Gue takut Changmin mendengar semua percakapan gue dengan Lay, terlebih kini dari cara Changmin menarik tubuh gue keluar tempat pesta bukanlah seperti Changmin yang biasanya.
Gue mengatupkan bibir gue rapat-rapat dan berdoa jika Changmin hanya emosi dengan ibunya saat ini, bukan karena mendengar percakapan antara gue dengan Lay.
Changmin membuka kunci mobilnya dan menyuruh gue untuk masuk ke dalamnya yang gue ikuti. Melalui ekor mata, gue bisa melihat Lay ikut keluar dari dalam gedung. Gue mencoba mengabaikan dan memilih untuk memakai sabuk pengaman sebelum Changmin mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi ke luar dari area parkir dan membelah jalan raya yang cukup ramai.
"Mas?" tegur gue kepada Changmin dengan ragu. Ia sedang emosi, dan itu sangat terlihat jelas.
Changmin sama sekali tidak membalas teguran gue dan malah mengemudikan mobil dengan kecepatan yang lebih tinggi. Dalam hati gue hanya terus berdoa. Gue merasa sangat khawatir sekarang.
Changmin memberhentikan mobilnya di pinggir sebuah danau kecil yang berada di dalam sebuah perumahan yang gue kenal sebagai salah satu komplek perumahan elit, dan kondisi di sana cukup sepi. Dengan tiba-tiba Changmin melepas seatbelt yang berada di tubuh gue dan menyatukan bibir kami berdua ke dalam sebuah ciuman panas.
"Chang-mmh..." gumam gue dengan tidak jelas karena ciuman Changmin kali ini yang terasa begitu menuntut dan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Di saat Changmin melepaskan pagutannya, gue mencoba mengambil oksigen sebanyak mungkin dengan napas yang terengah.
Changmin baru saja ingin menawan bibir gue kembali sebelum gue menahan kepalanya dan mengelus pipinya dengan lembut. "Ada apa? Hm?" tanya gue kepada Changmin. Namnun bukan jawaban yang gue dapatkan, melainkan sebuah pelukan yang sangat erat dari Changmin.
"Aku cinta sama kamu," ucap Changmin yang terdengar begitu frustasi di telinga gue.
"Aku tau," ucap gue sambil membalas pelukannya dan menyamankan posisinya di dalam pelukan.
"Mama enggak mau Joy ngelangkahin aku, makanya aku harus nikah lebih dulu dari Joy," ucap Changmin yang membuat gue menelan ludah gugup.
"Bair aku tebak, mama kamu udah nyiapin calon untuk kamu?" tanya gue yang tidak dijawab oleh Changmin. Hal itu gue anggap sebagai pengganti jawaban ya. Sejak awal gue sudah menduga hal ini, kisah romansa antara upik abu dan seorang pangeran tidaklah selancar seperti di negeri dongeng.
"Ayo kita kawin lari Git," ajak Changmin dengan memohon.
Gue tersenyum getir. "Kita udah pernah bahas ini sebelumnya bukan?"
Ini bukan kali pertama Changmin mengajak gue untuk kawin lari, namun gue dengan tegas menolaknya. Selain masa depan kami berdua, masa depan adik gue juga dipertaruhkan.
"Aku masih bisa biayain kuliah Jeno di luar negeri," ucap Changmin sambil melepaskan pelukannya.
"Mama kamu nggak akan membuat semua ini semudah di dalam bayangan kamu Changmin..."
Gue yakin ibu Changmin akan melakukan segala cara untuk membuat jalan gue dengan Changmin tidak mudah. Sebelumnya gue sudah tiga kali berganti rumah sakit tempat bekerja karena ulahnya. Namun gue tidak pernah bilang akan hal itu kepada Changmin karena gue tidak mempunyai cukup bukti.
Dalam kurun waktu enam bulan dikeluarkan dari tiga rumah sakit dengan alasan pelanggaran dan kelalaian yang bahkan tidak gue lakukan, hal itu membuat gue yakin jika itu semua adalah ulah beliau. Untungnya di tempat terakhir gue bekerja, gue masih bisa bertahan hingga sekarang.
"Git, please... i don't wanna lose you."
"So do i, Changmin," ucap gue meyakinkan Changmin.
Gue merasa sedikit lega sekarang, jadi penyebab emosi Changmin tadi adalah ibunya, bukan percakapan gue dengan Lay.
"Tadi kamu ketemu sama orangnya?" tanya gue yang dijawab gelengan oleh Changmin.
"Di saat Mama bilang perempuan itu mau ketemu, di saat itu juga aku pergi dari hadapan Mama," jelas Changmin.
"Bagaimana pun dia Mama kamu." Gue mencoba menasihati.
"I give up on my dream because of her! Aku nggak mau kalau untuk pasangan hidup Mama juga yang mengatur semuanya," ucap Changmin dengan frustasi.
Changmin selalu bermimpi untuk menjadi seorang arsitek, tetapi karena keluarga besarnya berlatar belakang hukum, Changmin dipaksa untuk memasuki akademi kepolisian setelah lulus. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan orang tuanya karena ia adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga.
Changmin menyatukan keningnya dengan kening gue sebelum memagut bibir gue dengan lembut. Sesekali ia mengigit bibir bawah gue yang membuat gue melenguh di sela-sela pagutannya. Di saat tangan Changmin bergerak untuk menurunkan reseleting gaun di punggung gue, gue tahu ke arah mana cumbuannya akan berakhir.
Kursi yang gue tempati kini Changmin setel sehingga posisinya berubah menjadi tiduran. Hal itu membuat tubuh gue ikut terbawa menjadi berbaring. Gue melepas kemeja yang Changmin gunakan, begitu pun tangan Changmin yang kini mulai aktif menjelajah dengan posisinya kini yang berada di atas gue.
Helai demi helai pakaian yang tadinya menutupi tubuh kami kini sudah tidak beraturan, menyisakan gue dan Changmin dengan gairah yang menggebu.
"Quick Changmin this is public place!" ucap gue memperingatkan.
Dan Changmin pun memulai aksinya yang membuat gue bertekuk lutut di bawahnya.
***
Gue masih terengah di dalam pangkuan Changmin yang berada di kursi kemudi setelah pergulatan panas dan juga singkat barusan sampai gue menyadari jika ada sebuah mobil yang berada di belakang mobil kami dengan lampu yang tidak dinyalakan sehingga membuat gue dan Changmin tidak menyadari keberadaannya.
Selanjutnya satu kiriman file video yang masuk ke dalam ponsel membuat gue bertambah panik.
Saat sampai rumah gue segera masuk ke dalam kamar dan membuka pesan yang ada di ponsel yang sejak tadi gue abaikan. Dalam aplikasi chatting tersebut ada sebuah kiriman video dan juga pesan.
+6281376xxxxxx
You can compare...
Pengirim pesan itu tidak terdaftar dalam kontak di ponsel gue. Tapi gue bisa menebak dengan jelas siapa pengirimnya. Gue langsung menghapus kiriman video itu tanpa menontonnya dan memblokir nomor tersebut. Lay benar-benar meneror hidup gue dengan kelakuannya yang seperti ini!
"Kak?" Suara teguran Jeno membuat gue kaget bukan main.
"Y-ya Jen?" tanya gue dengan suara sedikit bergetar akibat panik yang melanda.
"Kakak kenapa? Kok kayaknya tadi masuk rumah buru-buru banget?" tanya Jeno yang membuat gue mengembangkan senyum gue dan mengacak rambut adik gue dengan gemas.
"Nggak apa-apa, Jeno kapan pulang?" tanya gue bingung.
"Jeno tadi di belakang Kakak, sempet ngobrol sama Mas Changmin sebentar jadi mungkin Kakak ngggak sadar."
"Yaudah Jen, kamu udah makan ?" tanya gue yang dijawab gelengan oleh Jeno.
"Kakak mau mandi dan istirahat, rasanya badan gerah, nggak enak banget. Ini uangnya, terserah Jeno mau beli apa," ucap gue sembari mengeluarkan uang dari dalam tas.
"Kakak mau nitip apa?" tanya Jeno yang hanya gue jawab dengan gelengan.
"Kakak cuma butuh tidur sekarang Jen," jawab gue yang direspon anggukkan olehnya.
"Selamat istirahat Kak, besok masuk pagi kan?" tanya Jeno yang gue jawab dengan senyuman.
Setelah Jeno keluar dari dalam kamar, gue hanya membaringkan diri di kasur dan merenungi nasib sambil berdoa agar tidak lagi berada dalam kondisi yang begitu memicu adrenalin seperti tadi.