Audrey - 2

1192 Words
Audrey tengah mondar-mandir di kamar yang kini ditempatinya. Malvino membawanya ke sebuah apartemen mewah yang dilengkapi berbagai fasilitas yang lebih dari kata memadai. Apartemen yang diyakininya adalah milik Malvino itu cukup berhasil membuat Audrey berdecak kagum dalam diam. Kemewahan dan sisi elegannya sangat kentara menonjol ke permukaan. Dan kini, Audrey sedang dirundung rasa cemas yang berlebihan. Beberapa menit yang lalu, dia sudah membersihkan diri dan menukar pakaiannya dengan daster tidur selutut tanpa lengan yang entah bagaimana caranya bisa ada di dalam lemari kamar tersebut. Audrey mengira, mungkin saja daster putih yang terasa lembut dan halus di badannya itu adalah salah satu pakaian wanita yang pernah diajak Malvino juga ke apartemen mewahnya. Bisa saja itu terjadi bukan? Mengingat Malvino sepertinya merupakan tipikal lelaki yang suka bergonta-ganti wanita. Dengan wajah tampan bak dewa yunani ditambah lagi harta yang bergelimang, rasanya tidak akan sulit bagi dia untuk mendapatkan wanita seperti apapun yang ia mau. Bahkan Audrey saja sudah dibeli dengan harga luar biasa fantastis. 1,5 milyar!!! "Aku harus mencari cara agar aku terbebas dari lelaki mengerikan itu! Dia terlalu berbahaya, tatapannya selalu bisa membuatku terintimidasi...." gumamnya menggigiti ujung kukunya yang lentik. Langkahnya masih mondar-mandir resah. Sungguh! Audrey hanya ingin terbebas dari jeratan yang akan membuatnya semakin tersiksa. Tapi, apa bisa dia melepaskan diri? Masalahnya, Malvino sudah membelinya. Dan jika Audrey diminta untuk mengganti uang itu sebagai syarat dia terbebas, dia rasa itu sangat mustahil untuk disanggupinya. Jangankan 1,5 milyar. Sepeser pun ia tak punya. Ia melarikan diri dari rumah bordir itu hanya membawa pakaian yang dipakainya saja. Tidak ada waktu untuk berkemas, karena kesempatan yang ia miliki saat itu sangatlah langka dan terbatas. "Ya Tuhan! Kumohon, beri aku jalan keluar...." bisik Audrey berharap. Di tengah kecemasannya yang masih betah menyarang, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar. Membuat Audrey terlonjak kaget, hingga seketika ia refleks melemparkan pandangannya ke arah pintu. Dia menahan napas spontan tatkala mendapati Malvino kini tengah berdiri di ambang pintu. Pakaiannya sudah berganti, lebih santai dari setelan kerja yang ia kenakan saat membawa Audrey dari pria tua tadi. "Kau lapar?" tanya Malvino menatap datar. Audrey menelan ludah yang mendadak kesat. Tidak dapat dipungkiri, lelaki itu sangat mempesona. Wajah tampannya semakin memukau jika dilihat dalam keadaan lampu terang benderang yang menyinari kamar tersebut. "Ada apa? Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Malvino mengernyit, lantas kakinya mulai bergerak melangkah dari posisinya. Dia berjalan santai dengan tangan yang ia masukkan ke saku celana selututnya. Menyadari Malvino akan mendekati, Audrey pun refleks mengambil langkah mundur. Meskipun dia sudah beberapa kali dihadapkan dengan para pria yang akan menikmati tubuhnya, tapi untuk saat ini Audrey merasa Malvino terlalu berbahaya. Suasananya terasa berbeda. Malvino bukan lelaki sembarangan seperti kebanyakan lelaki yang ditemuinya selama ini. Malvino--terlalu sulit Audrey menjabarkan tentang lelaki hampir sempurna itu! "Kenapa kau mundur? Aku tidak akan menerkammu sekarang, Nona...." Malvino menggantungkan kalimatnya, menatap Audrey dengan sorot 'Siapa namamu?' Ya. Malvino memang belum sempat menanyakan nama gadis yang sudah dibelinya. Pria tua tadi hanya selalu menyebutnya dengan sebutan jalang tanpa memberitahukan namanya. Dia terlalu fokus pada persetujuan si pria tua pecinta harta itu ketika rela menyerahkan sang gadis kepadanya demi mendapatkan nominal uang yang cukup melimpah ruah bagi pria mata duitan sepertinya. Sehingga Malvino melupakan hal penting yang belum diketahuinya. Sebuah nama. Apalah arti sebuah nama jika pepatah mengatakan. Tapi bagi Malvino, nama itu teramat penting. Dia tidak akan pernah bisa nyaman memanggil seseorang jika tak mengetahui namanya. Meskipun ada kata pengganti sejenis panggilan nona atau tuan dan sebagainya, tapi tetap saja nama itu merupakan identitas penting yang harus dimiliki setiap orang. Seolah dapat menangkap arti dari sorot tatapan Malvino, Audrey pun menggumamkan namanya dengan sangat pelan. Seakan-akan jika dia menyebut namanya sendiri dalam intonasi yang normal, dia akan langsung diserang Malvino detik itu juga. "Siapa? Aku tidak mendengarnya. Suaramu terlalu pelan," protes Malvino tidak puas. Audrey merutuk kesal dalam hati. Dia mengangkat wajah dan bertatapan langsung dengan sepasang iris hijau berkilauan yang tengah menyorot tajam. Jarak Malvino memang terpisah beberapa langkah dari dirinya, namun tatapan yang dilayangkan lelaki itu mampu membuat Audrey cemas kalau-kalau hanya dengan sorot tajamnya yang kuat itu bisa membuat kepala Audrey terbelah menjadi dua bagian. "Namaku Audrey, Audrey Wilson...." ucap Audrey sedikit menaikkan nada suaranya. Senyuman puas tercetak di bibir Malvino. Sebenarnya, dengan suara pelan tadi pun Malvino sudah dapat mendengarnya. Hanya saja, Malvino ingin lebih jelas lagi mendengar suara indah yang dikeluarkan sang gadis. Baginya, suara Audrey terasa seperti alunan melodi yang merdu di telinganya. Menyejukkan hati dan memunculkan gairah terpendam yang sejak tadi merongrongnya. "Baiklah Nona Audrey, kalau begitu ... aku tunggu kau di meja makan," ucap Malvino menginfokan. Lalu, ia bersiap untuk melenggang pergi meninggalkan si gadis yang dipikir akan segera menyusulnya. Namun baru saja Malvino berjalan satu langkah, Audrey justru sudah menyuarakan penolakannya. "Aku tidak lapar!" utaranya lantang. Menyebabkan Malvino kembali berbalik menghadap sang gadis. "Benarkah?" alis tebalnya terangkat naik. Audrey tak menjawab. Dia tidak sudi jika harus makan bersama Malvino. Bukan apa-apa, Audrey hanya tidak mau saja lelaki itu merasa bangga karena kemauannya dituruti. Tidak! Audrey tidak akan membiarkan lelaki itu berada di atas angin. Apalagi setelah menghancurkan harga dirinya dengan cara membelinya. Dia pikir Audrey itu apa? Barang loak antik yang bisa ditebus dengan sejumlah uang? Cih! Audrey benar-benar merasa dihina berkali-kali lipat. Malvino melangkah kembali, mendekati Audrey yang menatapnya berani seperti sekarang. Dagunya terangkat angkuh, iris ambernya yang indah dan menyala terang tampak menyiratkan aura menantang terhadap lelaki bertubuh jangkung itu. "Kau tidak akan menyesal dengan penolakanmu?" suara Malvino terdengar rendah sekaligus mengancam. Tenggorokan Audrey mendadak kesat. Ditambah dengan keberadaan Malvino yang sudah berdiri sangat dekat di hadapannya. Tembok kokoh itu sudah membuat langkah mundur Audrey terhenti. Dan sekarang, gadis itu tengah terjebak di antara tembok juga tubuh tinggi Malvino yang sudah menumpukan satu tangannya di salah satu sisi kepala Audrey. "Apa kau tidak akan menyesal jika perutmu dibiarkan kelaparan? Sementara kau sangat tahu, malam ini ... kita akan berdesah bersama menghabiskan tenaga hingga pagi menjelang." Audrey membelalak spontan ketika kalimat vulgar itu terlontar santai dari mulut Malvino. Berdesah bersama? Dia pikir, aku mau? batin Audrey mendecih. "Setidaknya, kau makan sesuatu Nona Audrey. Agar staminamu sedikit terjaga saat kita bercinta nanti," ujar Malvino menyarankan, kepalanya memiring ke kanan mengamati reaksi yang muncul dari paras cantik Audrey. "Kau pikir aku mau b*rcinta denganmu?" sahut Audrey menyalang. Kali ini, apa yang sejak tadi ditahannya tidak dapat ia tahan-tahan lagi. "Tentu saja. Aku membayarmu agar kau memuaskanku di atas ranjang." "Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu saja, Tuan Jackson yang terhormat," desis Audrey penuh penekanan. "Benarkah?" kerling Malvino jenaka, "Baiklah, mungkin kau benar. Itu akan terjadi hanya dalam mimpi saja," desah Malvino menyayangkan, tangannya yang bertumpu di tembok ia turunkan segera. Membuat Audrey sedikit lega karena dirinya sudah tidak lagi berada dalam posisi terkunci. Namun di saat Audrey berpikir Malvino akan meninggalkannya, justru yang terjadi di detik berikutnya adalah. "Kyaaaa," jerit Audrey terpekik. Tubuhnya sudah berada dalam gendongan Malvino sekarang. Lelaki itu menyeringai, dia menatap Audrey sangat b*******h. Menelusuri seluruh bagian tubuh Audrey yang masih terbungkus daster tidur dengan tatapan yang seakan menelanjangi gadis itu. "Tak lama lagi, mimpi yang kau sebutkan itu akan menjadi kenyataan yang indah bagi kita berdua, Nona Wilson...." ucap Malvino mengedipkan sebelah matanya nakal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD