TKOW 01

1984 Words
Lourmarin Perancis- Peter melangkahkan kakinya menapaki jalanan rapi di depannya. Sebuah kawasan yang tidak terlalu padat dan berada di tengah kota bernama kota Lourmarin menjadi pilihannya. Selain, karena kawasannya yang tidak padat, keindahan kota itu juga menarik perhatiannya. Jalanan di kota Lourmarin yang berhiaskan daun Ivy dengan wangi lavender, sangat menarik minatnya. Peter ingin merahasiakan keberadaan dirinya, juga identitasnya di negara yang akan menjadi petualangan selanjutnya itu. Karena sebelumnya, Peter sudah melakukan semua perubahan itu, dan kini tak akan ada lagi yang mengenali dirinya. Peter tersenyum tipis. Pasti saat ini ayahnya Max sedang kesal dan kalang kabut mencari keberadaannya yang seperti hilang begitu saja. Peter hanya ingin memulai semuanya dari awal, dari bagian paling kecil dengan menjadi pria biasa yang tak punya kuasa apa-apa. Hal pertama yang ingin Peter lakukan adalah mencari tempat tinggal. Dan sebuah rumah yang agak kecil menjadi pilihannya. Rumah yang memiliki banyak tetangga berjejer, di samping kanan kirinya. Di depan rumahnya juga hanya dibatasi oleh halaman dan jalan yang juga indah dan asri. Kawasan rumah Peter, berbaur langsung dengan masyarakat sekitarnya. Selain indah, kawasan kota Lourmarin juga terkenal dengan banyaknya kafe dan butik. Peter pun langsung merasa jatuh cinta dan memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, beberapa orang menyapanya dengan ramah dan Peter membalas sapaan itu dengan anggukan dan senyuman ramah pula. “Kota kecil akan selalu memiliki orang-orang yang ramah,” pikirnya Peter membuka pagar kecil rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya. Seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan senyuman. "Selamat datang, Nak." Panggilan lembut wanita paruh baya itu, seketika membuat Peter teringat dengan Rose, ibunya. Meskipun wajah wanita tua itu lebih terkesan seperti neneknya, Madam Alice. Peter lantas tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Terima kasih, Grandma, boleh kupanggil begitu?" tanya Peter dan wanita paruh baya itu mengangguk senang. "Tentu, Nak. Aku akan sangat senang.” "Peter, panggil aku, Peter," jawab Peter dengan ramah. "Dan namaku Jessy. Peter, semoga kau betah di rumahku yang kecil ini. Dan itu rumahku, tepat di samping rumahmu." Nenek Jessy menunjuk rumah bercat putih di samping kiri rumah Peter. Peter mengangguk mengerti, kemudian mengambil kunci yang nenek Jessy berikan. Nenek Jessy pun pergi dan Peter segera membuka pintu rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang. Peter mengedarkan pandangannya. Meskipun agak kecil, rumah itu sangat indah dan tertata rapi. Cat putih yang mendominasi ruangan itu menjadi daya tarik sendiri. Memang di kawasan perumahan itu, rata-rata semua rumah bercat putih. Hanya ada sedikit warna yang menjadi kombinasinya. Peter melangkah mendekati dapur. Dapur miliknya juga tidak terlalu besar. Tapi juga tidak sesak oleh peralatan dapur. Hanya terdapat beberapa peralatan masak juga beberapa peralatan makan. Peter berbalik arah dan melangkah menuju kamarnya. Di rumah barunya, hanya ada dua ruangan kamar saja. Satu akan menjadi kamarnya, dan satu akan Peter gunakan untuk ruangan misteriusnya. Peter memasuki kamarnya dan meletakkan tas yang dibawanya ke atas ranjang, lalu ikut menjatuhkan tubuhnya, melentang di ranjang itu. Dia sangat merasa lelah, penerbangannya dari London ke Paris membuatnya letih. Tapi, masih banyak yang harus dia lakukan. Dia harus membeli beberapa barang yang sangat diperlukannya. Peter melangkah ke kamar mandi. Mandi akan membuat tubuhnya segar dan dia bisa pergi untuk membeli beberapa barang nantinya. Setelah beberapa menit, Peter keluar dari kamar mandi. Dengan kaos hitam juga celana jeans pendek, sudah membuat penampilannya terlihat sempurna ditambah kaca mata hitam yang membingkai wajah tampannya. Peter menghampiri kaca di dekatnya, matanya melirik tajam pantulan dirinya di cermin. Sebuah senyuman tersungging di bibir yang tipis. "Kurasa, aku harus mengubah sedikit penampilanku agar semakin sulit dikenali,” liriknya kemudian mengambil jaket hitamnya. Sneakers berwarna silver menjadi pelengkap penampilannya. Peter menutup pintu rumahnya setelah keluar dari sana. Langkahnya menuju Nenek Jessy yang sedang duduk di taman sambil meminum teh. "Grandma, aku akan keluar sebentar. Mungkin ada sesuatu yang kau perlukan?" tanya Peter sambil memegang pagar kayu yang menjadi pembatas rumahnya dan Nenek Jessy. Nenek Jessy tersenyum sambil menggeleng, "tidak Nak, pergilah. Hubungi aku jika kau tidak tahu jalan pulang, okay?" Peter mengangguk dan tersenyum tipis kemudian pergi. "Tidak mungkin aku tidak tahu jalan pulang, Grandma. Kawasan negara ini sudah tersimpan dalam otakku bahkan semua hal yang berkaitan di dalamnya.... " liriknya. Hal pertama yang Peter lakukan adalah pergi ke toko baju. Peter hanya membeli beberapa buah kaos dan beberapa buah celana pendek saja. Di toko itu, Peter menjadi pusat perhatian. Bukan hanya tampilannya yang memukau tapi juga wajah tampan yang dimilikinya. Bahkan beberapa wanita mengambil fotonya secara diam-diam, dan juga tak jarang meminta nomor ponselnya. Tapi, Peter hanya cuek dan memilih meneruskan kegiatannya. Dia sama sekali tak terpengaruh dengan wanita-wanita yang menggodanya itu. Setelah selesai membeli semuanya, tak lupa Peter membeli cat rambut. Peter ingin mengubah warna rambut cokelat kehitamannya itu. Kasir toko itu hanya mengernyit bingung saat Peter memberikan card untuk membayar barang-barang yang dibelinya. Kartu yang tidak semua orang di dunia memilikinya. Kartu terbatas yang hanya dimiliki para penguasa tinggi saja. "Cepat selesaikan tugasmu!" lirik Peter dingin. Kasir itu pun menggesek card itu cepat dan memberikannya pada Peter kembali. Peter masih meneruskan tujuan selanjutnya. Peter masuk ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan dan minuman untuk beberapa hari ke depan. Saat di London, ibunya begitu memanjakannya. Sehingga diam-diam Peter belajar memasak dari madam Alice saat Rose tidak ada. Peter sudah mempersiapkan semuanya. Mulai dari hal-hal besar sampai hal kecil seperti memasak. Sejak dia memutuskan akan berpetualang ke kota ia menginjakkan kakinya sekarang. Setelah selesai dengan barang belanjaannya, Peter keluar dari toko itu dan mampir di sebuah kedai makanan. Dia ingin mengisi perutnya yang mulai kosong. Di kedai itu pun beberapa pasang mata tak lepas memandanginya dan Peter hanya bersikap tak acuh. Sudah menjadi hal biasa, di semua tempat yang dikunjunginya, dia akan menjadi pusat perhatian, terlebih saat di London, mengingat status ayahnya. "Bungkuskan aku kue," ucapnya pada pelayan kedai itu setelah menghabiskan makanannya. Pelayan itu mengangguk, tak lama pelayan itu pun datang membawa pesanannya. Peter pun keluar dari kedai tersebut. Hal selanjutnya, dia akan membeli sebuah mobil dan sepeda gunung untuk melakukan rutinitas hobinya. Nenek Jessy yang melihat sebuah mobil memasuki pekarangan rumah Peter mengernyit bingung. Kira-kira milik siapa mobil yang memasuki pekarangan Peter? Lalu melihat Peter yang keluar dari mobil itu, membuat Nenek Jessy tersenyum. "Kenapa orang kaya seperti mu mau menempati rumah kecil milikku, Peter?" ledek nenek Jessy saat Peter berada di depannya dengan bungkusan di tangannya. "Jangan salah sangka Grandma. Aku hanya menyewanya. Aku hanya sanggup membeli sepeda gunung itu saja. Dan ini untukmu." Peter menyodorkan bungkusan itu dan di terima Nenek Jessy dengan senyuman. "Aku juga salut. Kau masih ingat jalan pulang Peter. Dan terima kasih banyak untuk kuenya. Kau sangat manis." Mungkin hanya wanita tua itu yang mengatakan jika pria di depannya manis. Nenek Jessy tidak tahu siapa sebenarnya sosok pria yang ada di depannya itu. Tentu saja jika tahu, pasti Nenek Jessy akan di buat serangan jantung. Peter mengangguk dan kembali ke halaman rumahnya. Dia mengeluarkan barang-barang yang tadi di belinya kemudian membawanya ke dalam rumah. "Peter biarkan aku yang melakukannya. Pergilah mandi. Aku akan memasak makan malam untukmu," ucap Nenek Jessy yang sudah berada di belakang Peter. Peter memang sedang memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas dan Nenek Jessy melihat bagaimana terampilnya pria muda itu. "Tidak perlu Grandma. Aku bisa melakukannya sendiri," jawab Peter. Tapi Nenek Jessy tak terima. Lantas dia mengambil sayur yang sedang di pegang Peter. "Sangat menggemaskan tahu, melihat pria setampan dirimu memegang sayur, Peter. Jika saja aku masih muda, pasti aku akan sangat menyukaimu." Nenek Jessy tersenyum sambil meletakkan sayur itu di dalam kulkas. "Kau terlalu memujiku, Grandma. Baiklah aku akan mandi sebentar," liriknya kemudian pergi ke kamarnya. **** Hari sudah malam, Peter dan Nenek Jessy sedang menikmati makan malamnya. "Dari mana asalmu, Peter?" tanya nenek Jessy sambil mengunyah makanannya. "Aku dari London," jawab Peter singkat. Nenek Jessy mengangguk paham. "Peter, karena kau orang baru di sini. Aku akan memberitahumu jika setiap hari akan ada pengantar koran juga s**u ke kawasan ini. Jadi, jangan heran jika setiap pagi akan ada koran ataupun s**u di depan rumahmu," ucap Nenek Jessy dan Peter mengangguk pelan. "Oh iya, Nak, apa hanya penglihatanku yang tidak normal atau memang benar, warna rambutmu sudah berubah. Bukankah rambutmu itu cokelat kehitaman, kenapa saat ini jadi kuning kecokelatan?" tanya nenek Jessy sambil menunjuk rambut Peter. Peter hanya terkekeh, tadi dia memang mengecat rambutnya. "Aku hanya ingin mengubah penampilanku, Grandma," ucap Peter dan nenek Jessy pun mengangguk sambil tersenyum. Peter semakin terlihat tampan dan auranya semakin menunjukkan kepemimpinan besar dalam diri pria itu. "Peter terima kasih untuk makan malamnya, aku juga tidak menyangka kau pandai memasak. Kapan-kapan makan di rumahku, ya?" ucap nenek Jessy setelah menyelesaikan makan malamnya dengan Peter dan Peter hanya mengangguk. Sekarang tinggal Peter di rumah itu sendirian, Peter belum berniat ingin melihat kawasan tempat tinggalnya secara menyeluruh. Sebentar lagi, pasti ada seseorang yang akan menghubunginya. Dan dering ponselnya pun membuat Peter menoleh ke arah ponselnya dan benar nama " Daddy" tertera di sana. "Ya, Dad?" ucapnya setelah mengangkat panggilan itu. "Kenapa hanya Daddy mu yang kau rindukan? Bagaimana dengan ibumu yang tua ini? Hiks.. hiks...." Peter menghela napasnya pelan saat mendengar suara isakan wanita tersempurna dalam hidupnya itu. Wanita yang akan selalu menjadi bunganya seperti namanya. "Jangan menangis My Flower. Aku justru sangat merindukanmu.” Panggilannya untuk Rose ibunya memang berbeda dari Max ayahnya. Jika Max selalu memanggilnya "My Rose" maka lain dengan Peter, dia selalu memanggilnya "My flower" wanita yang akan selalu menjadi bunga dan pengendalinya. "Bagaimana kau bisa bilang-bilang begitu, apa kau sudah makan malam? Lalu di mana kau tinggal? Kau sudah mandi? Kau tidak kesepian’kan? Bagaimana keadaanmu? Daddy mu memberimu uang banyakkan? Huwaaa ... Hiks... hiks ... Peter pulang saja!" Peter hanya tersenyum mendengar perkataan ibunya yang sangat panjang, jika sudah berkaitan dengannya. Peter membayangkan. Pasti saat ini Daddy nya sedang menutup telinganya dan meringis kesakitan karena akan di cubit dan di pukuli oleh ibunya. Kalang kabut ayahnya untuk menenangkan ibunya. Dan jangan lupakan, tisu yang pasti sudah berserakan di mana-mana. "Peter cepat jawab ibumu, sebelum aku di cincang!" teriakan ayahnya Max yang terdengar, membuat Peter semakin terkekeh geli. "Tenanglah, Mom. Aku baik-baik saja. Aku sudah makan, aku juga tidak kesepian karena aku memiliki keluarga baru di sini. Rumahku juga sangat nyaman." Setelah Peter mengucapkan itu, isakan Rose mulai mereda. Hanya terdengar sesenggukan pelan saja. "Berjanjilah kau akan baik-baik saja sayang, atau aku akan menjemputmu besok!" "Ya, Mom. Jangan khawatirkan aku,” ucap Peter dan sambungan itu pun mati. Peter yakin, sebenarnya Max ingin memarahinya. Tapi, saat ini pasti ibunya sedang mengamuk sedih. Beberapa helai rambut ayahnya pasti sudah lepas dan bajunya pasti sudah robek di mana-mana. Rose pernah melakukan hal itu, saat dirinya pergi untuk beberapa hari dengan alasan tugas kuliah. Padahal sebenarnya dia ke New York untuk pekerjaan. Suara ketukan pintu membuat Peter beranjak dan membuka pintu. Peter kira itu nenek Jessy, tapi ternyata seorang wanita yang seusia kira-kira sama dengannya. "Kau tahu kenapa aku datang kemari?" ucapnya dan Peter hanya mengernyit bingung. Dia tidak mengenal siapa wanita di depannya. "Okay. Aku ingin mengembalikan kue mu dan sekarang aku minta kue ku." Peter semakin menatap tak mengerti, kue? Kue apa? pikirnya. "Apa kau bisu, huh? Lihat! Ini kue pesananmu dan kue pesananku yang kau bawa pulang. Kue kita tertukar. Kau mengertikan?" lanjutnya saat melihat keterdiaman Peter. "Kue mu sudah aku makan ..." lirik Peter dengan singkat. "Apa?!" teriak wanita itu. "Jangan naikan nada bicaramu!" tegas Peter dengan dingin. Wanita itu mendengus kasar. "Bagaimana aku tidak berteriak? Kau memakan kue ku!" bentak wanita itu. "Hanya kue ’kan? Apa masalahmu? Lagi pula, kue ku ada padamu. Ambil itu sebagai gantinya.” Braakk! Peter membanting pintunya keras di depan wanita itu. "Hey, dasar pria gila! Setidaknya sopanlah sedikit terhadap wanita!" teriak wanita itu. “kau tidak di ajari sopan santun, huh?! Pria menyebalkan!” teriaknya lagi, kemudian menendang pintu rumah Peter dengan keras lalu pergi dari sana dengan kekesalan yang memuncak. "Aku bersumpah tidak akan mempunyai kekasih yang gila dan horor seperti mu!" lanjutnya .  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD