3. Cahaya yang Kembali

1041 Words
Pagi itu, langit seolah bersih dari segala warna—putih, dingin, tapi damai. Jennah turun dari taksi di depan rumah sakit dengan langkah ringan namun hati berat. Matanya terasa lelah, kadang perih, dan ia tahu alasannya bukan hanya karena begadang membuat desain. Ada sesuatu di dalam dirinya yang belum selesai… luka yang masih segar. “Kalau kamu terus begadang dan pura-pura baik-baik aja, aku bakal seret kamu ke dokter sendiri,” suara Seraphine kemarin masih terngiang. Nada sahabatnya itu selalu terdengar seperti campuran antara kekesalan dan kasih sayang. Akhirnya, pagi ini Jennah benar-benar datang. Ia ingin memastikan matanya—dan hatinya—masih bisa melihat dengan jelas. ** Jennah menunggu di ruang tunggu rumah sakit St.Claire bersama beberapa orang pasien lain yang akan memeriksakan diri ke dokter mata. Beberapa menit kemudian, nomor antriannya pun tiba dan ia segera pergi ke meja pendaftaran. “Nama lengkap dan tanggal lahir, Nona?” tanya perawat sopan. “Jennah Aureline Varez. Dua puluh delapan Mei, sembilan puluh enam.” “Baik, nanti diperiksa oleh dokter Elioano Cassian,” ucap perawat sambil menulis cepat. Jennah mengangguk. Nama itu sekilas terasa akrab di telinganya. "Cassian... di mana aku pernah dengar nama itu?" Pikiran Jennah sejenak bekerja keras untuk mengingat sensasi familiar yang ia rasakan. Ponselnya bergetar mengalihkan pikirannya dari memikirkan nama dokter yang akan memeriksanya nanti. Pesan dari Seraphine. Seraphine:Sudah di RS? Jangan pura-pura kuat. Dokternya harus tampan, biar kamu cepat sembuh. Jennah: Kamu selalu mikirnya ke sana. Seraphine:Kamu lupa siapa aku? Aku bintang film, bukan biarawan. Jennah tersenyum kecil. Sedikit tawa dari hatinya yang lama beku. Ketika tiba giliran Jennah untuk menemui dokter, ia pun membuka pintu ruang pemeriksaan dengan pelan. “Jennah Aureline Varez?” Suara itu rendah, tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Jennah menoleh cepat. Pria berseragam dokter berdiri di depan pintu ruang periksa. Sorot matanya lembut, teduh… dan entah kenapa terasa familiar. “Ya, saya,” ucap Jennah, mencoba tenang. “Elioano Cassian,” ujarnya sambil tersenyum. “Silakan masuk.” Jennah berhenti sejenak. Bibirnya nyaris berucap sesuatu, tapi ia urungkan. Nama itu... wajah itu... Ada bayangan samar di kepalanya — seorang senior di klub buku SMA-nya dulu. Pria yang selalu duduk di sisi jendela ruang baca, menandai halaman dengan ujung pena, dan pernah menolongnya meminjam novel klasik yang langka. Jennah mendekat lalu ia mengikuti instruksi Elio untuk memulai pemeriksaan. “Silakan lihat ke depan, ya,” ucap Elio lembut. Cahaya alat medis menyorot ke mata Jennah, dan di balik alat itu, Elio memandangi wajah yang dulu sering ia lihat di sela-sela tumpukan buku sekolah. Wajah yang dulu menunduk malu setiap kali berbicara tentang Nathan—senior mereka berdua. Ia masih ingat hari terakhir mereka di sekolah. Jennah berdiri di gerbang, memegang hadiah kecil untuk Nathan, sementara Elio diam di belakang, hanya bisa menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. "Waktu itu aku janji dalam hati, kalau takdir memberi kesempatan, aku akan berani kali ini." Kini, takdir itu ada di depan matanya. Gadis itu duduk di kursi pasien, lebih dewasa, tapi masih dengan tatapan sendu yang sama. Setelah pemeriksaan itu selesai, Jennah pun duduk di depan meja Elio untuk mendengarkan hasil diagnosis nya. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Jennah setelah Elio selesai memeriksa. “Mata kamu lelah, tapi tidak ada yang serius,” jawab Elio lembut. “Terlalu sering menahan tangis juga bisa bikin otot mata tegang, tahu?” Jennah sedikit kaget, menatapnya. “Dari mana kamu tahu saya… menahan tangis?” Elio tersenyum samar. “Saya terbiasa membaca mata orang, bukan cuma korneanya.” Kalimat itu membuat Jennah kehilangan kata. Ada sesuatu di nada suaranya yang tidak terasa seperti basa-basi dokter pada pasien. Lebih… pribadi. ** Saat Jennah bersiap keluar, Elio menunduk menulis catatan di berkas pasiennya. “Jennah Aureline Varez…” ia mengulang pelan nama itu, seolah mencicipi kenangan. “Ya?” Jennah menoleh. Elio tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, hanya… namanya indah. Seperti dulu.” Jennah mengerutkan dahi sedikit. “Seperti dulu?” Elio menatapnya dalam-dalam. “Kau nggak ingat aku, ya? Klub buku. SMA St. Madeleine.” Jennah terdiam. Napasnya tertahan. Ia memandangi Elio lebih lama, dan perlahan-lahan ingatan itu muncul—senior tenang yang sering meminjamkan bukunya, yang pernah menolongnya membawakan buku ke ruang guru, dan yang selalu tersenyum hangat setiap kali dia gugup. “Elio…” suaranya lirih. “Elio Cassian?” Elio mengangguk pelan. “Akhirnya kamu ingat.” Ada jeda panjang di antara mereka. Jennah tiba-tiba merasa aneh—entah canggung, hangat, atau… nyaman. “Sudah lama sekali,” katanya pelan. “Ya,” balas Elio. “Tapi sepertinya beberapa hal tidak berubah.” “Apa maksudmu?” “Matamu masih menyimpan cara yang sama… saat kamu mencoba menutupi perasaanmu.” Jennah terdiam. Kata-kata itu seperti menembus benteng dingin yang selama ini ia bangun. ** Saat Jennah keluar dari ruang periksa, Seraphine sudah menunggunya di lorong dengan kacamata hitam besar dan gaya diva-nya. “Bagaimana? Dokternya muda nggak?” “Cukup muda…” jawab Jennah cepat. “Dan?” Seraphine memiringkan kepala. “Dan… ternyata dia teman lamaku waktu SMA.” Seraphine menaikkan alis, ekspresi khasnya muncul. “Oh. Itu tandanya, hidupmu akhirnya mulai menulis bab baru, Jennah.” Jennah tertawa kecil. “Kamu selalu dramatis.” “Please, aku bintang film. Drama itu nafas hidupku.” Seraphine berkata dengan ekspresi bangga sebelum keduanya pun beranjak pergi ke bagian apotek untuk mengambil obat. Dari Sudut Lorong, Elio berdiri di balik kaca ruangannya, memperhatikan Jennah dan Seraphine berjalan pergi. Ia tahu siapa yang duduk di kursi taman pesta pernikahan Nathan beberapa hari lalu. Ia tahu kenapa Jennah menangis tanpa suara. Dulu, ia hanya bisa menyukai gadis itu dari jauh. Sekarang, mungkin saatnya menepati janjinya sendiri: tidak lagi diam. “Jennah Aureline Varez,” gumamnya pelan. “Kali ini, aku nggak akan biarkan kamu berjalan sendirian.” Ia menulis catatan di bawah nama pasiennya: “Follow-up in one week. Observation needed.” Tapi di dalam hati, Elio tahu: yang ingin ia amati bukan sekadar kondisi mata Jennah — melainkan cara perempuan itu perlahan belajar melihat cinta yang menunggu diam-diam di sisinya. Jennah melangkah keluar rumah sakit, masih mencoba memahami perasaan aneh yang muncul di dadanya. Di belakangnya, Elio menatapnya lama dari jendela, dengan senyum lembut yang mengandung janji tak terucap. "Kesempatan kedua… dimulai hari ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD