2. Masa Lalu

1715 Words
"Bila besok kau tertawa lepas, entah dengan siapa, ketahuilah aku orang pertama yang merasa paling lega." ---- Satu Tahun Sebelumnya. "Aku yakin Riza pasti nggak nyangka sama kejutan yang bakal aku kasih kali ini." Alinna bergumam kecil. Ia tampak tersenyum puas setelah selesai mendekorasi ruang televisi milik kekasihnya yang bernama Riza tersebut. Hari ini, pria yang sudah dua tahun ia pacari itu sedang berulang tahun. Alinna sengaja menyiapkan kejutan dengan diam-diam mengunjungi apartemen Riza di saat pria itu tengah bekerja siang ini. Padahal sebelumnya ia sengaja berbohong dengan mengatakan dalam keadaan sakit dan meminta maaf tidak dapat menemani sang kekasih pergi makan malam di hari spesialnya. Karena memiliki kunci cadangan dari apartemen milik Riza, Alinna bisa dengan leluasa berkunjung tanpa sepengetahuan pria itu. Banyak sekali pernak pernik hingga kue ulang tahun yang sudah ia siapkan untuk mendukung kejutan hari ini. Penuh konsentrasi Alinna mempersiapkan semuanya. Mendekorasi, lalu menyulap ruang televisi menjadi tempat yang romantis untuk melaksanakan makan malam yang intim. Setelah semuanya sudah tersusun rapi sesuai rencana, giliran Alinna mempersiapkan diri. Sambil menunggu Riza pulang, Ia sengaja meredupkan lampu lalu bersembunyi di salah satu sudut ruangan. Tiga puluh menit Alinna menunggu, sesuai jadwal, pria itu akhirnya pulang. Terdengar dari suara pintu apartemen yang terbuka diikuti suara derap langkah kaki si empunya rumah. Alinna, dari tempat persembunyiannya begitu harap-harap cemas. Tidak sabaran menunggu reaksi apa yang akan kekasihnya itu tunjukkan setelah melihat semua surprise yang sudah ia persiapkan dengan matang. Namun, harapan sepertinya tinggal harapan. Bukannya Riza, malah Alinna yang mendapat kejutan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat bagaimana kekasihnya itu masuk sembari memeluk seorang wanita seksi. Mereka saling berciuman. Riza bahkan sengaja menggendong tubuh wanita tersebut lalu membaringkannya secara perlahan di sofa. "Nggak usah buru-buru, mending kamu mandi dulu terus kita makan malam bareng," ucap wanita itu disela ciuman mereka. Ia bahkan membantu Riza membuka kemeja kerja yang membalut tubuh kekarnya hingga polos bagian atas. "Males, Ah," sahut pria itu. "Aku masih kangen banget sama kamu, Tasya Adelina. Pengennya makan kamu aja." Riza tertawa menggoda. Kembali mendaratkan kecupan-kecupan singkat pada bibir dan ceruk leher wanita itu. "Atau, kita mandi bareng aja gimana?" Wanita bernama Tasya itu balas tertawa. Matanya mengerling dengan genit layaknya orang yang tengah menggoda. "Nggak, Ah! Nanti ketahuan pacar kamu gimana?" Riza menggelengkan kepalanya. Pria itu dengan berani membawa tangannya untuk membuka tali simpul dari gaun seksi yang dikenakan oleh Tasya. "Mana mungkin ketahuan. Alinna lagi sakit. Aku ajak makan malam aja dia nggak bisa. Ah, emang banyakan nggak bisanya dia. Repot banget." "Ya, kalau repot, kenapa kamu masih pacaran sama dia? Aku denger-denger kalian bahkan mau tunangan, kan?" Riza mengangguk. "Kamu kayak nggak tau aja, sih. Keluarga Arab kan gitu. Suka jodoh-jodohin anaknya. Orang tuaku sengaja jodohin sama dia supaya nasab kami nggak putus. Lagian, aku mau terima dijodohin, karena dia kaya. Selama ini, dia suka biayain aku macem-macem. Kan rugi banget kalau di sia-siain gitu aja." "Dan lucunya, duit pemberian dia malah kamu pake buat nyenegin aku." Mereka berdua kemudian sama-sama tertawa. "Jahat banget sih, kamu, Za," olok wanita itu. "Mau gimana lagi, aku dari dulu cintanya sama kamu." Di tempat persembunyiannya, Alinna berusaha menahan tangis. Sakit sekali hatinya mendengar semua percakapan antara kekasih dan selingkuhannya. Tapi, ia berusaha menjaga emosi untuk terus mendengarkan dalam diam. "Terus, kalau kamu beneran nikah sama dia, nasib aku gimana, Za? Kita nggak bisa sama-sama lagi, dong?" Ekspresi wajah Tasya mendadak sendu. Nampak pintar sekali mengambil hati sang kekasih. "Ya kamu tetap jadi satu-satunya orang yang paling aku sayangin," jawab Riza penuh yakin. "Nanti aku bakal tetep rajin berkunjung ke apartemen kamu." Tasya tersenyum senang. Detik kemudian menarik tubuh Riza agar kembali menempel padanya. Tanpa segan-segan wanita itu memeluk lalu mencium. Sementara Riza membiarkan, bahkan terkesan menikmati. "Pokoknya aku nggak mau kalau harus putus sama kamu," ucap wanita itu lagi. Riza menggelengkan kepala. Membawa tangannya menyingkap anak rambut yang menutupi pipi Tasya. "Nggak mungkin aku tinggalin kamu, Sayang. Lagi pula, Alinna itu ribet trus agamis banget. Nggak bisa di ajak tidur bareng kayak kamu. Ya dosa lah kata dia, ya belum waktunya lah. Alah munafik banget jadi perempuan. Di ajak senang-senang malah nggak mau. Lagian, hari ini masih punya pikiran kolot macam itu." Di saat mereka berdua kembali tertawa. Alinna memilih bangkit. Tanpa ragu wanita itu menyalakan lampu yang letak sakelarnya tak jauh dari posisi di mana ia berdiri, hingga ruangan seketika menjadi terang. Riza dan Tasya yang menyadari kehadiran Alinna tentu saja terlonjak kaget. Lebih-lebih keduanya dalam keadaan bertelanjang dadaa sekarang. "Alinna, a-aku bisa jelasin ini ---" "Cukup!" Alinna memotong kalimat Riza. "Aku nggak mau dengar apa-apa dari kamu!" tunjuk wanita berhijab itu tepat di wajah sang kekasih. Eh, ralat. Mungkin Alinna sudah tidak sudi menganggap Riza kekasihnya. "Alinna, tapi ini semua nggak seperti yang kamu bayangkan. Ini semua ---" "Cukup, Za!" Sekali lagi Alinna memberi penekanan. "Kamu nggak perlu repot-repot jelasin. Aku udah dengar semuanya, kok." Riza bangkit. Ia tidak perduli dengan tubuh bagian atasnya yang terekspos tanpa penutup sedikit pun. Dipikirannya saat ini adalah memberikan penjelasan agar Alinna mau mendengarkan penjelasannya. "Aku minta maaf, yang kamu dengar itu semuanya nggak benar." Alinna mundur selangkah. Bersikap awas bahkan sengaja menghindar ketika Riza mendekati posisi di mana ia tengah berdiri. "Di sini, harusnya aku yang minta maaf karena ternyata nggak sesuai sama selera kamu. Tapi tenang aja, aku bakal suruh Abi untuk batalin segera rencana pertunangan kita. Dan soal hubungan di antara kita berdua, sebaiknya kita sudahi saja hari ini." "Nggak, Alinna!" Riza menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau putus dari kamu." "Terserah," jawab Alinna cepat. "Kalau kamu nggak mau putus, itu bukan urusanku. Yang pasti, mulai detik ini, aku anggap kita berdua nggak pernah ada urusan apa-apa." **** Alinna menghela napas panjang. Membawa tangannya untuk memijat halus dadanya yang terasa nyeri. Lagi-lagi, malam ini ia harus bermimpi buruk. Mimpi yang sebenarnya sudah dari dulu ia coba untuk kubur dalam-dalam. Bila mengingat peristiwa setahun yang lalu di mana dirinya memergoki sang pacar tengah bercumbuu dengan wanita lain, Alinna merasakan trauma tersendiri. Karena kejadian itu juga, sampai detik ini, ia menutup hatinya rapat-rapat untuk pria lain. Ini juga salah satu alasan kenapa wanita itu tidak bisa serta merta menerima pinangan Rayhan. Begitu takut kalau luka lama yang sudah lama ia coba untuk kubur itu, kembali terulang hingga memporak-porandakan hidupnya. "Kenapa?" Alanna, saudari kembarnya yang menyadari kalau ia kembali terjaga di tengah malam, menegurnya. "Mimpi buruk lagi?" Alinna mengangguk. Memejamkan mata, mencoba mentralisir perasan nyeri yang menyergap relung hatinya. Sementara Alanna yang paham benar dengan kondisi kembarannya langsung menegakkan tubuh. Mendekati, kemudian mendaratkan pelukan yang cukup erat. "Nggak usah dipikirkan. Kejadiannya udah lama, kan? Lagian, nggak bakal ada yang nyakitin kamu kayak yang pernah Riza lakukan dulu." Dalam pelukan Alanna, Alinna mengangguk. "Aku cuma takut, Kak. Udah berkali-kali aku coba untuk lupain. Tapi kejadian itu suka muncul di dalam mimpiku." "Itu artinya kamu masih dendam sama Riza. Ingat, sejahat apa pun dia, kamu harus tulus maafin dia. Supaya nggak ada beban yang tertinggal di hati dan pikiranmu." Alinna menghela napas berat. Tidak mudah baginya memaafkan apalagi melupakan begitu saja. Hatinya teramat sakit atas pengkhianatan yang sudah pria itu lakukan. "Nggak gampang, Kak, lupain gitu aja." "Ya, kalau gitu, kamu harus cepat move on. Cari pengganti Riza biar bisa lupain si Brengsekk itu secepatnya," ucap Alanna dengan nada penuh jenaka. Alinna tertawa kecil. "Orang trauma, malah di suruh cari pengganti secepatnya. Gimana, sih! Lagian, kayak kakak sekarang bisa move on aja dari Elfathan," ejek wanita itu. "Ihh ... " Alanna mendelik. "Kenapa malah bahas Elfathan? Aku sama kamu beda, yah!" Wanita itu mencebikkan bibirnya. Merasa sebal karena kembarannya itu tiba-tiba membahas pria yang dulu pernah ia suka. "Buat persamaan, Kak. Kalau melupakan orang yang pernah masuk di dalam hati kita itu nggak gampang." Alanna mendesah pelan. "Ya kalau gini terus, sampe kiamat kamu bakal inget Riza. Emang kamu mau, gitu? Seumur hidup kepikiran Riza terus? Kalau kakak, ogah!" "Aku takut, Kak," gumam Alinna dengan lirih. "Aku takut kalau disakiti lagi seperti dulu." Wanita itu kembali terdiam. Berulang kali menghela napasnya lalu tak lama berkata-kata. "Kakak tau Rayhan, kan?" Alanna mengangguk. "Siapa yang nggak kenal cowok cakep macam dia." "Kemarin, dia ngajak aku nikah. Bahkan nanya, kapan aku siap di lamar." Alanna terkesiap. Informasi yang baru saja ia dengar menarik perhatiannya. "Terus gimana? Kamu terima, nggak? Jangan bilang kalau kamu tolak." Alinna menggelengkan kepalanya. "Nggak aku jawab, Kak. Kan udah aku bilang, aku trauma. Takut Kak Rayhan cuma main-main." "Tapi, Rayhan kan emang dari sononya kaya trus agamis. Kayaknya nggak mungkin dia sakitin kamu." Alinna tersenyum kecil. Ada benarnya ucapan Alanna. Rayhan itu berasal dari keluarga yang taat. Terlihat dari caranya memperlakukan ibu dan saudara perempuannya, bisa ditarik kesimpulan kalau pria itu sangat penyayang, bertanggung jawab dan begitu menghormati kaum hawa. "Nggak ada yang nggak mungkin, Kak." "Tapi Rayhan sepertinya emang nggak mungkin nyakitin kamu." Alanna berargumen penuh yakin. "Taruhan deh sama kakak." Alinna balas menggelengkan kepalanya. Ia memang masih meragukan ketulusan pria itu. "Tetap aja aku nggak berani ngambil risiko." Alanna beringsut turun dari tempat tidur. Melangkah kecil menuju lemari. Mengambil mukena, lalu berjalan kembali ke arah Alinna. "Nih, mending kamu solat tahajud atau solat istikharah aja. Minta petunjuk sama Allah. Kalau aku jadi kamu, nggak bakal sia-siain kesempatan ini. Kapan lagi dilamar sama cowok cakep, tajir, mendekati sempurna macam Rayhan." Alinna tertawa geli. Bisa-bisanya saudara kembarnya itu memprovokasi. "Ya udah, kakak aja yang nikah sama Rayhan. Dia juga nggak bakal bisa bedain muka kita berdua." "Sayangnya aku nggak cinta sama Rayhan. Jadi, kali ini aku ikhlaskan dia untuk kamu aja." Alinna berdecak sebal. Kenapa saudari kembarnya itu percaya diri sekali. Tapi, karena yang di ucapkannya sebagian memang benar, ia memutuskan untuk menurut. Segera mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat tahajud. Memohon petunjuk, keputusan apa yang harus ia ambil segera. . . (Bersambung) . . ATURAN MAIN BAGI PEMBACA BARU YANG BARU MENGIKUTI CERITAKU. 1. BACA PELAN-PELAN karena semua penjelasan nggak pernah aku tulis sekaligus. Semua pake proses. Ga ada yang instan. 2. Tidak perlu protes kenapa si A begini kenapa si B begitu. Sekali lagi, ikuti saja cerita ini dengan tenang sampai tamat. Nggak perlu buru-buru mengoreksi. 3. Segala bentuk kritikan dan Saran, ada baiknya sampaikan secara langsung melalui inbox/dm ig sss/ig @novafhe. Karena muslim yang baik, mengingatkan/mengoreksi sesuatu dengan adab. 4. Kalau cerita ini bukan selera kalian, cukup tinggalkan dengan tenang. Tidak perlu berkomentar jelek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD