Hari demi hari berjalan. Dewi dan Ryan saling bertukar kabar lewat telepon rumah. Sesekali, Ryan mengirimkan kartu pos atau menelpon ke wartel sekolah untuk menyapa. Suatu sore di awal November, Ryan datang ke sekolah dengan alasan ingin menyerahkan donasi buku untuk perpustakaan. Dewi yang kebetulan sedang membantu bu Uci di ruang baca, kaget ketika Ryan masuk membawa kardus berisi novel-novel klasik. “Kamu suka baca To Kill a Mockingbird?” tanya Ryan. Dewi mengangguk. “Aku suka Scout. Tapi kadang nggak ngerti gaya bahasanya.” “Kalau gitu, kamu butuh teman diskusi,” Ryan tersenyum. Dan sejak hari itu, Dewi seperti memiliki mentor—dan lebih dari itu, seorang teman bicara yang bisa mengimbangi pikirannya. Hubungan mereka berkembang pelan, sesuai zaman. Tak ada media sosial, tak ada w*

