cari masalah sama lo!" Tamara semakin jengkel.   "Lo pembohong," Rey menatap Tamara dengan tajam.   Dahi Tamara mengkerut, "Pembohong? Hello! Bahkan gue nggak pernah ya ngobrol sama lo, nilai dari mana lo kalo gue pembohong?"   "Lo itu bukan baru pindah 'kan? Lo udah pindah ke sini sejak setahun yang lalu," Rey tertawa sinis.   "Terus? Kenapa? Gue juga nggak pernah bilang kalo gue baru pindah. Lo nyimak nggak sih? Waktu perkenalan, gue cuman bilang gue pindahan dari bandung, bukan baru pindah dari Bandung." Tamara menekan beberapa kata pada kalimat akhirnya.   Rey terdiam, gadis itu benar. Dia tidak pernah mengatakan bahwa dirinya baru pindah.   "Kenapa diem? Gue bener kan? Lo punya masalah apa sih sama perempuan? Hidup lo kayaknya anti banget sama makhluk yang sejenis sama gue." Tamara menunjuk dirinya sendiri.   "Gue paling benci, sama cewek yang di depan baik," Rey menatap Tamara dengan tajam. "tapi di belakang busuk."   Tamara semakin tidak mengerti sekarang, bahkan dirinya tidak mengenal Rey sama sekali. Namun, lelaki itu sepertinya sangat membenci dirinya.   "Sumpah demi apapun, lo itu cowok paling freak yang pernah gue kenal." Tamara menunjuk wajah Rey.   "Dan lo," Rey membalas menunjuk wajah Tamara. "cewek paling MUNA yang pernah gue kenal."   "Lo bahkan nggak kenal sama gue Rey, dan dengan gampangnya lo bilang gue pencitraan dan cewek muna?" Tamara menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.   "Udah keliatan, lo kurang kasih sayang. Makanya lo tiap hari ke sini buat pencitraan sama anak-anak disini."   Sungguh, omongan Rey sangat melenceng jauh sekarang.   "Gue nggak habis pikir ya sama lo, kalo gue yang tiap hari ke sini buat dapetin kasih sayang terus apa kabar lo yang kemaren ngerayain ulang tahun disini? Bukan pencitraan?"   Rey mendelik, "Bukan lah, gue berbagi."   "Itu lo sebut berbagi? Oke. Gue juga berbagi, tapi cara gue beda. Gue nggak pake harta yang notebene nya masih punya orang tua, gue berbagi sesuatu yang emang bener-bener milik gue sendiri Rey. Lo tau apa? Kasih sayang."   Rey terdiam.   "Karena kasih sayang itu datang dari diri gue sendiri, milik gue sendiri. Dan, cuman kasih sayang yang bisa gue bagi dengan mereka. Walaupun gue sendiri kurang kasih sayang." Tamara menitikan air matanya.   "Kalo lo nggak tau apa-apa, mending lo diem Rey. Gue gatau kenapa sikap lo sebegitunya sama perempuan, tapi satu hal yang harus lo tau. Nggak semua perempuan itu sama kaya yang lo pikirin."   Tamara kemudian berbalik dan segera pergi meninggalkan Rey sendirian yang masih terpaku dengan kata-katanya barusan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD