#3

1388 Words
Aca menatap wajah Fariq yang masih diliputi kemarahan, ada apa dengan orang ini pikir Aca,  tadi malam sangat lembut, mengapa pagi ini kembali menjadi dingin dan menakutkan. "Apa bapak tidak melihat saya sedang bekerja, sejak pagi saya di sini, belum beranjak untuk sekedar minum dan bahkan belum sholat, saya tahu prioritas pekerjaan saya Pak, saya akan segera ke ruangan bapak setelah sholat," Aca menatap Fariq yang mengatupkan gerahamnya dengan kuat menahan marah. Ia berlalu dan melangkah lebar menuju ruangannya. "Aduh ibu, segera temui bos bu,  ini akan merembet ke yang lain deh," ujar Meity, salah satu stafnya yang bertubuh tambun dengan wajah ketakutan,  sementara yang lain meringkuk ketakutan dikubikelnya. Hanya Ryan yang masih bisa tersenyum dan menatap Aca dengan wajah polosnya. "Bos lagi pms kali ya?" ujarnya yang mampu membuat teman-teman satu divisi melemparinya dengan kertas,  sudah tahu situasi genting masih sempat-sempatnya bergurau. **** Setelah sholat Aca melangkah menuju ruangan Fariq,  ia membuka perlahan dan melihat wajah tanpa senyum di depannya. "Kau tahu kan aku mencemaskanmu, berangkat pagi-pagi buta ke kantor kamu mau apa, apa kamu menyiksa dirimu karena laki-laki b******k itu, aku mengkhawatirkanmu Ca," suara Fariq terdengar diliputi kemarahan. Aca diam tak bergerak sedikitpun,  wajahnya datar saja,  ia tetap dalam posisi berdiri di belakang pintu yang ia tutup tadi. "Jika bapak merasa selesai dengan marah bapak,  boleh saya pergi?" suara Aca terdengar pelan dan Fariq mengerang di tempatnya. Ia segera berdiri dan melangkah mendekati Aca. Dalam jarak dekat mereka saling pandang. Dan Aca kembali kalah, ia memilih menunduk. "Aku tahu kamu sedih, tapi jangan gini caranya Ca, kamu mau bunuh diri dengan gila kerja, aku yakin kamu mengabaikan sarapan dan makan siangmu," ujar Fariq menatap wanita di depannya dengan cemas. "Boleh saya pergi Pak?" suara Aca terdengar memelas dan Fariq memeluk Aca, dan benar dugaan Fariq air mata Aca mengalir deras, kembali membasahi kemejanya. Jakun Fariq naik turun merasakan salivanya yang sulit ia telan, mendengar lirih suara tangisan Aca membuatnya semakin marah pada laki-laki itu, namun sesaat kemudian, Aca mendorong badan Fariq perlahan dan mengusap air matanya. "Saya akan kembali ke ruangan saya Pak, terima kasih," Aca menatap wajah sedih di depannya, dan ia membuka pintu,  menuju ruang kerjanya. Seluruh stafnya menatap penuh tanya mata sembab Aca, namun mereka takut untuk bertanya. **** Aca melangkah ke pantry,  di sana ia membuat minuman bersereal, meneguknya selagi hangat. Lalu melangkah ke luar setelah mencuci mug dan membawa kembali ke ruangannya. Aca melihat jam dipergelangan tangannya,  jam tujuh malam. Ia kembali ke ruangannya dan mendapati anak buahnya sudah pulang semua. Ia meraih tasnya dan melangkah menuju lift. Setelah sampai di loby ia menyapa seorang satpam yang kebetulan lewat dan mendekatinya. "Ibu, ada yang menunggu ibu di depan," ujar satpam itu dengan sopan. Kembali Aca terkesiap saat melihat postur tubuh seseorang di depan ruang loby, ia mengangguk ramah pada satpam dan melangkah pelan,  Aca berniat akan menyudahi semuanya,  keresahannya,  dan kelelahannya. Ia dekati laki-laki itu. "Ada apa masih mencariku,  masih kurang jelas apa yang aku katakan?" ujar Aca dengan wajah dingin. Laki-laki di depan Aca menoleh, menatap wajah cantik namun tampak kuyu di depannya. "Kita bicara Ca,  aku harus menjelaskan padamu,  semuanya,  karena....," laki-laki itu belum selesai berbicara Aca sudah menimpalinya. "Ikut aku ke cafe depan ini," Aca melangkah dan diikuti oleh laki-laki itu dengan wajah yang sedikit berbinar. "Silakan bicara," Aca duduk memandang laki-laki di depannya dengan ekspresi datar. "Akan aku jelaskan Ca, maaf jika dua tahun lalu aku terpaksa berbohong padamu,  sejak awal aku sudah ceritakan padamu,  jika Nella wanita yang memberiku modal itu orang baik,  dia memberiku modal tanpa bunga,  hingga usahaku berjalan lancar,  maka saat ia dirundung masalah aku tak tega menolak saat ia meminta pertolonganku, sebenarnya Nella hamil dengan orang lain Ca,  dia hanya butuh pertolonganku agar orang tuanya yang sakit jantung tidak kaget karena laki-laki yang menghamilinya pergi begitu saja, maka kami menikah tapi dengan perjanjian setelah dua tahun kami akan bercerai,  kamu boleh percaya boleh tidak aku tidak pernah menyentuhnya Ca,  bahkan setelah kami serumah di Serawak sana,  kami...," belum selesai ia berbicara Aca yang mengatupkan gerahamnya dari tadi memajukan wajahnya. "Kau kira aku akan percaya dengan dramamu ini, drama yang sangat bagus,  drama yang menghancurkan mimpi tiga tahun kita, membanting harga diri orang tuaku pada keluarga besar dan masyarakat,  saat undangan siap diedarkan, semua persiapan pernikahan 90% terbayar,  dan puncaknya kau membunuh bapakku yang sempat berjuang tiga hari di icu yang akhirnya menyerah karena drama konyolmu," Aca berdiri menatap laki-laki itu lagi. "Terima kasih Rey, kau pernah menemaniku selama tiga tahun, kini kau datang lagi, entah apa maumu,  luka yang kau tinggalkan masih menyisakan darah, pergilah menjauhlah dari hidupku," suara Aca bergetar meninggalkan Reyhan yang masih duduk termangu di cafe,  Aca melangkah cepat,  menyeberangi jalan dan menuju mobilnya. Semua pergerakan Aca diikuti oleh pandangan Fariq, ia melihat Aca menyeberang jalan sambil menyeka air matanya,  menuju mobilnya dan Fariq mengejar. "Ca," suara Fariq ada di belakang Aca saat ia akan memasuki mobilnya. Aca berbalik dan memeluk Fariq sambil menangis, tangisannya tak bersuara namun bahunya terguncang hebat. "Kau menyakiti dirimu sendiri, buat apa kau ladeni laki-laki itu, acuhkan dia,  lanjutkan hidupmu," suara Fariq terdengar serak, tangannya mengusap punggung Aca. Fariq melepas pelukan Aca dan menarik ke dalam mobilnya,  mendudukkannya. Fariq melajukan mobilnya ke luar dari area kantornya. Selama perjalanan Aca hanya diam,  sesekali terdengar isaknya,  dan Fariq mendiamkannya. Aca kaget saat mobil Fariq memasuki sebuah rumah mewah. "Turunlah," ujar Fariq sambil menarik perlahan tangan Aca. "Seingatku rumahmu tidak di sini," ujar Aca ragu. Ia melangkah perlahan memasuki rumah,  menaiki tangga bersusun serta disambut pelayan saat akan masuk. "Tuan akan makan malam?" tanyanya dengan sopan. "Entahlah,  nanti aku hubungi ibu jika kami ingin makan," Fariq menatap Aca yang masih saja menunduk. "Bu Fera kok seperti kaget lihat saya,  tumben ya saya bawa wanita ke rumah, ini Anataya,  ibu bisa memanggilnya Aca,  dia salah satu manajer di kantor,  teman semasa sma," ujar Fariq mengenalkan Aca, terlihat bu Fera yang tersenyum lebar sambil menunduk pada Aca. "Ini Bu Fera, Ca,  kepala pelayan di sini," ujar Fariq dan Aca tersenyum pada Bu Fera. "Mari nona silakan masuk, ini rumah tuan muda, dia sendirian di rumah sebesar ini, entah kapan dia akan membawa wanita untuk menjadi istrinya, karena dia membuat rumah ini katanya untuk ia persembahkan pada istrinya kelak," ujar Bu Fera menjejeri langkah Fariq dan Aca. "Wah Bu Fera,  kok jadi buka rahasia, ayo Ca duduk dulu,  kalau ingin apa saja bilang ke Bu Fera, aku mandi dulu ya ca," Fariq melangkah ke dalam dan meninggalkan Aca di ruang tamu dengan Bu Fera. "Nona ingin apa, saya siapkan," ujar Bu Fera ramah. "Panggil saya Aca ibu,  saya ingin lemon tea hangat saja," ujar Aca setelah duduk nyaman di sofa besar. "Baiklah, jika nona lelah,  bisa tiduran di kamar untuk tamu, ini di sini," ujar Bu Fera. Aca berdiri mengikuti Bu Fera. "Eeemmm boleh saya tiduran ibu?" tanya Aca meminta ijin. "Boleh,  nona, boleh,  nona wanita pertama yang ia ajak ke sini, tunangannya saja belum pernah ia ajak ke sini, dulu tuan muda pernah bertunangan namun entah mengapa putus tanpa kabar berita," ujar Bu Fera menjelaskan dan Aca mengangguk pelan, duduk di kasur yang empuk dan dia merebahkan diri di sana. "Silakan beristirahat nona,  saya tinggal ya," ujar Bu Fera melangkah ke luar pintu. Setelah mandi Fariq segera menyusul Aca ke ruang tamu, namun ia tak menemukan Aca di sana. "Di kamar tamu tuan,  teman tuan tidur nyenyak, sepertinya ada yang dia pikir, dia tidur menyamping, ada sisa air mata masih mengalir tadi tuan," ujar Bu Fera terlihat kawatir. "Yah saya ingin mengobati lukanya bu,  sejak lama saya mencintainya,  tapi dia sulit dijangkau," ujar Fariq menghembuskan napas dengan kuat. Senyum Bu Fera mengembang lebar.. "Saya sudah mengira sejak awal,  tumben tuan membawa wanita ke rumah ini,  apa rumah ini akan tuan persembahkan padanya?" tanya bu Fera menahan senyumnya. "Kalau dia mau bu," ucap Fariq,  meninggalkan bu Fera,  menuju kamar tidur tamu. Dibukanya pintu perlahan dan menemukan Aca yang masih tidur dengan lelap. Fariq berjongkok menatap wajah lelah yang tidur menyamping, ada lelehan air mata dan dua tangan Aca yang menempel di pipi Aca. "Aku mencintaimu Ca, sejak dulu,  sejak kau pernah menolakku aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu, cinta monyet yang berakhir menyedihkan,  tapi aku tak bisa melupakannya," Fariq tersenyum dan mencium kenjng Aca. "Fariq, siapa wanita itu nak?" Fariq kaget dan mendapati mamanya yang tiba-tiba ada di belakangnya ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD