bc

Mencintai Ibu Tiri

book_age18+
1.2K
FOLLOW
9.6K
READ
drama
comedy
twisted
sweet
heavy
serious
like
intro-logo
Blurb

Tian nampak gugup sekali, tak henti melihat ke arah pintu menunggu kemunculan Jamima. Dia cemas kalau-kalau Jamima berubah pikiran.

Gabrian menepuk paha Tian yang duduk bersila di sebelahnya.

"Muka lo kenapa? Kayaknya tertekan banget?"

"Eum, enggak apa-apa."

"Enggak usah takut ditolak! Bapak dan Ibunya Jamima kan udah tahu kaya apa elo, cowok baik-baik dan sayang terus peduli sama mereka. Jadi, apa yang perlu dicemaskan?"

"Gue enggak cemas soal itu!"

"Lho, terus soal apa?"

"Soal malam pertama? Yaelah! Masih lama, baru juga tunangan! Lagian, soal begituan gue pakarnya! Gampang nanti gue ajarin!" Bisik Gabrian dengan konyol.

"Idih! Bukan soal itu! Gue udah belajar sendiri."

"Ha? Elo seriusan belajar gituan? Hahahaha.. Sialan gue ngakak banget!"

"Sssttt!" Ferdy ingin mereka diam jangan terus bicara yang tidak-tidak.

Tian melirik Gabrian dan memasang muka cengengesan.

"Terus apa yang bikin elo cemas?" Tanya Gabrian.

"Eum, gue ngeri Jamima berubah pikiran terus nolak gue."

"Lha, bisa-bisanya mikir begitu?"

"Iya kan ini kampung halaman dia, gimana kalau tiba-tiba ada cowok datang terus ternyata dia cinta pertama Jamima. Terus akhirnya pertunangan gue batal."

"Wkwkwk dasar otak udang! Kalau kemungkinan kaya gitu jangankan baru tunangan, yang udah nikah juga banyak! Makanya, elo sebagai cowok harus bisa kasih perhatian lebih ke Jamima. Biar dia enggak berpaling selamanya!"

"Nah, kalau yang ini boleh deh.. elo ajarin gue!" Bisik Tian.

"Nah, justru itu masalahnya. Kalau soal ini gue juga enggak paham.. Gkgkgkkggk!!"

chap-preview
Free preview
Baris Dawai
SATU Semerbak harum udara yang berbalut gurat jingga sang senja, membuat setiap insan menikmati suasana sore itu, aku memangku kekasih setia dengan enam baris dawai yang melekat pada tubuh indahnya, aku memetik satu persatu dawai merdunya. Suara petikan mengalun di setiap kesempatan yang kami punya. Di saat syahdu dengan semilir angin ini, kali pertama aku menjumpai pemilik senyum mempesona dengan kecantikan tanpa celah. Jelita, yang menghunuskan belati berlumuran racun cinta jauh ke dalam relung hatiku. Dara itu berhasil membuatku yang tengah gamang ini mendapat sengatan cinta yang mendadak seolah membuat denyut nadiku kembali. Gadis berjilbab anggun itu tak sengaja melemparkan sebuah botol air mineral ke arahku yang duduk di sisi tempat sampah. Dia lalu bergegas menghampiri saat mendengar suara yang mengaduh. “Ya Allah, maafkan Jelita, Mas,” ucapnya dengan suara bagai percikan air aquarium milik Ibu kost. Begitu lembut dan menentramkan hati yang sedang kalut karena semalam kabar perceraian kedua orang tuaku mendarat dengan sempurna pada gendang telinga. Ah, silahkan sebut aku lebay atau terkena Hiperbola sindrome! Yang jelas pertemuan hari ini rasanya ingin aku rayakan sepuluh hari sepuluh malam mengundang personel debus, dangdut, qasidah, gambus dan reog untuk tampil di acara itu. Aku mengusap kepala yang sama sekali tak sakit, hanya sekedar terkejut tadi. Biarlah kepala ini terkena lemparan botol bekas sehari tiga kali asal sebanyak itu pula aku bisa bertemu dengannya. “Maafkan Jelita, ya Mas,” katanya lagi dengan raut wajah bersalah. Dia menyebut nama Jelita sebanyak dua kali. Ah, jadi itu namanya. Je-li-ta.. “Oh iya, aku engga apa-apa Mbak,” jawabku, dengan mata membulat lebar menatap keajaiban dunia yang terbentang di depanku. Peluh yang tiba-tiba menyapa tubuh lusuhku aku seka dengan lengan kemeja kotak-kotak biru yang kini aku kenakkan. “Beneran Mas?” “Be-beneran, kok,” Terasa ada yang meleleh dari sudut bibir, saliva yang mengacaukan suasana langka nan sakral ini. Cepat-cepat aku meraih kerah kemeja dan menempelkannya pada sudut bibir yang basah. Gadis yang menyebut dirinya Jelita itu, tertawa kecil dengan malu-malu seraya menutup mulut. “Eh, kok malah ketawa,” katakku tersipu malu. Ada hal tak biasa yang terasa berdesir menjalar ke seluruh tubuh. Ketawanya itu.. Argh rupanya inilah level High Definition yang sesungguhnya. “Ya sudah, kalo Mas tidak apa-apa, Jelita permisi,” Gadis itu pamit pergi dari hadapanku. Mulutku mendadak kelu, rasanya ingin sekali memberitahunya tentang sebuah baris yang tertulis di akte kelahiran, namun tak ada apapun yang keluar dari bibir ini. Aku hanya mengangguk lalu menaikan sebelah tangan dan menggerakannya bersama senyum bodoh di wajah ini. Dara berwajah cantik itu tersenyum tipis dan menganggukan kepala. Aku berdiri memandangi punggung dan pinggangnya yang terlihat ramping dari sudut pandang tempat ini. MasyaAllah, keajaiban dunia yang terakhir itu ternyata dia! “Menolehlah Jelita,” lirihku, yang disertai harapan kecil yang membuncah dalam benak. Setelah lebih jauh, Jelita menghentikan langkahnya sejenak dan seperti mendengar jiwaku yang merintih karena tertusuk panah cinta pada pandangan pertama, dia menoleh ke arahku. “Astagfirllah, kuat Brian, kuat!!” Aku merinding. Dapat terlihat binar di matanya. Jelita tersenyum dengan sangat menawan dan kembali melangkahkan kaki dengan anggun, berjalan pergi meninggalkan aku yang sedang menyusun nama Jelita di alam bawah sadar. d**a ini dipenuhi oleh gelombang yang getarannya bahkan menjalar keseluruh tubuh. Dan tanpa kudasari, ada yang berdiri tegak tapi bukan tiang bendera. Namun, dengan cepat melepaskan diri dari perangkap iblis itu. Benda yang belum pernah terpakai itu selalu saja menjadi lelucon di kalangan mahasiswa yang tinggal bersamaku. Yah, dewasa ini.. laki-laki dewasa yang masih perjaka itu seperti sebuah lelucon. Berusaha tetap suci seperti tak ada artinya, free s*x sepertinya sudah menjadi rahasia publik. Negara memang tidak akan melegalkan itu, tapi sepertinya racun busuk itu sudah terlanjut menjalar dan menjadi makanan sehari-hari para kaum muda, meski tidak semua begitu. Contohnya ya aku ini, aku masih perjaka! Tak ingin kehilangan kesempatan, aku memutuskan untuk mengejar langkah Jelita dan mengajaknya bicara lebih jauh, paling tidak bisa bertanya tentang akun instagramnya. Atau kalau bisa sih sekalian nomor handphone bapaknya. Mau ngelamar. Aku berusaha berjalan cepat ke arah hilangnya sosok indah itu. Dan sayangnya, disana tak terlihat sosok bak berlian indah yang wajahnya kini sudah tersimpan di relung hati dan terkunci permanen, aku benar-benar kehilangan jejaknya. Aku memegang kening, geram pada diri sendiri, yang begitu saja melewatkan waktu yang mungkin akan sangat berharga dalam hidup. “Ah, mana ya mbaknya itu? Tadi kayaknya ke arah sini deh!” gumamku putus asa. * Aku berjalan pulang dengan langkah malas, merebahkan diriku tanpa berniat untuk mandi atau sekedar membasuh wajah. Kini, hanya bisa berharap pada hadirnya serbu-serbuk tidur, yang mampu membenamkan angan ini, dalam mimpi indah dengan dara yang kutemui tadi. Jutaan ton pemberat mata yang kerap kali hadir dimanapun kutempelkan kepala, malam ini sama sekali tak tersisa sedikitpun. Aku tetap terjaga, hingga ayam bernyanyi menyuarakan cintanya akan pagi, yang mengawali kisah sang surya hari ini. * “Bagaimana Sah?” tanya bapak penghulu. “Sah!!” sahut hadirin yang duduk teratur di kursi yang tersedia di ruangan itu. Aku dapat mendengar isakan tangis Mami dari belakang punggung ini. Beliau pasti terharu karena bujangnya kini sudah dewasa dan siap mengarungi bahtera rumah tangga bersama si cantik Je-li-ta. Aku menoleh ke dara yang kini menjadi istriku itu, dia nampak anggun dengan balutan kebaya putih mutiara. Bibirnya yang ranum dan merekah mengulas senyum malu-malu. Dia meraih tanganku dan mengecup punggung tanganku dengan takzim. Tak disangka, cinta pertama botol bekasku ini menjadi istriku sekarang. Aku berharap semua tamu undangan cepat enyah agar tersisa aku dan jelita, berdua saja. Di kamar redup dengan seprai bertabur kelopak bunga mawar yang harumnya membuat asmara semakin bergelora. Kulihat Papi tengah merokok sambil berbaur dengan para tamu, dia dan nikotin-nya memang tak bisa dipisahkan. Seperti aku dan Jelita yang sudah menjadi “Kita”. Aku sudah tak sabar ingin merengkuh tubuh indahnya. Aku menyeretnya masuk ke rumah, terus berjalan membawa jelita ke kamar pengantin. Aku tak menggubris seruan Mami, orang tua Jelita dan yang lain. Mereka heran kenapa kami meninggalkan pelaminan saat banyak tamu undangan yang hadir hendak mengucapkan selamat pada kami. Aku sungguh tak peduli, aku membawa Jelita masuk dan mengunci kamar pengantin. Melepaskan semua pakaianku, dan meraih tangan indah Jelita kemudian mengecupnya dengan penuh cinta. Jelita tersenyum malu, tersipu sehingga pipinya semakin merah. Jari-jari kurus nan lentik itu kini dalam genggaman tanganku. Aku mengecupnya sekali lagi, tapi kemudian jelita menarik tangannya, aku menahannya dengan sekuat tenaga. Jelita melakukan hal yang sama, dia menarik tangannya seolah tak bersedia untuk aku kecup. Dan samar-samar tercium bau ikan asin di cuping hidungku. “Jelita! Jelita!” dara itu sekuat tenaga berusaha lepas dariku. Aku tak ingin dia begitu, aku bersikeras menahannya agar tak pergi di malam pengantin yang syahdu itu. “Jelita!!” teriakku panik.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook