Lutut Rara lemas ketika melihat papan pengumuman di hadapannya.
PERINGKAT 2 RAISYA ANINDHITA
Bahu Rara semakin merosot ketika membaca nama di atasnya.
PERINGKAT 1 KENZO WILLIAM ADAMS
Peringkat dua untuk lima tahun berturut-turut bukanlah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Sejak dulu, Rara selalu berada di bawah bayang-bayang Kenzo. Sekeras atau sehebat apa pun Rara berusaha, dia tetap tidak bisa mengungguli Kenzo.
Setiap mengingat Kenzo, darahnya langsung mendidih. Marahnya langsung memuncak ke ubun-ubun. Rara merasa, Kenzo adalah biang dari kesuraman hidup Rara di sekolah.
"Wah, Kak Kenzo ranking satu lagi. Dia keren, ya?"
Rara membuang napasnya malas mendengar ungkapan kekaguman salah satu adik kelas yang tiba-tiba ada di sampingnya. Sebenarnya Rara mengutuk kebijakan sekolah yang memampang nama siswa beserta peringkatnya secara paralel. Hal ini justru menjadikan jurang pemisah antar siswa semakin melebar.
"Iya. Duh ... sempurna banget pokoknya. Udah pinter, ganteng, kaya lagi. Benar-benar enggak ada cela."
Rasanya Rara ingin muntah mendengar pujian yang ditujukan untuk Kenzo itu. Rara yakin adik kelasnya itu tidak tahu bagaimana sifat Kenzo Adams yang sebenarnya. Sepertinya semua orang di sekolah ini tertipu dengan penampilan manis Kenzo yang selalu membuat Rara muak. Jika saja mereka tahu bagaimana sikap asli Kenzo, mereka pasti akan berpikir dua kali untuk memujinya. Sempurna? Cih, pencitraan sekali.
Daripada terus menahan emosi karena papan peringkat di depannya dan karena pujian untuk Kenzo yang dilontarkan beberapa orang di sekitarnya, Rara memilih untuk mundur dan berbalik. Namun, nasib buruk sepertinya tengah mengikuti Rara yang membuatnya mengumpat pagi-pagi.
"Sial!"
Rara menatap kesal Kenzo beserta dua pengikut setia yang sama menyebalkannya, Farros dan Ojan. Hari ini Rara benar-benar belum siap bertemu dengan Kenzo. Rara yakin setelah ini Kenzo akan menjadikannya bahan olok-olokan.
Rara melihat seringaian angkuh dari Kenzo yang kini balas menatapnya. Meski Kenzo tidak mengatakan apa pun, Rara yakin seratus persen jika Kenzo mengoloknya dalam hati. Ia pun memutuskan untuk berjalan melewati Kenzo dan gerombolannya sebelum terjadi perang dunia seperti dulu lagi.
"Lo sendiri yang memulai semua ini," ujar Kenzo dingin yang langsung menghentikan langkah Rara. Kenzo tersenyum sinis kepada gadis bersurai panjang itu. "Kenapa kesannya gue yang jadi tokoh antagonis di sini?"
Tangan Rara mengepal kuat hingga jari-jarinya memutih. Ucapan Kenzo membuatnya kembali mengingat awal dari semua ini.
"Kenapa diam? Kemana perginya kesombongan lo dulu?"
"Hanyut ke laut mungkin, Bro." Ojan menyahuti ucapan Kenzo dengan tidak sopannya hingga membuat beberapa orang yang ada di sana tertawa.
Rara kesal dan malu. Tanpa membalas ucapan itu, ia pun berjalan begitu saja meninggalkan tempat terkutuk itu.
Rara memilih menyendiri di taman belakang ruang musik yang sepi. Keputusannya berangkat di hari pertama sekolah adalah salah besar. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya hati dan perasaan Rara sudah terbiasa dengan ini. Namun, Rara tetap merasa sakit hati ketika Kenzo berkata sinis dan dingin kepadanya.
Rara masih ingat pertama kali menantang Kenzo Adams secara terang-terangan. Marah dan merasa tidak ada keadilan di sekolah membuatnya memberanikan diri menemui Kenzo. Waktu itu nilainya sama dengan Kenzo namun sekolah memutuskan Kenzolah yang berhak menduduki peringkat pertama dan Rara menjadi nomor dua. Sudah beberapa kali sejak dia pindah ke sekolah ini, Rara merasa diperlakukan tidak adil. Bukannya tanpa protes, Rara sudah berkali-kali menyatakan keberatannya kepada pihak sekolah. Namun, semuanya sia-sia. Siang itu kesabaran Rara sudah pada batasnya. Dia buang rasa malunya lantas mendekati Kenzo yang tengah bermain basket di hall.
"Ken, bisa kita bicara sebentar?"
"Apa?" meski Kenzo menjawab pertanyaan Rara, Rara masih belum mendapatkan perhatian Kenzo sepenihnya. Kenzo masih sibuk dengan bola basketnya dan memasukkannya ke dalam ring.
"Bisa keluar dari sini? Gue mohon." Rara mengiba, menurunkan harga diri serendah-rendahnya agar mendapat perhatian dari Kenzo.
Kenzo belum memberikan perhatiannya. "Gue sedang sibuk," jawabnya sambil lalu.
Rara sudah jengkel setengah mati. Entah mendapat kekuatan dari mana, Rara berani merebut operan bola Kenzo yang otomatis membuat permainan terhenti.
Rara memegang bola basket sembari menatap Kenzo. Rara tahu jika Kenzo marah. Sangat jelas terlihat di wajahnya. Rara kini mendapat perhatian penuh dari Kenzo. Bahkan semua orang di hall kini memperhatikannya. Rara benar-benar sukses dengan aksi nekadnya.
"Apa yang lo lakukan?!"
Suara Kenzo menggangung. Semua yang ada di sana seakan berhenti bernapas. Membuat Kenzo marah adalah bencana besar yang wajib dihindari oleh orang-orang yang waras di sana sedangkan Rara tidak dikategorokan waras saat itu.
Rara kembali menenangkan diri dan menetapkan hati. Dia harus mendapat keadilan.
"Gue ingin lo ikut ke kantor sama gue!" Rara menatap Kenzo tajam. Suaranya terdengar menggeram menahan segenap emosinya. "Kita harus menjelaskan kesalahpahaman nilai kemarin."
Kenzo mendekati Rara masih denga tatapan tajamnya. "Enggak ada yang boleh nyuruh-nyuruh gue."
Rara menelan ludahnya dengan susah payah karena tiba-tiba tenggorokannya mengering tanpa sebab. Nyalinya ciut seketika melihat tatapan tajam Kenzo seperti elang yang tengah mengincar mangsanya. Tidak ada satu pun orang waras di dunia ini yang mau mendekati Kenzo ketika dia sedang marah seperti ini. Dan Rara bukan salah satu diantaranya.
"Lagipula," Kenzo melanjutkan dengan tajam tanpa mengalihkan tatapannya. "Gue sama sekali enggak peduli sama peringkat bodoh itu."
Rara mengepalkan tangannya. Entah kenapa gadis itu sangat marah ketika Kenzo mengatakan jika peringkat yang diumumkan sekolah itu bodoh. Bagi Rara, peringkat itu adalah perjuangan, pembuktian diri bahwa dirinya juga mampu menjadi seperti kakak-kakaknya. Bagi Rara, Kenzo Adams adalah penghalang terbesar dalam semua ambisinya.
"Enggak peduli tapi tetap mempertahankan peringkat pertama? Lo nyari muka?"
Rara berhasil memancing amarah Kenzo. "Untung lo cewek. Kalau enggak ...."
Kenzo menggantungkan kalimatnya lantas tersenyum sinis. Dia hendak pergi meninggalkan Rara ketika Rara kembali maladeni ucapannya.
"Suatu saat, gua bakal ngalahin lo!"
Kenzo berhenti, tersenyum miring dan kembali berbalik untuk menatap Rara. "Lo enggak bakal bisa ngalahin Kenzo Adams," Kenzo meremehkan tantangan Rara.
Napas Rara memburu, suara lantangnya kembali menggaung di hall olahraga sekolah. "Lo bakal nangis di depan gue, memohon sesuatu yang enggak bisa lo dapatkan!"
Kenzo tertawa mendengar ucapan Rara. "Benarkah? Yakin itu bukan ilusi lo?"
"Tunggu saja," jawab Rara mantap. "Anggap saja ini enggak pernah terjadi karena gue nyesel minta bantuan sama lo."
Kenangan itu tidak bisa Rara lupakan seperti bayangan hitam yang selalu menghantui kemanapun dia pergi. Sepertinya Kenzo juga sama membenci seperti dirinya. Bagi Rara itu adalah kali pertama dia menciptakan seorang musuh dan bagi Kenzo itu adalah tantangan terbuka pertama yang selalu bisa membuatnya semangat untuk mempertahankan posisinya, harga dirinya.
Rara menyesal? Sama sekali tidak. Semangatnya justru semakin berkobar untuk bisa mengalahkan Kenzo, memberinya pelajaran. Di tahun terakhirnya ini, Rara sudah bersumpah akan membuat semuanya terjadi. Dia akan menunjukkan pada dunia jika dia mampu. Rara sudah membulatkan tekad untuk keluar dari bayang-bayang Kenzo William Adams, cowok arogan yang membuat masa-masa sekolahnya suram.
Rara membuang napas beratnya. Semua tekanan ini benar-benar membuatnya gila. Jika saja Rara tidak menerima perundungan di sekolahnya yang lama, dia tidak akan bertemu dengan Kenzo.Namun, takdir sudah berlaku. Rara tidak bisa mengubahnya maupun mengelaknya.