#2

1310 Words
Mencari siapa?" suara Aca terdengar dingin. "Aku ingin menemuimu, ada yang perlu aku bicarakan denganmu," ujar laki-laki itu. "Maaf,  aku harus pulang dan tidak ada yang perlu kita bicarakan, ayo Riq," Aca masih menggenggam tangan Fariq, dan mereka melangkah menuju mobil Fariq. Laki-laki itu mengejar dan menarik tangan Aca,  Aca menepis tangannya dan berbalik dengan wajah marah. "Tidak ada hak bagimu untuk menyentuhku lagi setelah mempermalukan keluargaku dan membunuh bapakku, jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku, temani istrimu yang cantik dan kaya raya, yang telah sanggup menggadaikan cinta tiga tahun kita dan hanya semalam dengannya, kamu sanggup membuat dia hamil," Aca menarik tangan Fariq dan melangkah dengan cepat,  laki-laki itu terpaku ditempatnya dengan wajah kaget dan penuh penyesalan. **** "Menangislah Ca, jika itu membuat kamu lebih baik," ujar Fariq setelah mereka berada dalam mobil dan terlihat d**a Aca yang naik turun menahan emosi. Aca menoleh menatap wajah Fariq yang melihatnya dengan cemas lalu menangis sejadinya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku masih merindukannya, aku masih mencintainya, Riq," suara parau Aca ke luar di tengah isakan tangisnya yang semakin jadi. Fariq diam saja,  menunggu sampai tangis Aca reda, ia ambil tisu dan meletakkannya di tangan Aca. "Sudah baikan, kita langsung pulang atau bagaimana, tidak usah kawatir dengan mobilmu,  biar besok aku jemput kamu," ujar Fariq sambil menatap wajah Aca dengan cemas. "Jangan pulang dulu Riq, kita ke cafe atau ke mana, akuuu,  aku masih bingung dia tiba-tiba datang,  mengejutkan," Aca yang biasanya terlihat tangguh, tegar dan dingin tiba-tiba jadi rapuh hanya karena orang yang pernah hadir dalam hidupnya, memberi rasa indah tiara tara dan menghempaskannya ke dalam kesakitan yang menusuknya sampai sekarang. "Ke apartemenku ya Ca?" tanya Fariq sambil menatap Aca dengan lembut. "Nggak Riq, nggak, aku nggak akan pernah mau ke apartemen pria manapun,  kecuali kelak ia menjadi suamiku," tatapan Aca terlihat resah. "Baiklah, ke cafe sepupuku saja, aku akan minta ruangan vip biar kamu bisa tenang," ujar Fariq, namun sekali lagi Aca masih menatapnya. "Acaaaa ruangan vipnya kelihatan dari luar, kacanya tembus pandang, ok," akhirnya Fariq melihat Aca mengangguk dengan lemah. Ah Acaaa sedemikian kuat laki-laki itu mempengaruhi hidupmu, dibalik sifat tegar dan cuekmu, ternyata kau menyimpan sifat rapuhmu,  hanya karena laki-laki b******k itu... **** Fariq memarkir mobilnya dan membukaan pintu untuk Aca, menggandeng tangannya memasuki cafe yang agak ramai. Mereka disambut sepupu Fariq, yang segera mengantarkan mereka ke ruang yang dituju. "Makasih Hen, mungkin sekitar dua tiga jam lah kami di sini," ujar Fariq. "Nggak papa, sesukamulah,  toh nih cafe modalnya dari kamu," Hendri terlihat menatap wajah Aca yang masih sembab dan menaikkan alisnya menatap wajah sepupunya yang tumben membawa wanita ke cafenya. **** "Sudah aku pesankan makanan ringan dan minuman Ca, kalau ada yang mau kamu ceritakan,  ceritakanlah," ujar Fariq sesampainya di ruang vip. Fariq menatap Aca yang hanya diam terpaku memeluk tasnya. "Aku hanya nggak nyangka dia datang lagi Riq,  aku berharap dia hilang,  dan nggak muncul lagi dalam hidupku, terlalu banyak kenangan indah bersama Reyhan, Riq, aku nggak sanggup kalau dia muncul lagi, juga rasa sakit yang ditimbulkan saat dia datang dengan wajah memelas mengatakan harus bertanggung jawab karena telah menghamili rekanan kerjanya yang telah memberinya modal usaha besar bagi perusahaannya, seorang janda muda yang kaya raya, yang sempat dia kenalkan padaku, aku seperti terlempar ke dasar jurang yang dalam Riq, sakit dan sulit bangkit, juga rasa malu keluargaku, undangan yang kadung dicetak, 90% persiapan pernikahan sudah siap dan tiba-tiba harus gagal, akhirnya bapak kena serangan jantung saat aku menceritakan semuanya, sempat di icu tiga hari dan akhirnya beliau meninggal, sekarang dia muncul lagi Riq,  seolah tanpa dosa dia berbicara ingin menemuiku, aku harus gimana Riq?" terlihat wajah putus asa Aca. Fariq mendekat dan memeluk bahu Aca. Mengusapnya pelan dan Aca merebahkan kepalanya di d**a Fariq. Ada desiran aneh yang Fariq rasakan saat ia mencium rambut Aca, dan merasakan Aca yang menangis lagi di dadanya. "Menangislah Ca,  menangislah, aku akan menunggu sampai kamu merasa baikan," bisik Fariq ditelinga Aca. "Maaf Riq,  kemejamu jadi basah, maaf," Aca mengusap d**a Fariq dengan tisu yang ia pegang, tangan Aca dipegang oleh Fariq dan menggeleng pelan. "Nggak papa, asal kamu tenang dan lebih baik," ucap Fariq,  ia melihat Aca menggeser duduknya. "Maafkan aku yang sudah melibatkanmu dalam urusanku, bagaimanapun kau atasanku,  maafkan aku Riq," ucap Aca pelan dan mengusap sisa air matanya. Tak lama sepupu Fariq masuk dan meletakkan makanan dan minuman di meja. Tersenyum pada Aca dan menatap Fariq dengan pandangan curiga. Fariq mengusir sepupunya dengan menaikkan alisnya. "Kamu ngomong apa Ca, nggak masalah karena kita di luar jam kantor, kalau di kantor kayak tadi ya nggak enak, sudahlah jangan semua kamu pikir, sekarang yang perlu kamu pikirkan adalah hatimu,  buang jauh-jauh semua kenangan tentang laki-laki yang sudah mencampakkanmu, menghina keluargamu, dia memintamu baik-baik,  namun saat meninggalkanmu dia hilang begitu saja, apa perlu kau tangisi dan kau ratapi sampai matamu bengkak seperti itu?" suara Fariq menyimpan kemarahan. Fariq meraih tangan Aca, menatap wajah letihnya yang masih tampak cantik meski dengan hidung kemerahan karena terlalu lama menangis. "Hilangkan dia dari pikiranmu, aku akan membantumu Ca,  aku akan selalu di sisimu, seperti yang pernah selalu aku katakan dulu," ujar Fariq menatap Aca yang masih tampak bingung. "Minumlah,  ini cokelat hangat, dan makanlah roti bakar ini, aku suapi ya,  keju kok isinya Ca, kesukaanmu kan?" Fariq mulai memotong dan mendekatkan ke mulut Aca, Aca meraih garpu dari tangan Fariq dan memasukkan potongan roti ke mulutnya. "Makasih sudah menemaniku di saat-saat berat Riq,  maafkan aku yang menyita waktumu, aku janji nggak akan lagi Riq," suara Aca lebih menyerupai bisikan. "Caaa kamu selalu begitu, aku selalu mau kamu repoti, sejak dulu sampai sekarang," ujar Fariq dan Aca menggeleng. "Riq kamu sadar nggak sih, kamu siapa dan aku siapa itu yang nggak pernah kamu sadari sejak dulu," ujar Aca lelah. "Lalu kenapa,  mamaku selalu menyambutmu dengan baik sejak kita sma kan, dia malah menyukaimu,  menyukai ibumu saat mama pernah ke rumahmu, yang meski kecil namun bikin mama betah di sana,  lalu apa masalahnya?" tanya Fariq putus asa. "Sudahlah Riq,  aku lelah, kita pulang yuk," ajak Aca dan Fariq mengangguk, meneguk cokelat hangatnya dan berdiri setelah meraih kunci mobilnya, menoleh pada Aca yang masih saja duduk,  lalu meraih tangan Aca mengajaknya berdiri. **** Fariq melangkah cepat ke dalam ruang kerjanya, ingin rasanya melihat Aca di ruangannya namun ia menjaga agar jangan sampai terlalu mencolok pada karyawan yang lain. Pagi-pagi sekali Aca mengiriminya pesan singkat yang mengatakan bahwa ia tidak perlu dijemput karena berangkat pagi sekali ke kantor. Tenti bergegas menemui Fariq saat ia ditelpon oleh bosnya itu. "Bapak memanggil saya? " senyum manis di pagi hari Tenti persembahkan khusus untuk Fariq. "Yah, pangilkan Bu Anataya ke sini,  ada pekerjannya yang belum ia selesaikan, cepat," ujar Fariq lebih menyerupai hardikan. Seketika senyum Tenti hilang,  sepagi ini bosnya sudah menyuruh memanggil accounting manajer yang jarang tersenyum itu. "Hmmm heran semalam sudah pulang bareng eh ini masih mau ketemuan lagi," gumam Tenti, ia melangkah ke ruangan Aca yang tak jauh dari ruangan bosnya. "Ibu, dipanggil Pak Fariq," ujar Tenti berusaha ramah. "Hmmmm," sahut Aca tanpa melihat Tenti, Tenti ke luar dari ruangan Aca dan mendengus kesal karena ia merasa diacuhkan. Aca meraih ponselnya dan menelpon Fariq. Maaf pak saya sedang banyak pekerjaan,  nanti jika sudah selesai saya akan menemui bapak Aca menutup sambungan ponselnya sebelum Fariq sempat menjawab. Anak buah Aca agak kaget dengan suara Aca yang terdengar datar dan ekspresi Aca pagi ini yang terlihat menakutkan. Mata sembabnya tidak dapat ia sembunyikan. Juga lelah diwajahnya terlihat jelas. Sekitar jam dua belas siang tiba-tiba pintu ruangan Aca terbuka dan muncul wajah Fariq yang menakutkan,  semuanya kaget karena tidak biasanya bos mereka masuk ke ruangan itu. Mata Aca masih tekun menatap layar komputer, tanpa terganggu dengan kedatangan Fariq. "Bu Anataya, haruskah saya ke ruangan ini untuk menjemput ibu,  karena sejak pagi saya menunggu ibu  untuk mendiskusikan sistem laporan keuangan terbaru?" Aca menatap wajah bosnya, terlihat kemarahan di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD