bc

Pria yang Mencintaiku dalam Diam

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
doctor
sweet
bxg
city
office/work place
childhood crush
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Kadang, rumah bukan tempat… melainkan seseorang yang membuatmu ingin tinggal.

**

Jennah Aureline Varez memiliki segalanya — karier cemerlang sebagai desainer perhiasan ternama, kecantikan yang memukau, dan ketenangan yang membuat siapa pun segan.Tapi di balik semua itu, hatinya kosong.

Tiga tahun menjalani pernikahan tanpa cinta hanya demi balas budi telah membuat Jennah kehilangan arah tentang apa arti cinta yang sebenarnya.Dan ketika pernikahan itu berakhir, ia kembali sendiri — hancur, sepi, dan patah hati karena cinta pertamanya telah dimiliki orang lain.Saat itulah takdir membawanya bertemu Elioano Cassian, dokter mata yang lembut dan penuh ketenangan… pria yang pernah mengenalnya di masa SMA, dan diam-diam menyimpan cinta untuknya selama bertahun-tahun.

Bagi Elioano, Jennah adalah satu-satunya cinta yang tak pernah padam — bahkan setelah waktu dan jarak memisahkan mereka.

Kini, ketika takdir memberi kesempatan kedua, Elio tak ingin sekadar menunggu lagi. Ia ingin mencintainya… dengan cara yang membuat Jennah merasa pulang.Namun cinta yang menyembuhkan tak datang dalam semalam.Jennah harus belajar percaya lagi — bahwa ada seseorang yang tak akan meninggalkannya, bahkan ketika ia hancur.

“Cinta sejati tak datang dua kali, tapi terkadang, ia menunggu di tempat yang sama.”

chap-preview
Free preview
1. Berakhir Sebelum Dimulai
Udara sore itu terasa ganjil–terlalu hening untuk disebut tenang, terlalu berat untuk disebut damai. Jennah Aureline Varez berdiri di depan gedung biro sipil kota Valeroux dengan map cokelat di tangannya. Di dalamnya, selembar kertas tipis yang baru saja menutup tiga tahun kehidupannya sebagai istri Drake Larson. Tiga tahun pernikahan yang tidak pernah benar-benar dimulai. Ia menarik napas panjang. Jantungnya berdetak pelan, bukan karena sedih, tapi karena... kosong. Mungkin memang begini rasanya melepaskan sesuatu yang tak pernah menjadi miliknya sepenuhnya. "Sudah selesai," suara Drake memecah udara di antara mereka. Nada datarnya masih sama seperti dulu – tenang, sopan, tapi berjarak. Jennah menoleh. Pria itu berdiri di sebelahnya, mengenakan kemeja biru muda, lengan digulung hingga ke siku. Tidak ada cincin di jari manisnya lagi. Sama seperti dirinya. Jennah mengangguk pelan. "Ya, sudah selesai." Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Tidak ada tangisan, tidak ada perpisahan yang dramatis. Hanya dua orang dewasa yang menuntaskan kesepakatan lama, lalu melanjutkan hidup masing-masing. Tapi detik berikutnya, dunia seolah memberi tamparan halus pada hati Jennah. Seorang wanita berlari ke arah mereka dari ujung jalan–membawa buket besar mawar merah, wajahnya berseri-seri, matanya penuh cahaya. "Drake." Wanita itu memanggil Drake dengan nada yang riang yang tidak bisa disalahartikan. Jennah berhenti. Langkahnya membeku ketika melihat Drake tersenyum–senyum yang tidak pernah ia dapatkan selama tiga tahun pernikahan mereka. Wanita itu langsung memeluk Drake. Buket merah di tangannya nyaris menutupi seluruh wajahnya, tapi aroma manis bunga itu menguar sampai ke Jennah. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jennah merasakan sedikit iri. Iri pada mereka yang bisa mencintai dengan bebas, pada hubungan yang dimulai dari hati, bukan kewajiban. Betapa beruntungnya Drake, bisa menyentuh kebebasan cinta sejatinya di saat bersamaan. Jennah menarik napas pelan sebelum pria itu menoleh ke arahnya. Ia bermain pergi tanpa menoleh, tumit sepatunya beradu lembut dengan lantai marmer, satu-satunya yang menandai kepergiannya dari pernikahan yang tidak pernah benar-benar hidup. Ponselnya bergetar pelan. Nama di layar membuatnya mengerutkan kening – Seraphine Leighton. "Jenn, aku baru lihat grup alumni. Jadi gosip Nathan itu... benar?" Suara Sera terdengar sedikit terkejut, tapi lebih banyak ke nada waspadayang tahu kapan harus lembut. Jennah menatap kosong ke trotoar di luar gedung. "Aku tidak tahu, Sera. Tapi sepertinya iya. Aku baru dapat undangan." "Undangan pernikahan?" "Hm." "Dan dia sempat pesan cincin ke kamu, ya?" "Iya. Waktu itu aku kira cincin itu buat aku... ternyata bukan." Ada jeda sunyi di antara mereka, lalu suara napas Sera terdengar pelan. "Kamu tidak harus pura-pura kuat terus, Jenn." "Aku tidak pura-pura. Aku hanya lelah berharap." Jennah menatap pantulan dirinya di jendela kaca kafe tempat ia berhenti. Di balik bayangan itu, wajahnya tampak tenang – tapi matanya, kosong. Sementara itu dari kejauhan, Sera, yang sedang berada di bandara untuk kembali ke Aveline setelah syuting film di Italia, ia menatap layar ponselnya lama, lalu berbisik lirih, "Aku pulang, Jenn. Kali ini, aku tidak mau kamu hadapi semuanya sendirian lagi." Jennah mematikan ponsel dan melangkah ke arah jalan besar, semangat di seberang, sepasang mata cokelat lembut menatapnya diam-diam dari balik kemudi mobil hitam – Elioano Cassian, yang tak sengaja melihat wanita yang dulu tak pernah sempat ia dekati lebih jauh. ** Beberapa jam kemudian, di apartemen Jennah yang sunyi. Ia menatap selembar undangan digital di layar ponselnya. Grup alumni SMA-nya ramai dengandengan pesan dan emoji pesta. "Nathan akan menikah akhir bulan ini!" tulis seseorang di grup itu. Nathan Keir Alden. Nama itu masih mampu membuat d**a Jennah sesak–cinta pertamanya, pria yang dulu menjadi alasan ia percaya pada cinta. Jennah mengetik sesuatu di kolom chat, lalu menghapusnya sebelum sempat menekan enter. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pesan terakhir dari Nathan–pesan yang sempat membuatnya punya harapan lagi setelah perceraian. Nathan memintanya membuatkan cincin pernikahan khusus. Desain elegan, dengan safir biru di tengahnya. Awalnya, Jennah berpikir... cincin itu untuknya. Mungkin Nathan masih menyimpan rasa seperti dulu. Mungkin inilah waktu mereka yang tertunda. Namun seminggu kemudian, pesan baru masuk. "Jennah, Terima kasih untuk desainnya. Cincinya sempurna. Itu akan jadi cincin pernikahan kami." Kata kami itu menghancurkan sesuatu di dalam dirinya. Jennah memandangi layar ponselnya lama sekali. Dalam diam, akhirnya air mata menetas tanpa suara. Rasa kehilangan yang selama ini ia tahan, pecah dengan tenang–seperti kaca yang retak dari dalam. Ia lalu berdiri di depan jendela apartemennya. Dari sana, lampu-lampu kota tampak berkelip seperti bintang jauh. Dan di antara gemerlap itu, ia berisik lirih, "kenapa... aku selalu terlambat?" Suara notifikasi ponsel berbunyi. Satu pesan baru masuk, dari nomor tak dikenal. "Maaf mengganggu malam Anda. Saya dokter Elioano Cassian, dokter mata dari Aveline Medical. Kami ingin mengonfirmasi jadwal pemeriksaan Anda besok pagi." Jennah menatap nama itu lama–seolah otaknya butuh waktu untuk menghubungkan memori lama yang samar. Cassian. Entah kenapa nama itu terasa...hangat. Terlalu familiar untuk diabaikan. "Cassian...." Jennah berbisik pada dirinya sendiri. Di kepalanya, samar-samar terlintas bayangan masa SMA–seseorang dengan senyum lembut dan mata hangat yang dulu pernah memerhatikannya dari kejauhan. Tapi sebelum ia bisa mengingat siapa, layar ponselnya mati. Dan malam pun menelan kesepian itu dalam diam. Jennah beranjak dari tempatnya berdiri ke ruang kerjanya. Ia menatap selembar kertas di atas meja kerjanya dengan tatapan setengah kosong. Gambar desain cincin pernikahan Nathan yang ia rancang untuk pria itu. Ia berkedip untuk mengusir rasa panas yang tiba-tiba menyerang matanya, satu tarikan napas berat membuat Jennah terkendali untuk sementara. Setelah menyelesaikan pesanan Nathan, ia masih harus menyelesaikan draft desain perhiasan lain dari kliennya. Besok, ia harus melakukan pemeriksaan berkala untuk kondisi matanya yang akhir-akhir ini ia rasa kurang baik. Beranjak dari ruang kerjanya, Jennah bersiap untuk tidur. Pikirannya mengulang apa yang terjadi hari ini. Perceraian yang ia nantikan, akhir dari pernikahannya yang ia lalui bersama Drake sebagai pasangan yang hanya memenuhi kewajiban dari para orang tua. Matanya menatap lampu tidur yang masih menyala di nakas. Cahaya oranye yang temaram, membuat Jennah mulai mengantuk. Namun, pikirannya beralih memikirkan masa-masa SMA-nya yang penuh dengan kenangan mengejar cinta pertamanya. Lalu, terlintas nama Cassian. Ia tidak tahu, pertemuan besok menjadi awal dari segalanya. Awal dari perjalanan pulang hatinya yang tak pernah ia sangka.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
311.9K
bc

Too Late for Regret

read
295.8K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.7K
bc

The Lost Pack

read
413.4K
bc

Revenge, served in a black dress

read
149.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook