Mimpi Anuan

1092 Words
DUA “Jelita! Jelita!” dara itu sekuat tenaga berusaha lepas dariku. Aku tak ingin dia begitu, aku bersikeras menahannya agar tak pergi di malam pengantin yang syahdu itu. “Jelita!!” teriakku panik. “Jelitaaaaaa!!!!!” suaraku makin kuat. “Jelitaaaaaaaa!!!” “Heh!! Jelita-jelita gundulmu! Bangun! Madang dulu madang! Heh!” sekilas suara Jelita berubah jadi aneh, mirip suara wanita tua yang aku panggil Mak kost. “Jelita?” rintihku. “Heh! Gabrian! m***m! Bangun luh!” bentaknya seraya memukul kepalaku dengan centong sayur. Aku gelagapan bak tercebur dalam parit yang dalam. “Lho, Mak kost! Jelita mana?” “Jelita- Jelito! Bangun luh! Emang enggak kuliah?!” omelnya. “Kuliah Mak, tapi jelita mana?” “Au ah! Makanya jangan jomblo mulu biar jangan mimpi anuan mulu saban hari luh Gab!” “Jelita aku mana???” Aku menendang-nendang selimut dan bantal guling di atas tempat tidur dengan sprei bergambar angsa putih itu. “Ini juga? Apa-apaan nih? Kemana kelopak bunga mawarnya?” “Wah sarap ini bocah atu! Au ah! Nanti ikan asin gue gosong!” “Aduh, Jelita..” Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Jadi, Cuma mimpi? Fuh.. ya Allah seenggaknya walaupun Cuma mimpi, tunggu nyoblos dulu kek! Huwaaaaaaa!! Arghhh!!!” aku jadi teramat kesal kenapa aku sial sekali, punya mimpi indah aja enggak bisa! Semuanya gara-gara Mak kost si kodok bantet itu! Aku beranjak bangun. Kepalaku pening, aku termasuk laki-laki yang tak gemar begadang, kalau tak artinya. Kecuali, saat deadline dari tugas Dosen killer datang esok harinya, maka aku akan menjadikan diriku b***k cinta mata kuliah, sepanjang malam terbuai dan b******u dengan lembaran kertas sampai pagi datang. Tapi tadi, aku pasti terlelap saat ayam mulai berkokok. Hanya tidur sebentar membuatku pusing bukan main. Aku duduk di meja bersama dua orang mahasiswa lainnya yang tinggal di rumah kost “Jejaka”. Mak kost tak ingin ada mahasiswi dan mahasiswa berbaur dalam satu wadah. Karena, biasanya mereka bisa saling aduk dan menjadi adonan martabak telur. Di tempat ini hanya jejaka lapuk, yang setiap harinya sibuk dengan hal tak jelas dan menyulap tempat ini menjadi markas pembuatan catatan kaki, yang benar-benar di taroh dibawah kaki di dalam sepatu guna menunjang keberhasilan Ujian Akhir Semester. Tentu saja, kami berdalih bahwa itu adalah suatu upaya demi masa depan yang cerah. Well, tidak ada salahnya kan berusaha? Namanya juga generasi cerdas, harus berwawasan luas, terutama dalam hal begituan. Nyontek maksudnya! Setelah usai memanjakan lidah dengan kudapan lezat hasil kreasi mak kost, dan berbincang panjang lebar dengan rekan sejawat aku kembali ke kamar dan terlelap begitu saja karena rasa nyaman di perut yang sudah terisi. Satu-satunya nikmat yang mungkin tak akan pernah bisa didustai siapapun, adalah ngantuk di saat kenyang. Kemudian tertidur pulas. Mengabaikan jam kuliah siang ini. * Sore harinya kudapati ponsel itu berdering, kulihat ID pemanggil. Itu nomor pria paling kejam di dunia ini, menceraikan Mami hanya karena Mami tak mau berhenti merokok. Memangnya apa salahnya merokok. Papi selalu berkata padaku bahwa seumur hidup itu sangatlah lama, dan beliau tak akan tahan hidup bersama Mami seumur hidupnya. Padahal dia sendiri perokok berat. Sungguh dunia dan isinya memang tak berhenti disalahgunakan oleh manusia macam Papi itu. Hey, kenapa baru sekarang Papi ceraikan Mami. Saat Mami sudah memiliki flek hitam di wajah dan kantong mata serta keriput di dahinya. Tapi, ah sudahlah. Baik Papi atau manusia manapun di dunia ini sama sekali tak ada yang butuh pendapatku. Sama sekali tak ada! Aku sejujurnya malas bicara dengan manusia yang setiap bulan memberiku uang saku dan membayar biaya kuliah itu. Tapi, ponsel itu terus saja berdering membuatku pusing. Apa boleh buat, aku terima saja. “Halo!” seruku ketus. “Gab, nanti malem Papi mau ajak kamu makan malam. Di restoran sunda dekat kampus kamu,” Suara Papi terdengar serius, seperti biasanya. “Males ah, Pi,” tolakku dengan frontal. “Papi mau sampaikan hal penting ke kamu!” “Lewat telepon aja kan bisa!” “Enggak bisa! Harus ketemuan!” “Arghh..” erangku. “Nanti uang saku bulan depan Papi tambahin dua kali lipat,” “Wah, seriusan?” aku mulai tertarik. “Papi enggak pernah bercanda ya!” jawab Papi di sebrang sana. Lambang dollar langsung menutupi sel-sel retina mataku. Wanginya saja sudah menari-nari di lubang hidungku yang ekstra bangir ini. “Oke deh, aku usahain, jam berapa?” katakku dengan nada yang sama, yang tak ingin terlihat tergiur dengan kata dua kali lipat. “Satu jam lagi Papi sampai sana,” Lalu, Papi menyudahi panggilan teleponya, khawatir kalau harus mengeluarkan kalimat ‘tiga kali lipat’. Aku melempar ponsel ke atas tempat tidur bersprei gambar angsa putih, membuka kemeja dan segera mandi karena rayuan dollar yang menggelayut manja di pelupuk mata sambil berisul nada sumbang. Pas banget deh, jam makan malem ya kan! Sekalian deh nanti bungkus makanan resto buat para manusia tak berguna yang ngekost di sini. * “Gabrian!” Papi melambai dari meja di sudut ruangan restoran itu. Dengan semangat kuhampiri Papi dan duduk di depannya. “Mau pesen apa, belum makan kan?” Aku menggeleng dan membalik-balik buku menu. “Apa ya yang enak? Hem..” gumamku seorang diri. Seorang wanita beraroma harum menghampiri meja kami. Ah, dia pasti pramusaji di restoran ini, tanpa menoleh aku ajak bicara pramusaji itu. “Sebentar mbak, saya tinggal milih minumannya saja.” katakku, seraya memilah minuman yang mungkin pas dengan menu makanan yang telah dipilih. Wanita itu tak menjawab. Alih-alih menunggu aku selesai memilih menu, dia jutsru duduk di samping Papi. Aku bisa melihat dari sudut mata ini. Saat mengalihkan pandangan dari buku menu itu. Aku terlonjak, ada sensasi kejut yang hampir membuat jantung meledak. Juga bunyi berdebam keras yang terdengar jauh dari dalam d**a. Wanita yang duduk di samping Papi itu kembali mengoyak pertahananku. “Jelita!” Kataku sumringah, aku hampir membalik meja dan berlari berkeliling restoran, layaknya pemain sepak bola yang tengah melakukan selebrasi setelah mencetak gol. Aku langsung memeriksa penampakan diriku sendiri. Melihat celana jeans yang sudah tiga hari ku pakai dan jaket berwarna hijau, milik temanku yang bekerja sambilan sebagai ojek online. Dan sangat sempurna dengan sandal jepit bekas tercebur got depan kostan. ‘Habislah aku,’ batinku meronta-ronta. Baru kali ini aku benci diriku yang terlalu cuek dengan penampilan, membuat pesona dan ketampananku tertutup rapat dari dunia luar. Papi lalu meraih pinggang jelita yang duduk di sampingnya. Jelita menatap wajah Papi dan tersenyum kecil. Argh senyum manis itu membuatku tak bisa untuk tidak melototinya. “Sudah ke toiletnya?” tanya Papi dengan nada sungguh manis. Jelita mengangguk kecil. “Nah, Gabrian, kenalin ini Jelita Anggi Asmoro,” Terulas senyum di bibir Papi yang menghitam karena nikotin saat memperkenalkan dara cantik itu padakku. Aku seperti mengantongi ribuan kilo bubuk mesiu dan mereka kini benar-benar mekedak meletup-letup di seluruh tubuhku. Ternyata Papi memintaku datang untuk kencan buta dengan Jelita. Kalau tahu akan begini, pasti aku sudah pakai outfit terbaik aku agar kesan pertama dia terhadapku membuatnya jatuh cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD