Bab 1: Saya, Kamu, Kemah dan Kopi

3318 Words
*** Walau saya tidak akan pernah abadi tapi saya akan berusaha membuat segala hal tentang kita abadi selamanya seperti candi Prambanan dan Borobudur yang menjadi titik awal saya merasa jatuh cinta pada seorang perempuan *** “Rindu, saya sayang sama kamu.” Kalimat itu sudah menjadi makanan sehari-hari Rindu sejak hubungan mereka membaik. Mereka melalui banyak hal bersama. Bhanu sekarang juga menetap di Yogyakarta. Pria itu menempati Apartemen yang lama sedangkan Rindu sudah pindah ke rumah peninggalan ayahnya yang ada di Yogyakarta. Ngomong-ngomong soal rumah itu, Rindu juga baru mengetahuinya dari Bulik-nya. Bulik Asih mengatakan rumah itu sempat di gadaikan untuk biaya masuk kuliah Ninu, sepupunya namun sekarang Bulik sudah berhasil menebus sertifikat rumah itu dan menyerahkannya pada Rindu. Apakah Rindu marah saat mengetahui itu? Tentu saja tidak, Bulik juga memiliki hak atas peninggalan ayahnya. Rumah peninggalan Adichakra di Yogyakarta termasuk tipe rumah lama yang terasa sangat nyaman. Halamannya depannya tidak terlalu luas namun memiliki halaman yang sangat luas di belakang yang di tumbuhi pohon mangga, sawo dan rambutan termasuk juga sayur-sayuran. Rindu sangat senang tinggal di sana. Dia terkadang ikut membantu bulik Asih untuk merawat kebun belakang di akhir pekan, Bhanu kadang juga ikut bergabung dengannya. “Aku sudah tahu, kamu nggak bosan ngomong itu terus?” tanya Rindu, dia membawa nampan yang berisi banana cake buatannya ke arah Bhanu sedangkan pria itu sedang sibuk dengan lukisan terbarunya. Salah satu hobi Bhanu yang Rindu sukai selain bermain gitar dan piano ah satu lagi bernyanyi. “Mana mungkin saya bosan, di saat mengatakan itu rasa sayang saya ke kamu selalu meningkat 100%.” Rindu menggelengkan kepalanya, dia meletakkan nampan di atas meja kecil yang ada di samping kanvas Bhanu. “Udah tumpah-tumpah dong sayangnya, mau aku ambilin ember nggak?” tanya Rindu, gerakan kuas Bhanu di kanvas terhenti, dia kemudian menatap Rindu dengan senyum tulus andalannya. “Kenapa harus ember sedangkan saya bisa menumpahkan semua rasa sayang yang saya miliki sama kamu,” ucap Bhanu, Rindu mendengus dan memasukkan kue ke dalam mulut Bhanu. Seharusnya Rindu sudah terbiasa dengan gombalan receh andalan Bhanu Winata namun entah kenapa Rindu selalu merasa malu dan salah tingkah setiap mendengar gombalan receh Bhanu. Rindu merasa seolah mereka baru saja berpacaran sehari yang lalu padahal sudah enam bulan berlalu sejak mereka berbaikan di salah satu kursi yang ada di depan Malioboro dan sudah hampir setahun mereka bersama. “Gombal mulu, heran!” seru Rindu, Bhanu mengunyah banana cake buatan Rindu dengan cepat. Cake yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya dan Bhanu selalu memintanya di akhir pekan pada Rindu. “Kamu salah tingkah mulu, heran!” seru Bhanu tidak mau kalah namun senyum tidak lepas sedikitpun dari bibirnya. Rindu memalingkan wajahnya namun gadis itu tetap tersenyum. Gila, bersama Bhanu memang selalu berhasil membuat Rindu gila dan kehilangan akal. Pria itu selalu tahu cara membuat perasaan Rindu menghangat. “Stop ngegombalnya, kamu lagi membuat lukisan apa lagi hari ini?” tanya Rindu setelah berhasil menguasai dirinya, dia menggeser sedikit kursinya untuk lebih dekat dengan Bhanu, menatap coretan di kanvas itu dengan lekat. “Seorang yang ingin sekali saya nikahi,” jawab Bhanu dengan santai, dia melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Lukisan itu sudah hampir jadi dan Rindu jelas tahu siapa yang ada di lukisan itu. “Kamu nggak bosan ngelukis wajah aku mulu? Sekarang hampir setiap sudut Apartemen kamu penuh wajahku, Bhanu!” seru Rindu, dia tidak berbohong atau terlalu hiperbola karena memang hampir setiap sudut Apartemen Bhanu ada wajahnya. Di dekat pintu masuk, di dinding ruang santai, mulai dari kanvas dengan ukuran paling kecil sampai dengan ukuran paling besar, belum lagi di kamar tidur Bhanu dan lebih parahnya di dapur dekat lemari es pun ada wajah Rindu di sana. Semuanya dengan ekspresi yang berbeda bahkan Rindu sendiri tidak sadar dia pernah memasang eskpresi seperti itu membuat Rindu menyadari sesuatu bahwa sebesar apapun dia berusaha mengenal dirinya sendiri ternyata ada yang lebih mengenalnya. “Saya tidak punya objek lebih menarik dari kamu. Kamu tahu, semua ekspresi yang kamu hasilkan setiap harinya terlukis dengan indah di ingatan saya. Kamu sendiri mungkin tidak pernah menyadari bahwa kamu pernah memasang ekspresi seperti itu. Bagaimana mata kamu berkedip, bagaimana kamu tersenyum, marah, kening membentuk beberapa lipatan, hidung kamu berkerut dan saat bibir kamu mengerucut. Saya menyaksikan semuanya dan saya ingin memberitahukan pada kamu, kalau kamu itu selalu cantik dengan semua ekspresi yang kamu miliki,” jawab Bhanu dengan tatapan masih fokus pada kanvasnya. Rindu terpaku. “Kamu selalu memperhatikan aku sedetail itu?” tanya Rindu. Bhanu tersenyum sambil mengangguk. “Saya bahkan sudah hapal wajah stress dengan dua jerawat di wajah kamu setiap datang bulan. Sekarang saya lagi membuat lukisan itu. Kamu lihat sebentar lagi hasilnya. Kamu tetap terlihat sangat cantik,” ucap Bhanu. Mulut Rindu sedikit terbuka. Dua jerawat datang bulan dan wajah stress-nya. Pasti itu akan sangat jelek, membayangkannya saja sudah membuat Rindu mengerdik ngeri. “Kamu nggak usah bohong deh, kamu pikir aku nggak ngaca waktu datang bulan?” tanya Rindu dengan sengit. Dia tahu betapa berantakannya dia saat menahan sakit di bagian perut saat datang bulan dan Rindu sangat tahu bagaimana ekspresinya saat itu. “Tapi kamu nggak pernah bisa lihat ekspresi wajah kamu ketika mata kamu terpejam saat menahan sakit. Kamu lihat, kamu benar-benar cantik dengan ekspresi kening dan hidung berkerut dengan bibir rapat seperti ini jangan lupakan satu jerawat di jidat dan satu di pipi yang kadang pindah ke dagu di bulan berikutnya. Kamu cantik, Sayang dan terlihat lebih manusiawi, untung saja sekarang sudah berhasil saya gapai!” Bhanu menyelesaikan lukisannya. Bhanu menatap antara lukisannya dan Rindu bergantian. Dia tidak bohong, Rindu memang selalu cantik. Rindu menatap lukisan itu dengan lekat, ekspresinya tidak seburuk itu, dua jerawat itu juga terlihat manusiawi seperti apa yang di katakan oleh Bhanu, “gimana? Masih mau mikir kamu jelek?” tanya Bhanu, Rindu diam, entah kenapa Bhanu selalu punya cara membuat Rindu tidak merasa rendah diri atau insecure. “Kenapa sih kamu selalu punya cara untuk membuat aku kembali percaya diri?” tanya Rindu. Bhanu selalu memakai cara-cara yang tidak terduga untuk menaikkan mood Rindu yang berantakan. “Karena bagi saya, kamu nggak pantas rendah diri, sedikitpun nggak pantas. Kamu itu cantik, Sayang, pintar dan satu lagi yang harus kamu ingat, kamu udah sold out, kamu punya orang yang akan selalu sayang sama kamu apapun yang terjadi,” ucap Bhanu dengan senyum paling menenangkan, “jadi berhenti membandingkan diri kamu dengan siapapun, karena bagaimanapun, kamu tetap orang yang selalu berhasil membuat saya jatuh cinta setiap waktu.” Bukan tanpa alasan Bhanu mengatakan itu, akhir-akhir ini Rindu memang sering insecure dan membandingkan dirinya dengan orang lain, Bhanu paling tidak suka jika Rindu sudah seperti itu, makanya pagi ini Bhanu memilih melukis salah satu keadaan paling buruk menurut Rindu, yaitu saat Rindu kedatangan tamu bulanannya. Rindu sering menolak bertemu dengannya ketika gadis itu kedatangan tamu bulanannya, Rindu mengatakan kondisinya akan sangat jelek dan sangat berantakan, gadis itu akan mulai membandingkan diri dengan orang lain. “Kadang aku jadi suka mikir, sebenarnya yang lahir lebih dulu siapa sih? Aku atau kamu?” tanya Rindu tidak habis pikir, rasanya dia ingin sekali memeluk Bhanu erat-erat untuk mengungkap rasa sayang dan mengucapkan terimakasih pada Bhanu namun sekarang tangan Bhanu penuh dengan cat jadi Rindu memilih menahan diri,dia tidak ingin bajunya kotor karena nanti siang mereka ada rapat di B&W Coffe. “Sekarang bukan lagi soal siapa yang lahir duluan, saya ini seorang laki-laki, saya jelas harus memastikan kamu baik-baik saja termasuk juga dengan mood kamu, kalau mood kamu berantakan, saya juga yang kena dampak di cuekin berhari-hari jadi lebih baik saya memelihara mood kamu setiap saat,” ucap Bhanu, dia berdiri dari kursinya namun sebelum Bhanu benar-benar pergi, Rindu lebih dahulu memeluk pria itu dengan erat. Rindu tidak bisa menahannya lagi. “Makasih banyak-banyak Bhanu, terimakasih sudah membuat aku merasa menjadi orang paling beruntung setiap detiknya,” ucap Rindu dengan tulus. Bhanu tersenyum lalu mengecup puncak kepala Rindu dengan kedua tangan di angkat ke udara, Bhanu tidak ingin Rindu terkena cat yang memenuhi tangannya. “Saya akan merasa sangat senang ketika melihat kamu senang, Rindu.” *** Selesai meeting di B&W Coffe tentang perencanaan pembukaan cabang baru B&W Caffe, Rindu kini berada di mobil Bhanu, Rindu sedikit merasa kebingungan karena tidak biasanya Bhanu menggunakan mobil saat mereka mengunjungi B&W Coffe. Biasanya Bhanu lebih senang menggunakan vespa hitam metalik kebanggaannya. “Kamu tumben bawa mobil?” tanya Rindu, dia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Rindu meletakkan tasnya di kursi belakang dan kembali duduk dengan nyaman di posisinya. “Kita mau ke suatu tempat,” jawab Bhanu dengan santai, Rindu memicingkan matanya, menatap Bhanu penuh curiga. Rindu sangat tahu, kalau Bhanu sudah bersikap sok misterius seperti ini mereka pasti akan pergi ke tempat yang tidak pernah di duga oleh Rindu. Bhanu pasti sedang merencanakan liburan dadakan untuk mereka. “Kemana? Jawab nggak kalau nggak aku menolak ikut!” seru Rindu. Bhanu tersenyum, dia memasangkan topi ke kepala Rindu lalu menepuk-nepuk kepala Rindu beberapa kali. “Kali ini kamu harus nurut sama saya, Rindu.” “Mau kemana?” “Kamu nggak akan kecewa ikut sama saya sore ini, Rindu.” Apa yang bisa Rindu lakukan setelah mendengar itu selain pasrah, lagian selama ini, Bhanu tidak pernah mengecewakan tentang jalan-jalan mendadak mereka. Pria itu lebih tertarik pada wisata bersejarah dan penuh edukasi di bandingkan jalan-jalan ke mall, selama bersama Bhanu, Rindu nyaris tidak pernah pergi bersama Bhanu ke tempat itu. Mengamen di lampu merah adalah pengalaman kencan yang tidak pernah bisa Rindu lupakan, walau dia merasa sangat lelah harus berlarian setelah lampu kembali berwarna hijau, Rindu tetap menyukainya dan ingin mengulanginya lagi dan lagi. “Awas ya kalau ngebosenin!” seru Rindu. Bhanu kembali tersenyum. “Kali ini lebih menyenangkan dan kita belum pernah melakukannya bersama,” ucap Bhanu. Rindu mengangguk mengerti, dia mempercayakan akhir pekannya kali ini pada Bhanu. Rindu menatap keluar jendela, pemandangan Yogyakarta di sore hari tidak pernah mengecewakan, para mengemudi becak terlihat hilir mudik mengantarkan penumpang mereka, semakin sore Yogyakarta semakin ramai, ada pameran budaya secara mendadak yang menjadi salah satu alasan Rindu sangat mencintai Yogyakarta. “Aku kangen ngamen di lampu merah lagi, minggu depan ya.” Rindu menatap Bhanu yang sekarang juga memakai topi yang sama seperti yang dia pakai. Dia masih ingat, mereka membeli topi itu saat mereka pergi ke salah satu pantai yang ada di kidul Yogyakarta, pantai Indrayanti, pantai yang sangat terkenal karena aksesnya mudah selain itu pantai ini juga memiliki pasir yang putih dan garis pantai yang panjang. “Memang kuat lari-lari, minggu depan hari darurat kamu loh!” seru Bhanu, Rindu buru-buru melihat tanggal di ponselnya. Minggu depan adalah masa period-nya, masa yang membuat Rindu malas melakukan apapun. “Kok inget?” tanya Rindu. Bhanu tersenyum. “Mood swings kamu selalu parah di tanggal yang sama, keluhan kamu juga sama sakit perut dan malas gerak, jelas saya ingat, Rindu,” ucap Bhanu. Lagi-lagi Rindu merasa sangat beruntung bisa memiliki Bhanu. Pria itu selalu memperhatikannya dengan sangat detail. Bahkan hal-hal kecil yang tidak di perhatikan oleh pria pada umumnya. Membicarakan tamu bulanan bersama seorang pria memang sedikit tidak wajar dan memalukan untuk beberapa orang tapi ketika bersama Bhanu, Rindu tidak pernah merasa seperti itu, menurut Bhanu itu adalah salah satu hal di perhatikan dan perlu di bicarakan agar Rindu tidak merasa sendirian ketika dia kesakitan. “Kenapa kamu selalu ingat setiap hal tentang aku?” tanya Rindu tidak habis pikir, saat dia bersama dengan mantan pacarnya dulu yang sekarang sudah menjadi kakak ipar, Bhanu, Rindu tidak pernah merasa begitu di perhatikan. “Kamu adalah orang yang membuat saya merasakan kebahagian setiap saat, jadi sudah sewajarnya saya memperlakukan dan memperhatikan kamu sebaik yang saya bisa. Ketika suatu hari kamu tidak baik-baik saja, saya juga akan merasakan hal yang sama, Rindu.” “Bhanu, aku sayang kamu.” Itu satu-satu kata yang Rindu miliki untuk menggambarkan semuanya. Pria ini selalu bisa membuat Rindu menjadi seorang ratu dan merasa dia tidak pernah membutuhkan apa-apa lagi. “Saya lebih sayang sama kamu, Rindu.” *** “Glamping?” tanya Rindu, dia menatap tidak percaya sebuah tenda yang ada di hadapannya, yang membuat Rindu semakin tidak percaya. Glamping ini memiliki view candi Prambanan yang super keren dan megah, Rindu tidak bisa membayangkan bagaimana pemandangan Prambanan di pagi hari saat sunrise muncul dari belakang candi. “Kamu suka?” tanya Bhanu, Rindu langsung mengangguk antusias. Glamping atau glamour camping ini memang salah satu wisata yang sedang hits dan di minati banyak orang, bagaimana tidak, kita bisa merasakan pengalaman berkemah layaknya sedang menginap di hotel bintang lima. Walau kita tidur di tenda namun tenda ini memiliki fasilitas super lengkap mulai dari kasur, pendingin ruangan, sampai televisi, ada juga tempat bersantai di luar tenda. Rindu yakin ini akan menjadi liburan dadakan yang akan sangat berkesan. “Suka banget, kok bisa kepikiran?” tanya Rindu, mereka membuka pintu tenda, terlihat fasilitas yang ada di dalamnya, tidak mengecewakan sama sekali. Rindu menyukainya. “Angga liburan ke sini sama pacarnya, ya sudah karena saya yakin kamu juga akan suka, saya ajak kamu kesini juga, lagian akhir-akhir ini kita terlampau sibuk sampai lupa cara membahagiakan diri sendiri walau sebenarnya dengan melihat wajah kamu saya sudah berhasil membuat saya merasa bahagia sih,” ucap Bhanu. Rindu terkekeh pelan. Akhir-akhir ini mereka memang sangat sibuk. Selain mengurus perencanaan pembukaan cabang B&W Coffe, Rindu sibuk dengan kuliah dan tugasnya sedangkan Bhanu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk melanjutkan kuliahnya ke Singapura. Bhanu melakukan berbagai persiapan mulai dari TOEFL (Test Of English as a Foreign Language) sampai IELTS (International English Language Testing System). “Aku suka banget di sini, nggak sabar nunggu pagi, mau lihat sunrise Prambanan, pasti akan indah banget,” ucap Rindu, dia tiduran di kasur dengan posisi tengkurap sedangkan Bhanu memilih duduk di kursi santai, pintu tenda sengaja mereka buka karena tidak ingin melewatkan kemegahan Prambanan di malam hari. “Sejak terakhir kita ke Prambanan tahun lalu kamu belum pernah lagi ke sini? Mbak Karlita nggak pernah ngajakin emangnya?” tanya Bhanu. “Nggak pernah, kamu satu-satunya orang yang rajin banget bawa aku ke tempat-tempat bersejarah penuh edukasi gini sih, kalau sama Karlita aku di ajak keluar masuk store barang-barang branded di mall,” ucap Rindu sambil terkekeh. Karlita, sahabat baik Rindu yang ada di Yogyakarta memang shopping holic sekali, segala hal yang melekat di tubuh Karlita adalah barang bernilai jutaan rupiah bahkan ada yang ratusan. Rindu sedikit kasihan pada mas Pra. Tapi sepertinya mas Pra tidak pernah mempermasalahkan itu. “Supaya seimbang, pengalaman di mall nya ada pengalaman di tempat bersejarah penuh edukasi juga ada. Supaya nanti kamu bisa jadi mama hebat buat anak kita. Mama yang bisa melakukan apa saja. Menghabiskan uang saya di mall, menceritakan bangunan bersejarah, berenang di pantai dan memasak di dapur. Kamu itu sempurna banget sih, Sayang!” seru Bhanu dengan menggoda, Rindu menyembunyikan wajahnya. Pikirannya mendadak liar, menikah dengan Bhanu Winata, jelas Rindu juga sangat menantikan moment itu, tapi Rindu sangat sadar untuk mencapai tujuan mereka yang satu itu, mereka harus menghadapi perjalanan yang berliku. “Hari ini pengumuman NUS, kan?” tanya Rindu, dia melompat dari kasur dan duduk di samping Bhanu, kampus pilihan Bhanu untuk melanjutkan S2 adalah National University of Singapore (NUS), salah satu universitas terbaik di Singapura. “Kamu yang lihat hasilnya,” ucap Bhanu, dia memberikan ponselnya pada Rindu. Rindu mengambilnya dengan senyum cerah, demi apapun, Rindu sekarang merasa sangat deg-degan. Bhanu sudah berusaha dengan keras, Rindu bahkan sering ikut begadang ketika menemani Bhanu belajar untuk berbagai tes yang harus Bhanu lakukan. “Apapun hasilnya, kamu tetap akan jadi satu-satunya orang yang saya cintai, Rindu,” ucap Bhanu dengan super random. Rindu terkekeh mendengar ucapan Bhanu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hasil tes hari ini. “Kalau kamu lolos, LDR seperti apa yang harus kita jalani?” tanya Rindu. dia mengetikkan username dan password yang di sebutkan oleh Bhanu. “LDR yang jelas akan saya bicarakan sama kamu, Rindu, kenyamanan dan kebahagiaan kamu adalah nomor satu bagi saya—“ ucapan Bhanu tiba-tiba terpotong oleh ucapan seruan cukup keras Rindu. “Selamat dan sekarang kita resmi jadi manusia LDR!” seru Rindu, dia memperlihatkan layar ponsel pada Bhanu, di sana jelas tertulis, Bhanu Winata di nyatakan lolos sebagai mahasiswa NUS dengan jurusan Manajemen dan Bisnis. “Congratulation, mas Bhanu!” seru Rindu, dia memeluk Bhanu dengan erat, perjuangan Bhanu selama ini tidak berakhir sia-sia. Bhanu-nya mendapatkan apa yang dia inginkan. “Congratulation apa?” tanya Bhanu dengan senyum menggoda, selama ini sangat sulit membuat Rindu memanggilnya dengan seperti itu, mas Bhanu. Itu terdengar sangat manis. Rindu tersenyum dengan pipi memanas, “Congratulation, mas Bhanu,” ucap Rindu. Bhanu terkekeh pelan dengan kuping yang memerah, dia kemudian menarik Rindu ke dalam pelukannya “Rindu, saya akan merindukan kamu setelah ini,” ucap Bhanu, dia mengeratkan pelukannya pada Rindu. Bhanu tidak bisa berbohong, dia merasa sangat senang bisa menjadi salah satu mahasiswa NUS tapi disisi lain dia juga merasa sedih, dia harus berjarak dengan Rindu. Mereka harus menghadapi tantangan baru. Bhanu pernah mendengar bahwa delapan puluh lima persen persen hubungan LDR itu di nyatakan tidak berhasil, mereka harus bertahan di angka lima belas persen, bisakah Bhanu dan Rindu menjadi salah satu dari minoritas itu? “Bukan hanya kamu, aku juga pasti akan merindukan kamu, Yogyakarta tanpa pemilik gombalan super receh seperti kamu pasti akan sepi banget,” ucap Rindu, dia mengurai pelukannya dengan Bhanu. Rindu menatap Bhanu dengan senyum penuh haru. “Aku bangga banget sama kamu, selamat berjuang Bhanu!” seru Rindu, dia menepuk-nepuk puncak kepala Bhanu beberapa kali, benar-benar terlihat seperti ibu yang sangat bangga pada pencapaian anaknya. “Mari lakukan bersama-sama Rindu, saya yakin kita akan menjadi salah satu dari lima belas persen orang dengan hubungan LDR yang berhasil,” ucap Bhanu, dia kembali menarik Rindu ke dalam pelukannya. Akan sulit tapi mereka harus melakukannya. “Ayo kita rayakan hari bahagia kamu dengan dua cangkir kopi!” seru Rindu ketika melihat ada mesin kopi di pojok tenda. “Mau rasa apa untuk malam ini, Nyonya?” tanya Bhanu saat Rindu kembali melepaskan pelukan mereka. “Americano, please, mas Barista!” seru Rindu. Bhanu langsung mengangguk sambil terkekeh gemas melihat Rindu. Dia mulai membuat kopi yang di inginkan oleh Rindu. Bhanu sangat bersyukur Rindu tidak memiliki masalah dengan lambung, jadi Bhanu tidak terlalu khawatir jika Rindu meminum banyak kopi. “Kamu tahu apa judul yang tepat untuk menggambarkan kita hari ini?” tanya Bhanu setelah setelah membuatkan satu cangkir Americano untuk Rindu. “Memang apa?” tanya Rindu, kopi buatan Bhanu tidak pernah mengecewakan, Bhanu sangat pandai meracik kopi, Rindu adalah orang yang sangat menyukai kopi. Mereka adalah pasangan yang sempurna, mereka saling melengkapi. “Saya, kamu, kemah dan kopi. “ Bhanu duduk di samping Rindu, tatapan mereka sama-sama tertuju pada Prambanan di hadapan mereka dengan secangkir Americano di tangan masing-masing, “Rindu, walau saya tidak akan pernah abadi tapi saya akan berusaha membuat segala hal tentang kita abadi selamanya seperti candi Prambanan dan Borobudur yang menjadi titik awal saya merasa jatuh cinta pada seorang perempuan. Kisah kita mungkin tidak akan di kenang banyak orang tapi kamu harus percaya, saya akan mengenang segala hal yang pernah saya lalui bersama kamu.” Rindu tersenyum, dia menyandarkan kepalanya di bahu Bhanu. “Bhanu, aku akan berusaha melakukan seperti apa yang kamu lakukan dengan caraku,” ucap Rindu penuh keyakinan. Bhanu membalas dengan memeluk bahu Rindu. Candi Borobudur dan Prambanan adalah gambaran sempurna antara Bhanu dan Rindu di awal pertemuan, mereka bersenang-senang, saling mengenang lalu saling jatuh cinta dengan begitu indah. Saat ini, Rindu dan Bhanu layaknya pantai Kidul Yogyakarta, mereka harus siap menghadapi pasang surut sebuah hubungan, mereka ada di titik antara bertahan atau saling melepaskan. Kali ini tidak lagi hanya tentang Bhanu dan Rindu tapi juga tentang orang-orang yang berada di sekitar mereka. Kali ini tidak hanya perjuangan Rindu dan Bhanu tapi juga perjuangan orang yang bisa membuat mereka saling bersatu tanpa ada lagi alasan untuk saling melepaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD