Prolog
Jacksonville, Florida (March, 2003)
Kau tahu rasanya menjadi seseorang yang aneh karena takut disentuh orang lain? Pernahkah kau merasa dirimu tak berguna di dunia ini dan merasa seperti gadis yang begitu menjijikan seperti sampah? Jika ya, mungkin saja kita sama atau mungkin tidak. Tapi, aku yakin setiap kali mereka berusaha peduli padaku, pada kenyataannya mereka hanya berpura-pura melakukannya. Setiap kucoba melihat mata mereka, yang kutahu tatapan itu seolah sedang memandang jijik padaku. Belum lagi ketika mendengar setiap perkataan yang mereka bisikkan tentang diriku. Bahwa aku adalah gadis gila yang aneh.
Jika anak gadis lain tumbuh dengan kenangan indah bersama keluarganya, namun tidak dengan diriku. Bayangan wajah dan sentuhan pria itu membuatku tidak bisa memejamkan kedua mata walau hanya sedetik. Suaranya bagai terror di kedua telinga yang senantiasa menggema hingga membuatku ingin mengakhiri hidup. Aku marah, sedih, dan kecewa. Ke mana ayahku? Ke mana dia pergi? Kenapa dia tidak menolongku saat pria itu menyentuhku? Bahkan ... kenapa juga ibuku menikahi pria itu?
Semua ini membuatku memiliki prinsip hidup bahwa tidak ada yang dapat dipercayai di dunia. Bahkan kadang aku bertanya, apakah Tuhan sedang mempermainkan diriku? Lalu kenapa harus dengan jalan seperti ini? Tidak adakah cara lain? Tuhan, jika Engkau membenciku harusnya kau ambil nyawaku bukan menyiksaku seperti ini.
“Eliza....” Suara seorang wanita terdengar diiringi derap langkahnya mendekatiku di sudut kanan ruangan yang bercat putih yang telah menjadi kamarku selama beberapa bulan ini. Kuintip sosok yang berbalut celana berwarna hitam dengan sepatu berwarna senada yang sedikit mengkilat kini duduk berjongkok di depanku. Dia adalah dokter Maragertha, Aku semakin mempererat pelukan di kedua lutut untuk menyembunyikan wajah dari dirinya.
“Apa kabar?” tanya suara itu dengan lembut.
Memilih tuk membisu karena takut untuk menjawabnya, meski dalam hati ingin sekali berkata bahwa aku masih tidak baik-baik saja. Sebagian lain dari dalam diriku mengatakan jangan percaya pada siapapun kecuali Ibu dan Tuhan. Namun beberapa detik kemudian, suara pria itu kembali menggema begitu keras hingga telinga berdenging membuatku menutupnya rapat-rapat. Bulu kudukku tiba-tiba meremang merasakan sensasi sentuhan pria itu membuatku berteriak kencang.
“Eliza … Eliza!” teriak dokter Margaretha berusaha menenangkanku ketika aku masih saja berteriak. “Kau masih ingat ‘kan yang kuajari? Singkirkan apa yang tidak nyata bagimu, Nak! Usir dia! Teriak padanya untuk pergi, Eliza.”
Kugelengkan kepala seolah otakku tidak bisa mencerna apa yang dikatakan oleh dokter berkulit pucat itu. Aku berteriak semakin kencang sambil melepaskan diri dari pelukan dokter Margaretha ketika kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Tiba-tiba ada rasa aneh yang bergejolak dalam perut hingga muncul biji-biji keringat dingin di sekujur tubuh. Berusaha melepaskan diri ketika suara dan sentuhan itu semakin menjadi-jadi dengan sesuatu yang berusaha merangkak ke kerongkongan.
Hueekkkk!!!!!
Berulang kali aku memuntahkan isi lambung bahkan hanya tersisa cairan asam berwarna kuning yang entah apa namanya. Muntahanku juga mengenai baju dokter Margaretha, aku tidak peduli. Kudorong dirinya hingga hampir terjatuh lalu berlari menuju sudut lain ruangan ini dengan tubuh gemetaran.
Aku gila? Mungkin
Aku aneh? Tentu
Aku meringkuk ketakutan sambil memeluk kedua lutut dengan isak tangis yang belum mereda sambil membaca doa agar suara itu hilang. Jika tidak, biasanya aku akan membenturkan kepalaku ke tembok agar suara itu tidak muncul. Kudengar langkah beberapa orang, aku hanya melirik sekilas karena takut jika pria itu muncul di antara kerumunan.
"Eliza ... sayangku … anakku...."
Itu suara ibu
Peluk dia Eliza, hanya dia yang bisa kau percaya bukan?
Suara itu menyuruhku untuk mendongak mencari sumber suara ibu. Dan benar saja, sosok berambut pendek dengan mata yang sama denganku menatap sedih. Dia menangis, aku pun juga. Ibu maafkan aku yang aneh ini, tapi aku marah padamu karena kau membiarkan pria itu masuk dalam kehidupan kita. Aku kecewa karena kau membuat Geroge―ayahku―pergi tanpa sepengetahuanku.
"Kau pasti bisa sembuh Eliza," katanya sambil mencium puncak kepalaku.