BAB 7

1183 Words
Hari terus berganti tetapi kegelisahan tak kunjung pergi. Karena teror dari Lay, gue tidak bisa menikmati hidup. Gue selalu takut jika Lay melakukan hal tidak diduga dan membuat keadaan menjadi kacau balau. "Git? Kok pucet?" tanya Nana yang membuat gue hanya menyunggingkan senyuman sebagai respon. "Wajahnya nggak beda sama Luna yang lagi hamil muda," ucap Victoria, perkataannya membuat genggaman gue pada rok seragam menguat. Gue takut karena belum memeriksa diri sama sekali setelah kejadian malam itu. Suara langkah kaki yang datang dengan tergopoh membuat gue mengalihkan perhatian ke arah lorong bagian utara, dan di sana dokter Ilham sedang berlari ke arah kami yang sedang berkumpul di nurse station sambil terengah. "Kenapa sih dok lari-lari? Nggak ada code blue juga," tegur Nana. Dokter Ilham menghela napas panjang dengan rakus sehingga membuat kami semua tertawa. "Ambil napas dulu coba, dok." Nasihat Luna yang membuat Dokter Ilham menarik napas panjang. "Ada apa dok?" tanya Victoria penasaran. "Anak yang punya rumah sakit ada di sini!" ucap Dokter Ilham dengan antusias yang membuat para perawat hanya tersenyum. "Pasti dirawat di VVIP kan? Terus kenapa hebohnya sampai ke bangsal perawatan biasa gini?" tanya Nana bingung. "Anak yang punya rumah sakit bukan pasien! Tapi dokter!" kata Dokter Ilham yang membuat kami tersentak kaget dan serempak berdiri. "Dokter?" tanya Victoria dengan tidak percaya. "Lho emang anak yang punya rumah sakit ini ada yang jadi dokter?" tanya Luna kebingungan. "Anak sulungnya ternyata dokter, kalian pasti lebih nggak percaya kalau tahu siapa orangnya!" ucap Dokter Ilham yang membuat kami lebih merasa penasaran. "Siapa emang, siapa?" tanya Nana penasaran. "Laynard Abraham! model sekaligus bintang iklan yang mukanya suka nongol di TV!" ucap Dokter Ilham yang membuat gue membelalakan mata. Pekikan bahagia dan juga histeris selanjutnya mewarnai lorong rumah sakit yang sebelumnya sempat hening. Antusiasme yang begitu besar terlihat jelas dari ketiga rekan gue, namun bagi gue ucapan dokter Ilham barusan seakan menambah terror baru, membuat kaki gue terasa lemas, hingga gue memilih untuk mendudukkan diri di kursi terdekat.  Suara ribut yang dihasilkan membuat Dokter Ilham dan teman-teman yang lain melihat ke arah gue dengan pandangan bertanya. "Git, lo nggak apa-apa?" tanya Luna khawatir. Gue hanya menggelengkan kepala gue dan tersenyum kikuk, Dokter Ilham yang sebelumnya antusias bercerita pun kini memandang gue dengan tatapan khawatir. "Mau gue periksa?" tanyanya yang gue jawab dengan gelengan. "Nggak usah dok, saya cuma kecapekan kayaknya," kilah gue yang dijawab dengan anggukkan oleh Dokter Ilham. "Minum vitamin Git, musim lagi nggak menentu, jadi ke badan juga bawaannya nggak enak." Victoria menasihati yang gue respon dengan anggukkan. "Iya Kak," jawab gue. Selanjutnya suara banyak langkah kaki yang semakin mendekat membuat kami mengalihkan perhatian, dan sekelompok orang dengan jas putih kebesaran mereka sedang berjalan ke arah kami bersama satu-satunya orang yang tidak memakai jas kebesaran profesi tersebut. Orang yang akhir-akhir ini kembali menghantui hari-hari gue. Nana dengan sigap menarik tangan gue untuk berdiri, membuat tubuh gue sedikit limbung karena kaki gue masih terasa lemas. Untungnya Victoria dengan sigap menahan tubuh gue agar tidak terjatuh hingga gue bisa kembali berdiri tegak. "Jadi dok, ini bangsal perawatan kelas satu. Ditunjukkan untuk pasien-pasien dengan penyakit tidak menular dan juga pasca bedah," jelas Dokter Kuyanu, salah satu dokter yang berada di dalam rombongan tersebut. "Apa Anda baik-baik saja?" tanya Lay ke arah gue yang membuat gue terpaku. Ia mengabaikan penjelasan Dokter Kuyanu hingga gue menjadi pusat perhatian sekarang. Gue tidak percaya dia masih bisa menanyakan kondisi gue dengan santainya di saat dia lah penyebab ketidaktenangan hidup gue! Gue tidak bisa makan dan minum dengan baik akhir-akhir ini, semua ini karenanya. Senggolan di bahu gue oleh Nana membuat gue sadar bahwa gue harus merespon pertanyaan Lay. Gue pun menganggukkan kepala singkat seraya berkata, "saya tidak apa-apa, dok." "Ah ya, ini Dokter Lay, beliau yang akan memantau kondisi rumah sakit ini secara langsung untuk menggantikan Direktur Lionel, beliau juga mungkin akan bergabung ke dalam tim," jelas Dokter Mino yang kami jawab dengan anggukkan. Lay tidak mengalihkan pandangannya, membuat gue hanya bisa menunduk dalam, menahan segala emosi yang berkecamuk di hati. Sekarang semuanya sudah jelas, Lay adalah anak pemilik rumah sakit ini, seharusnya sejak awal gue tahu kenapa gue masih bertahan sampai saat ini di rumah sakit tanpa kena campur tangan Ibu Changmin, itu karena Lay berada di balik semua ini. Kenyataan itu membuat gue merasa sangat miris. Selama ini gue sibuk untuk membenci dan mencacinya, tetapi ternyata karena dia lah gue masih bisa bertahan di sini. Dokter Kuyanu lalu mempersilakan Lay untuk melihat ke ruangan perawatan di paviliun tempat gue berjaga yang kemudian diikuti oleh rombongan tersebut. "Saya harus ke toilet," ucap gue untuk pamit kepada rekan-rekan, gue takut tidak bisa menahan luapan emosi lebih lama sehingga memilih untuk menghindar. Gue benar-benar merasa menjadi orang paling bodoh saat ini. Orang yang begitu gue benci malah sosok penyokong di balik bertahannya gue selama ini. Setelah menenangkan diri dan mencuci muka agar terlihat sedikit lebih segar gue keluar dari toilet, namun gue dikejutkan dengan keberadaan Lay di depan toilet dengan kedua tangan yang ditaruh pada saku celananya, sepertinya ia sengaja menunggu. Gue mencoba melewatinya begitu saja, tetapi ia menahan lengan gue sehingga membuat gue tidak dapat bergerak lebih jauh. Gue berdecak pelan sebelum menatap Lay dengan tajam. "Berhenti mengganggu kehidupan gue Lay! Nggak puas dengan profesi lo yang menghasilkan banyak uang itu sampai lo masih kerja sebagai dokter di sini?!" "Kalau nggak fit nggak usah maksain diri," timpal Lay yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ucapan gue sebelumnya. "Nggak usah sok peduli!" ucap gue dengan sinis. Mengingat masa lampau membuat kesabaran gue terkikis. Seminggu setelah pengumuman beasiswa itu orangtua gue mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Ditinggalkan orang yang gue cintai dan sayangi dalam waktu yang berdekatan membuat gue merasa sangat terpuruk. Gue sedang berada di titik terendah dalam hidup saat itu, dan Lay sama sekali tidak muncul meski hanya untuk mengucapkan bela sungkawa. Hal itu membuat gue merasa kecewa, sangat kecewa. Dia tidak ada di saat gue benar-benar membutuhkan sosoknya, padahal gue sudah memberikan segalanya. Gue hampir mengakhiri hidup jika tidak ingat dengan satu-satunya orang yang membuat gue bertahan sampai saat ini, yaitu Jeno. Gue memilih untuk pergi, tetapi Lay malah menarik lengan gue dan menyeret tubuh gue ke arah tangga darurat. "Lay!!" bentak gue dengan frustasi. Bukannya berhenti, tetapi Lay malah melanjutkan aksinya dengan memepetkan tubuh gue ke tembok dan mengurung gue dengan kedua tangannya yang berada di sisi tubuh. Perlahan namun pasti Lay mendekatkan wajahnya ke wajah gue hingga gue bisa merasakan embusan napasnya dengan begitu jelas. Jika seseorang menemukan kami dalam posisi ini, semua pasti akan menjadi semakin rumit. "Tolong... gue mohon sama lo untuk berhenti," pinta gue dengan lirih. Dalam jarak sedekat ini gue bisa melihat kedua bola matanya dengan jelas. Di sana tersirat berbagai macam emosi seperti marah, kesal, kecewa dan juga ... rasa sakit. Kenapa dia memandang gue seperti itu saat gue lah yang sudah ia sakiti di sini? "Tolong anggap kita nggak pernah saling mengenal," pinta gue dengan lirih yang membuat kedua tangan Lay mengepal kuat, kemudian ia menonjok tembok yang ada di samping gue dengan tangan kanannya hingga memar. Setelahnya ia meninggalkan gue yang terduduk di lantai tangga darurat begitu saja.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD