BAB 2

2109 Words
"Kali ini saya benar-benar memohon kepada Bapak Kepala Sekolah. Saya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ini adalah sekolah ketiga dalam setahun terakhir. Ayahnya sudah tidak mau berurusan dengan semua ini." Satria mengalihkan pandangannya dengan menatap lapangan yang begitu jelas terlihat dari jendela ruang tamu kepala sekolah. Dia sudah malas dengan permohonan memelas ibunya. Seperti yang ibunya katakan, ini adalah sekolah ketiga yang dia datangi selama setahun. Satria sudah tidak ada semangat untuk sekolah dan tidak punya niatan untuk melanjutkan sekolah. Ibunyalah yang terlalu bersikeras agar Satria menyelesaikan SMA-nya. Kepala sekolah membuang napas beratnya kemudian beralih menatap Satria. "Jadi, kelas XII, ya?" ujar Pak Kasturi ramah dengan senyum mengembang di bibirnya. Meski sudah berumur, Pak Kasturi masih terlihat muda dengan kacamata bulan separuhnya yang melekat manis di depan matanya. Tidak seperti kepala sekolah di sekolah sebelumnya yang langsung menatapnya dengan penuh penghakiman dan sebelah mata, Pak Kasturi menatapnya dengan lembut penuh kasih sayang lebih seperti seorang ayah kepada anaknya sendiri. "Bapak terkesan dengan nilai-nilaimu. Dengan nilai seperti ini, Bapak yakin kamu akan bisa mengikuti pelajaran dengan baik." Satria menatap Pak Kasturi tak mengerti. Baru kali ini ada orang dewasa yang memujinya. Semua orang di sekitarnya selalu menghakiminya, memberinya label-label yang sebenarnya tidak ingin dia dengar. Satria memiliki alasan sendiri kenapa ia melakukan semua pelanggaran itu. Namun, orang-orang dewasa itu tidak mau mengerti, terlebih orang tuanya. "Bapak juga yakin, kali ini kamu akan betah berada di sini dan bertahan sampai akhir." Pak Kasturi tersenyum lantas kembali menatap Yunita, ibu Satria. "Kami akan dengan senang hati menerima siswa berbakat seperti Satria. Dengan pengalaman dan prestasi yang pernah diraihnya, Satria bisa dengan mudah bergabung dan berbaur dengan deretan siswa-siswi berprestasi di sini." Satria mengerutkan kening sedangkan sang ibu sudah merasa tidak nyaman ketika kepala sekolah menyinggung tentang hal itu. Sudah lama Satria dan keluarganya mengubur semua kenangan itu, seolah tidak pernah terjadi. "Bukankah jenius musik adalah gelar yang tidak sembarangan diberikan kepada orang lain?" "Bapak mungkin salah orang. Saya tidak—" "Bapak mengerti." Pak Kasturi memotong ucapan Satria dengan senyum lembut. "Bapak tidak akan mengungkit hal ini lagi jika kamu memang tidak ingin. Tapi, Bapak minta agar kamu jangan memendam lagi bakat berharga seperti itu. Yakinlah bahwa kamu sangat berharga." Satria kembali mengalihkan pandangannya. Lapangan basket sekaligus lapangan upacara di depan ruang tamu kepala sekolah sudah mulai ramai. Siswa-siswi berpakaian putih abu-abu mulai berlalu lalang melewatinya. Hari pendek untuk hari pertama masuk sekolah dan Satria sama sekali tidak berminat untuk kembali ke bangku sekolah lagi. *** "Sekolah baru masuk, tapi Kakak sudah sibuk dengan soal-soal. Santailah sedikit, Kak." Rara meletakkan pensilnya lantas memutar kursinya. Adik perempuan semata wayangnya yang masuk tanpa permisi, mengganggu konsentrasinya, kini telah duduk dengan nyaman di kasur sembari membaca komik. "Kali ini enggak bisa santai seenaknya. Kakak harus bisa ngalahin cowok sombong itu." "Hati-hati, Kak. Nanti suka, loh." "Suka? Enggak bakal," tepis Rara mentah-mentah, kemudian kembali berkutat dengan bukunya. "Biasanya benci bisa jadi cinta," goda Laila. "Kakak mau bukti?" Rara mendesah pelan. "Ini kehidupan nyata, bukan komik atau novel percintaan yang sering kamu baca itu." Laila tertawa ringan kemudian merebahkan diri di kasur empuk Rara. "Asal Kakak tahu, Kak Kenzo itu seperti tokoh pria dalam komik yang dingin, keren, dan penuh pesona. Siapa yang akan menolak pria sesempurna itu?" Rara memutar bola matanya. Semenjak menjadi otaku, adiknya itu sering bicara aneh. "Cih, jangan terlalu tinggi menilai si tengil Kenzo. Dia itu pria menyebalkan dan playboy kelas kakap." Laila tak ambil pusing dengan komentar sinis Rara. Dia masih dengan santainya membalik halaman komiknya, "Laila enggak yakin Kak Kenzo seburuk itu. Jangan menilai orang dari luarnya, Kak. Masa depan enggak akan ada yang tahu." "Setidaknya yang kamu ucapkan kali ini benar," ujar Rara lantas kembali menekuni buku Fisikanya. "Kita tidak akan tahu masa depan. Kakak sudah berjanji akan memberikan pelajaran kepada Kenzo Adams si pembuat onar menyebalkan itu." "Kenzo Adams si keren," bantah Laila. "Terserah." Laila cekikikan mendengar komentar sinis kakaknya. Dia tahu tidak akan mudah mengubah penilaian Rara terhadap Kenzo. Namun Laila yakin, waktu akan mengubah segalanya. "Sebaiknya Kakak menutup jendela malam ini." "Kenapa? Aku lebih suka jendelaku terbuka." "Akan ada badai." Rara menatap adik semata wayangnya itu tak mengerti. Terkadang Laila memang terkesan lebih dewasa dari usianya. Laila bangkit dari posisi tidurnya kemudian berjalan menuju pintu. Ketika mencapai pintu, Laila kembali berbalik lantas menyunggingkan senyuman kepada Rara, "Jangan tidur larut malam. Mama mengkhawatirkan Kakak." Rara mengerutkan keningnya melihat tingkah adiknya yang memang tak biasa itu. "Selamat malam, Kak." Setelah mengucapkan selamat malam, Laila benar-benar pergi dari kamar Rara. Rara membuang napas beratnya. Ditatapnya buku Fisika yang sedari tadi terbuka di meja belajarnya, berusaha mencerna setiap kata-kata Laila. Pada akhirnya Rara memutuskan untuk menutup buku cetaknya, mematikan lampu belajarnya. Rara berjalan menuju jendela kamarnya yang memang dia biarkan terbuka agar angin malam yang menurutnya menyejukkan bebas masuk ke dalam kamarnya. Rara mengeluarkan kepalanya, merasakan hembusan angin malam yang dengan lembut membelai wajahnya. Langit malam ini terlihat baik-baik saja. Bahkan bintang yang terlihat lebih banyak dari biasanya. Tapi akhir-akhir ini cuaca memang sulit diprediksi. Akhir bulan Juli dan semakin sering turun hujan dengan intensitas sedang membuat Rara khawatir. Mungkin bumi memang mulai bergejolak. Meski Rara tidak percaya dengan ucapan adiknya, dia tetap menutup jendela kamarnya. Lagipula anginnya memang terasa lebih dingin. Dia tidak mau jatuh sakit sebelum berperang dengan Kenzo. Besok adalah saat pertempuran yang sebenarnya. *** Malam itu hujan turun dengan derasnya disertai kilat yang menyambar-nyambar. Rara tidak bisa tidur. Sejak kecil dia memang takut dengan kilat. Suara kilat yang disertai dengan gemuruh itu membuat bulu kuduknya berdiri. Seandainya saja Rara masih anak-anak sekarang, dia akan berlari keluar kamar dan mencari perlindungan dari mamanya, tapi Rara sudah dewasa, dia harus bisa mengatasi ketakutannya sendiri. *** Semalam Rara tidak bisa tidur dan pagi ini dia benar-benar mengantuk. Rara berjalan dengan gontai memasuki gerbang sekolah. Sebenarnya tadi mamanya dan Laila sudah menawari berangkat bersama, tapi Rara menolak dengan alasan tidak terbiasa naik mobil ke sekolah. Rara dan Laila memang bersekolah di tempat yang sama. Sekarang Laila baru duduk di bangku kelas X. Berbeda dengan Rara yang lebih suka jalan kaki ke sekolah, Laila selalu diantar oleh sopir yang memang disiapkan ayahnya untuk mengantar kemana pun mereka inginkan. Dari ketiga saudaranya, Rara adalah anak yang paling mandiri dan paling keras kepala. Jika Rara sudah menginginkan sesuatu, maka hal itu yang harus terjadi. Saudaranya yang lain cenderung lebih mengalah. Kedua kakak Rara adalah laki-laki dan jarak usia mereka hanya setahun. Rizky, kakak tertuanya, kini tengah kuliah S-2 di Singapura. Sedangkan Aidan, kakak keduanya, lebih tertarik dengan dunia penerbangan seperti ayahnya. Aidan sekarang berada di Banyuwangi untuk menekuni dunia penerbangan. Dari ketiga saudaranya, Rara lebih dekat dengan Aidan sedangkan Laila lebih suka bergelayut manja jika ada Rizky. Meski mereka memiliki kedekatan spesial dengan salah satu di antaranya, mereka tetap saling menyayangi satu sama lain. Ikatan batin yang mereka cukup kuat untuk sekadar bisa merasakan jika salah satu di antara mereka sedang ada masalah. Rara menarik napas panjang lantas membuangnya asal. Dia harus mulai bertarung hari ini. Dia sudah membulatkan tekad untuk menantang Kenzo dengan sepenuh hati. Rara tidak ingin membuang kesempatan terakhirnya kali ini. Rara terlalu konsentrasi dengan tantangannya kepada Kenzo hingga dia tidak terlalu fokus dengan jalan di depannya. Setiap habis hujan, lapangan basket depan sekolah pasti licin. Meski Rara memakai sneekers, hal itu tidak membantu sedikit pun. Keseimbangan Rara goyah dan sudah terlambat bagi Rara untuk menyelamatkan diri. Kali ini Rara benar-benar pasrah jika harus basah. Ketika Rara sudah siap dengan semua konsekuensi kebasahannya, tiba-tiba tubuhnya seperti ditahan oleh sesuatu. Tubuhnya seakan melayang 10 sentimeter dari kubangan air. Rara memberanikan diri untuk membuka mata untuk memastikan apa yang menahan tubuhnya dan menyelamatkannya dari bencana. Rara membulatkan mata, terkejut dengan apa yang dilihatnya. Seorang laki-laki dengan mata hitamnya yang berkilat, rambut yang setengah kering, dan dagu dengan garis tegas yang mempesona membuat Rara hilang kesadaran untuk sementara waktu. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu. "Kamu tidak apa-apa? Ada yang luka?" Suara laki-laki itu membuat Rara kembali melayang. Yang justru membuat laki-laki itu semakin bingung dengan tingkah aneh Rara. "Hei!? Ada yang sakit?" "Eh, enggak, kok. Enggak ada yang sakit." Rara segera bangkit dari posisi tidak mengenakkan itu lantas merapikan seragam dan rambutnya yang sedikit berantakan. Rara kembali memberanikan diri untuk sekali lagi melihat orang yang telah menolongnya. "A..." "Sebaiknya perhatikan jalanmu. Banyak genangan di sini." Setelah sedikit memberi nasihat kepada Rara, laki-laki itu pun pergi. Rara sama sekali tidak bisa berkata-kata. Lidahnya terasa kelu. Baru pertama ini dia gugup di hadapan seorang laki-laki. Rara hanya sanggup menatap punggung tegap laki-laki itu yang berjalan menjauhi Rara. Ada sedikit rasa penasaran yang menggelitik hatinya. Terus terang Rara belum tahu siapa laki-laki penolongnya itu. Meski memakai seragam yang sama dengannya, ia yakin belum pernah melihat laki-laki itu. Rara melanjutkan perjalannya menuju kelas. Seperti yang dikatakan laki-laki tadi, Rara sekarang lebih berhati-hati. Letak kelas unggulan yang memang terpencil di bagian belakang sekolah, membuat perjalanan Rara lumayan panjang. Akhirnya Rara sampai di kelasnya. Belum juga dia meletakkan tas, suara lantang Namira mengalihkan perhatiannya dan beberapa teman sekelasnya. "Ra, lo pasti enggak tahu!" Rara memutar bola mata, heran dengan sahabatnya sejak SMP itu. "Enggak." "Ah, lo kudet." Rara mendesah pelan. "Dengar ya Namira Putria, gue baru datang dan lo sudah berteka-teki. Lo mau ngajak berantem?" Namira menyadari kesalahannya. Dia tahu kalau Rara memang paling tidak suka diajak berbasa-basi. Rara lebih suka berterus terang dan langsung bicara apa adanya. "Maaf," sesal Namira. "Habisnya gue seneng banget pagi ini." "Apa lagi?" Namira kini duduk di kursi kosong samping Rara kemudian bercerita dengan penuh semangat. "Ada malaikat datang ke kelas gue." "Terus..." "Ya ... kan lo tahu kalau semua malaikat di sekolah ini bersemayam di kelas lo. Jadi ini benar-benar keajaiban yang datang di penghujung tahun masa sekolah gue di sini." Rara baru paham dengan apa yang dimaksud Namira. Apalagi kalau bukan cowok. Meski Rara menyangkalnya, tapi kenyataan tetap tidak bisa disangkal. Hampir semua Most Wanted Men di sekolah ini berada di kelasnya. Apakah Tuhan adil terhadap setiap makhluknya? Terkadang benak Rara bergelut dengan pertanyaan itu. Kelasnya memang bisa dikatakan istimewa. Penghuni kelas ini sebagian besar berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki kemampuan luar biasa, dan berwajah yang lumayan bisa menarik perhatian. "Jangan berlebihan," sangkal Rara. "Mereka semua biasa-biasa saja." "Itu karena lo setiap hari bersama mereka." "Terserah." "Oh iya, Ra. Nanti pulang sekolah gue bareng lo, ya." "Kan gue jalan kaki." "Maksudnya gue main ke rumah lo bentar." "Memang kenapa?" "Gue mau pinjem komik baru Laila." Rara memutar bola matanya. Namira sebenarnya adalah otaku yang berbau Jepang seperti adiknya. Biasanya Rara akan menyingkir dengan sendirinya karena sama sekali tidak paham dengan obrolan mereka. "Tapi hari ini gue ada demo ekskul buat siswa baru. Lagian, Laila juga harus ikut kegiatan itu." "Itu kan siang." Rara menghela napasnya malas. "Habis itu acara serah terima jabatan ketua ekskul." "Gue bakal nunggu lo, demi Kakeru-kun." Rara menaikkan sebelah alisnya, "Kakeru-kun?" "Tsundere boy favorit gue." Rara bersumpah melihat binar-binar di mata Namira. Rara tidak mengerti kenapa sahabatnya itu bisa sampai tergila-gila dengan tokoh fiksi yang bahkan di dunia nyata tidak akan pernah ada. "Terserah, deh." Setelah mendapat lampu merah dari Rara, akhirnya Namira meninggalkan kelas Rara dengan damai. Rara melepas jaket yang sedari dari belum sempat dia lepas karena diinterupsi Namira dengan tidak sopannya. "Laila penggemar komik ya, Ra?" Rara hampir melompat saking kagetnya. "Sejak kapan lo ada di situ?" "Sejak tadi," jawab Kira datar. "Lo enggak lihat gue?" Rara menggelengkan kepalanya polos. Kira terlihat sangat kecewa. Rara mrasakan aura keputus-asaan di sekitar Kira. Gadis berkacamata itu memang sering mengejutkan Rara. Meski mereka sudah sekelas selama tiga tahun, Rara masih tidak mengerti dengan sikap misterius yang selalu Kira tunjukkan. "Please, jangan salah sangka." Rara berusaha menjelaskan agar Kira tidak terlalu kecewa. "Tadi gue terlalu fokus sama Namira, jadi enggak nyadar kehadiran lo." Raut wajah Kira sedikit berubah tapi masih setia dengan ekspresi datarnya. "Gue ngerti," ucap Kira sembari menaikkan bagian tengah kacamatanya. Rara tersenyum dengan menampakkan gigi gingsulnya. "Jadi, lo tadi nanya apa?" "Adik lo penggemar komik?" Rara menjawabnya dengan anggukan kepala. "Genre apa? Shounen? Harem? atau Sentai?" Rara mengerutkan keningnya, "Gue enggak ngerti." Kira mendesah pelan. Sepertinya Rara memang benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Kira katakan. "Nanti gue ikut ke rumah lo." "Heh!?" "Nanti gue ikut," ulang Kira datar. "Gue enggak salah dengar, kan?" Rara kembali bertanya untuk meyakinkan apa yang dia dengar. Tidak biasanya Kira menawarkan diri untuk ke rumah seseorang. Biasanya dia langsung menghindar jika harus bersosialisasi dengan banyak orang. Meski kemampuan otak Kira tak diragukan, Kira mempunyai kesulitan jika harus bergaul dan satu-satunya temannya di sekolah adalah Rara. "Enggak," jawab Kira singkat. "Gue juga bakal nunggu lo. Kita pulang bersama." Rara memutar bola matanya, "terserah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD