5. Masa Lalu yang Datang Tanpa Peringatan

997 Words
Sore itu, langit di atas halaman Rumah Sakit St. Claire tampak berwarna keemasan. Sebuah acara amal diadakan untuk mendukung program bantuan medis bagi anak-anak di wilayah pedesaan. Jennah datang sebagai perwakilan Mr. William Varez, ayahnya, yang merupakan salah satu donatur utama proyek tersebut. Meskipun sebenarnya, ia enggan untuk hadir karena pekerjaannya belum selesai, tetapi Jennah juga enggan menolak permintaan ayahnya. Ia mengenakan gaun midi berwarna biru muda, sederhana namun elegan. Rambutnya digelung rendah, dan hanya anting mutiara kecil yang menggantung di telinganya. Keanggunan yang tidak berlebihan, tapi cukup membuat beberapa kepala menoleh. “Jennah Aureline Varez?” suara ramah menyapanya dari belakang. Jennah menoleh dan menemukan Elio berdiri di sana, mengenakan setelan jas abu-abu muda dengan kemeja putih. Tanpa jas dokter, tanpa alat pemeriksa — hanya dirinya, sebagai seorang pria. “Dokter Cassian,” sapa Jennah dengan sedikit senyum. “Elio saja,” balasnya, dengan nada lembut namun tegas. “Aku tidak menyangka kamu akan hadir.” “Saya di sini mewakili ayah saya,” jawab Jennah sopan. “Beliau tidak bisa datang karena sedang di luar negeri.” Elio mengangguk. “Kamu terlihat… berbeda.” Jennah tertawa kecil. “Berbeda bagaimana?” “Lebih hidup,” jawab Elio dengan tulus. “Mungkin karena sore ini langit sedang berpihak padamu.” Jennah memalingkan wajah, sedikit tersipu. Ia tidak terbiasa mendengar pujian disampaikan dengan nada setenang itu. Acara berlangsung dengan lancar. Para tamu berbincang, musik lembut mengalun di latar. Jennah sedang berbicara dengan salah satu panitia ketika suara yang begitu ia kenali terdengar dari arah belakang. “Jennah?” Langkahnya terhenti. Ia menoleh, dan di sana — berdiri sosok yang selama ini hanya ada di pikirannya dalam bentuk kenangan lama yang dingin. dan berharap tidak bersinggungan lagi dengannya setelah perceraian itu. Drake Larson. Pria yang pernah menjadi suaminya selama tiga tahun. Pria yang dulu menemaninya dalam hubungan yang hanya berisi dengan tanggungjawab dan berjarak, tapi akhirnya membuatnya belajar bahwa hubungan seperti itu hanya menyiksanya meskipun pada akhirnya mereka berpisah dengan tenang. Drake mengenakan jas hitam sederhana. Wajahnya masih sama — tampan dan karismatik — tapi sorot matanya kini lebih redup, seperti seseorang yang menyadari sesuatu terlalu terlambat. “Drake…” ucap Jennah perlahan. “Kau di sini juga?” “Aku salah satu pembicara tamu,” jawabnya tenang. “Proyek ini melibatkan rumah sakit tempatku bertugas.” Jennah mengangguk pelan. Dunia rupanya lebih kecil daripada yang ia kira. Elio yang baru kembali membawa dua gelas minuman sempat terpaku melihat ekspresi Jennah berubah. Tatapannya mengikuti arah pandang Jennah, dan saat melihat Drake, ia segera memahami — meski belum tahu segalanya. Elio menghampiri dengan tenang, menyerahkan segelas air mineral kepada Jennah. “Terima kasih,” ucap Jennah pelan. Drake menatap pria itu, lalu bertanya dengan nada sopan, “Temanmu, Jennah?” Jennah membuka mulut, tapi Elio lebih dulu menjawab, “Elioano Cassian. Dokter di St. Claire.” Drake mengangguk sambil menjabat tangan Elio. “Drake Larson. Aku bekerja di klinik trauma dan bedah minor. Senang bertemu denganmu.” “Begitu,” balas Elio. Ia menatap singkat ke arah Jennah. “Kalian tampak saling mengenal.” Jennah menelan ludah kecil sebelum menjawab, “Kami pernah… menikah.” Kalimat itu jatuh seperti percikan kecil di antara mereka — tenang, tapi membuat udara di sekitar tiba-tiba berubah suhu. Elio menatap Jennah sejenak, tanpa reaksi berlebihan. Hanya sepasang mata lembut yang berusaha memahami. Acara berlanjut. Setelah sesi sambutan dan presentasi, para tamu menikmati hidangan ringan di taman belakang rumah sakit. Jennah berdiri di dekat meja minuman, mencoba menghindari kerumunan. Elio menghampirinya dengan dua cangkir kopi. “Sepertinya kamu butuh sesuatu yang menenangkan,” katanya sambil menyerahkan cangkir. Jennah tersenyum samar. “Kau selalu muncul di waktu yang tepat, ya?” “Bukan kebetulan,” jawab Elio. “Aku hanya memperhatikan.” Jennah menatapnya sekilas. “Kau melihat segalanya, Elio?” “Tidak semuanya,” balasnya tenang. “Tapi cukup untuk tahu seseorang sedang menahan banyak hal yang belum selesai.” Jennah menunduk. “Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tapi juga tidak cukup lama untuk menyembuhkan.” Elio mengangguk pelan. “Dan kamu memilih diam selama ini?” “Saya pikir, jika saya diam, rasa sakitnya akan berkurang,” ujarnya lirih. “Tapi ternyata diam hanya membuat semuanya tumbuh ke dalam.” Elio menatapnya lembut. “Kau tidak harus melupakan masa lalu, Jennah. Kau hanya perlu memastikan itu tidak lagi menahanmu di tempat yang sama.” Jennah menatap Elio lama. Ada sesuatu di cara pria itu berbicara — tenang, tidak memaksa, tapi mengandung keyakinan yang membuatnya ingin percaya. Dari kejauhan, Drake berdiri memperhatikan keduanya. Ia mengenal setiap ekspresi wajah Jennah — senyum kecil, tatapan lembut, cara Jennah menunduk ketika merasa nyaman — dan malam ini, ia melihat semua itu lagi. Tapi bukan untuknya. Untuk pertama kalinya, Drake menyadari, bahwa selama tiga tahun pernikahan mereka, ia belum pernah melihat Jennah tersenyum dengan cara itu — setenang dan setulus malam ini. Tangannya menggenggam gelas di meja, sedikit lebih erat. Ia ingin berpura-pura tidak peduli, tapi hatinya menolak. Karena di hadapannya, masa lalu yang pernah ia abaikan kini tampak benar-benar siap untuk melepaskannya. ** Setelah acara usai, Jennah pamit pada panitia dan berjalan menuju mobil. Tapi sebelum sempat membuka pintu, Elio menyusul. “Jennah.” Ia menoleh. Elio berdiri di bawah cahaya lampu taman, wajahnya tenang seperti biasa. “Aku tidak tahu apa yang sudah kamu lalui,” katanya perlahan. “Tapi kalau kamu bersedia… izinkan aku menemanimu sedikit lebih lama kali ini.” Jennah terdiam. Suaranya serak ketika menjawab, “Kau tidak perlu merasa kasihan, Elio.” Elio tersenyum kecil. “Aku tidak merasa kasihan. Aku hanya merasa… belum sempat.” Jennah menatapnya bingung. Elio menambahkan, “Belum sempat mengatakan apa pun sejak SMA dulu.” Senyap. Angin sore berembus lembut di antara mereka. Jennah tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya berubah — seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu yang selama ini nyaris ia lupakan. Dan di bawah cahaya lampu yang temaram, masa lalu dan masa kini perlahan bersinggungan… membuka ruang kecil untuk sesuatu yang baru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD