Hening malam itu seperti pisau yang menoreh hati. Di kamarnya yang pengap oleh resah, Dewi Kurniasih terduduk di lantai dengan kebaya lusuh yang masih melekat di tubuhnya usai prosesi lamaran sore tadi. Kilau perhiasan pemberian keluarga calon suaminya masih terletak di meja rias, tapi bagi Dewi itu bukanlah tanda kebahagiaan—melainkan rantai besi yang membelenggu kebebasannya.
Air matanya mengalir tanpa henti. Ia memeluk kedua lututnya, berbisik lirih seakan hendak menyakinkan dirinya sendiri.
“Aku sudah kalah... aku sudah selesai... cinta itu hanya mimpi....hanya mimpi...”
Ia menoleh ke cermin. Wajahnya pucat, mata bengkak, bibirnya kering. Dewi merasa tak lagi mengenali dirinya sendiri. Gadis yang dulu penuh harapan, penuh keberanian mencintai Ryan dengan segala risiko, kini hanya ba
