Pagi itu, rumah Dewi diselimuti hawa yang janggal. Matahari memang terbit, tapi cahaya yang masuk melalui jendela seakan redup, seperti terhalang kabut tipis yang hanya ada di sekitar rumah itu. Ryan membuka mata lebih cepat dari biasanya. Malam tadi ia hanya tidur sebentar di kursi samping tempat tidur Nu. Kepalanya berat, tubuhnya seperti diselimuti asap. Ia teringat samar—mimpi buruk yang begitu nyata. Dalam mimpinya, ia melihat Nu terikat di ranjang dengan tubuh pucat, sementara Dewi berdiri di sampingnya mengenakan kain hitam, bermata merah menyala. Suara-suara asing bergema di telinganya: “Pilih… miliknya atau milikku…” Ryan mengusap wajah, mencoba menepis mimpi itu. Tapi keringat dingin masih membasahi tengkuknya. “Mas…?” Suara lirih Nu membuyarkan lamunannya. Ryan menoleh. Nu s

