2.

803 Words
"Lepaskan aku, Damian b******k!" Mika meronta dalam cengkraman tangan Damian yang kini menyeretnya seperti tahanan. "Argh!" Damian berteriak kesakitan saat Mika tiba-tiba menggigit keras tangannya untuk melepaskan diri. "Sudah berani kurang ajar, hah?!" "Kakak yang mulai!" teriak Mika emosi, "Mika tidak akan kurang ajar kalau kakak tidak memukuli Marco!" "b******n itu sudah melakukan perbuatan menjijikkan padamu dan kau masih membelanya?!" "Dia pacarku! Apa salahnya kami melakukan apapun yang kami suka?!" "Yang kau lakukan itu kau sebut pacaran?! Dimana otakmu, Mika?!" Damian menggerakkan giginya keras, berusaha menguasai diri agar tidak memukul Mika. "Ini hidupku jadi terserah aku!" "Ingatkah kau dengan statusmu?! Jangan pernah berani berbuat macam-macam selama kau masih menyandang nama Bayu dibelakang namamu! Kakak bisa melakukan apapun pada b******n itu jika kau masih berhubungan dengannya." "Mika tidak akan tinggal diam kalau kakak berani menyentuh Marco!" Ancam Mika kemudian menolehkan kepalanya pada Desyana yang sedari tadi diam dan menundukkan kepalanya. "Daripada aku, sepertinya Desyana lebih cocok jadi adiknya kakak. Sok manis, katrok, culun." sinisnya sebelum pergi ke lantai atas, mengabaikan teriakan marah sang kakak. Mika menutup pintu kamar dan mengambil ponselnya, menghubungi Marco yang tadi dipukuli oleh sang kakak hingga pemuda itu pingsan dengan darah dan lebam di seluruh wajah. "Marco, kamu sudah dibawa ke rumah sakit?" Mika bertanya begitu sambungan teleponnya terangkat. "Ya, aku sudah ada di rumah sakit sekarang." Marco mendesis, menahan perih. "Maafkan kakakku, dia tidak sengaja melakukannya." Mika takut perbuatan Damian pada Marco berdampak pada hubungan asmara mereka. "Kakakmu tidak sengaja melakukannya?" tawa Marco sumbang diikuti suaranya yang kesal, "Menurutmu bagaimana jika ada orang asing tiba-tiba memukulimu sampai kau masuk UGD?" "Maaf Marco. Aku janji hal ini tidak akan terjadi lagi. Jangan marah, ya." "Mika..." "Bagaimana dengan urusan administrasi rumah sakit? Apakah sudah ada yang mengurusnya?" Mika buru-buru memotong pembicaraan Marco, "Aku transfer biaya rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, Ok." Mika menjauhkan ponsel dari telinganya, membuka aplikasi Mobile Banking dan menekan beberapa angka tanpa ragu. "Sudah kutransfer." Bibir Mika tersenyum lebar saat mengatakan hal itu. "Ini bukan masalah uang, Mika! Aku punya uang sendiri untuk bayar rumah sakit! Lagipula, kenapa kau transfer banyak sekali?!" "Tidak apa-apa. Anggap saja itu permintaan maaf atas perbuatan kakakku." "Aku akan dihajar olehnya lagi jika dia tahu kamu transfer uang padaku." "Kakakku tidak akan tahu masalah ini, jangan khawatir." Selama ini Mika menerima jatah bulanan di rekeningnya dan tak pernah ada masalah jika uang-uang itu Mika habiskan. "Sekarang istirahatlah, semoga kamu cepat sembuh. Love you." Mika menunggu balasan Marco namun Marco langsung mematikan teleponnya. "Love you to, Mika." Mika menjawab sendiri pada telepon yang mati itu. It's Ok, setidaknya Marco sudah mendapatkan perawatan yang layak dari dokter. Mika mengakhiri hari ini dengan merebahkan dirinya diatas ranjang, mengistirahatkan tubuh dan otaknya yang panas karena emosi pada sang kakak. Gadis itu memejamkan matanya cepat, dia ingin pagi cepat datang hingga dia bisa melihat kondisi Marco. Mika keluar dari kamarnya tepat di jam 7 pagi keesokan harinya dengan wajah malas karena pasti ada Damian dan Desyana di meja makan, "Lebih baik sarapan di luar." gerutunya. "Mika, tidak sarapan dulu?" suara itu mengalun lembut, membuat langkah Mika terhenti. Mika menolehkan kepalanya kearah meja makan dan mendapati sang ibu duduk disana bersama sang ayah. "Bunda!" Mika berlari semangat kearah sang ibu, memeluknya erat sembari menciumi wajah teduhnya bertubi-tubi karena rindu, "Kangen." "Bunda dan Ayah kapan pulang? Kok Mika tidak tahu?" Mika duduk di kursi dekat sang Ibu dan memeluknya dengan manja. "Kami pulang tadi subuh." Wanita paruh baya bernama Luna itu tersenyum sembari merapikan rambut si bungsu dengan sayang. "Kenapa tidak bangunkan Mika?" "Jika kami bangunkan kamu, yang ada kamu ikut tidur diantara kami." suara itu mengalun berat dibalik koran yang beliau baca, "Ayah tidak suka kamu memonopoli Bundamu." "Possesif." "Ayah tidak possessive hanya saja Ayah tidak mau berbagi bundamu dengan orang lain termasuk denganmu." Pria paruh baya itu bernama Alex, dia menatap sang istri dengan sorot penuh cinta, sorot mata yang tak pernah berubah meskipun mereka sudah hampir 3 dekade bersama. "Ayah dangdut sekali." Ekspresi wajah Mika yang manja berubah jadi keras saat matanya menangkap Desyana dan Damian datang menuju area meja makan. 'Dua kampret sialan kenapa mesti datang sekarang, sih?! Ngerusak mood!' "Uncle Dewangga sanggup handle pabrik yang ada di Kudus untuk menggantikanmu. Kamu sendiri bagaimana dengan kantor yang ada disini?" suara sang ayah membuat Mika memasang kuping. "Damian masih pelajari semuanya karena Ini adalah pengalaman pertama Damian pegang kantor pusat. Damian ingin memastikan semuanya berjalan sempurna." "Gunakan waktumu dengan baik, Damian. Ayah percaya padamu." senyum Alex bangga pada Damian. "Kakak di Jakarta dan Uncle Dewangga di Kudus?" "Ya, kamu benar." jawab Alex. 'Sialan!' "Kalau Uncle Dewangga di Kudus, itu artinya Desyana juga akan tinggal disana, kan?" Jika Damian di Jakarta, Mika berharap Desyana ada di Kudus jadi beban mentalnya sedikit berkurang. "Desyana tetap di Jakarta. Dia harus menyelesaikan study-nya disini sampai selesai." jawab sang Ayah tegas. 's**t!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD