Malam turun lebih pekat. Rumah itu terasa makin menyesakkan, seakan setiap dinding menyerap gelombang amarah yang tak pernah padam. Di kamar Nu, Ryan masih duduk berjaga. Matanya berat, tubuhnya lelah, tapi ia tahu tidak boleh tidur. Sesekali ia meraih tangan Nu, memastikan denyut nadinya masih terasa. Wajah Nu yang pucat membuat hatinya semakin pedih. Namun di kamar lain, Dewi duduk di atas lantai dengan lingkaran garam yang ia buat sendiri. Lilin hitam berjejer di sekelilingnya, asap kemenyan memenuhi ruangan, menusuk hidung dan membuat udara pengap. Mantra dilantunkan berulang-ulang, lidahnya tergelincir pada bahasa tua yang tak dimengerti orang awam. “Datanglah… datanglah… aku sudah siap membayar harga…” Suara Dewi parau, tangannya gemetar, tapi matanya tetap terpejam rapat. Lalu

