Bab 2

1001 Words
Kemudian ia kembali ke kamar mandi untuk menghilangkan rasa lelah bercampur kecewa dan juga sakit di bawah guyuran air segar. Sementara itu di rumah mewahnya, Zac terlihat tak tenang saat ponsel Audrey tidak dapat dihubungi. Sementara acara makan malam akan segera dimulai. "Baby, apa yang sedang kamu lakukan? Mommy dan Daddy sudah menunggu." Ashley menghampiri tunangannya yang sedari tadi menyendiri di ruang tamu. "Aku sedang menghubungi Audrey. Sampai saat ini ia belum juga sampai," katanya dengan cemas. Ashley melipat kedua tangannya dengan wajah cemberut. Lalu senyum liciknya mengembang."Sudahlah, aku rasa dia tidak akan datang. Lagi pula kenapa kau harus mengundangnya ke sini. Dia tidak berkepentingan bukan?" Zac melirik tunangannya, lalu ia merenung sejenak. Mana mungkin ia membiarkan acara dimulai tanpa sahabatnya itu."Audrey pasti datang" Ashley mendecak sebal."Kau tau, kan, dia itu Dosen. Selalu pulang sampai larut malam. Dia pasti lelah atau sekarang dia masih punya jam mengajar." Zac menggeleng."Hari ini Audrey tidak punya jam mengajar sampai malam." "Kau hapal semua jadwalnya?" Tatap Ashley tak percaya. "Tentu saja. Apa kau sudah lapar? Kita bisa mulai makan malam jika kau mau." Zac menyimpan ponselnya ke saku celananya. Ia segera bergegas ke ruang makan. Ia kesal pada Audrey yang mungkin sengaja menonaktifkan ponselnya. Setidaknya ia pernah mendengar perdebatan tunangannya dengan Audrey, mungkin saja sahabatnya itu menghindar. Tapi, jauh di lubuk hati Zac, ia tak bisa memilih antara Audrey maupun Ashley karena mereka berdua adalah dua wanita yang sangat ia sayangi. "Apa Audrey sudah datang?" Tanya Nyonya Anderson pada puteranya. Zac menggeleng."Sepertinya ia tidak hadir karena baru sampai ke rumah." "Mungkin ...lain kali sebaiknya kita adakan makan malam saat weekend saja agar Audrey dan Evelyn bisa hadir di sini," kata Tuan Anderson disambut dengan senyuman palsu dari Ashley. "Ya, sebaiknya begitu." Mood Zac terlihat tidak baik. Ia makan dengan wajah cemberut. Ashley kesal sendiri dengan sikap tunangannya. Harusnya ini menjadi makan malam yang begitu penting karena mereka akan membahas masalah pernikahan mereka yang mungkin akan dilaksanakan bulan depan. Tapi, Zac hanya menanggapi percakapan mereka dengan malas dan seperlunya saja. Ashley melirik ponselnya yang sedari tadi bergetar. Lantas diam-diam ia menonaktifkan ponselnya agar tidak mengganggu acara penting itu. ** Sepagi ini ponsel Audrey sudah berbunyi. Wanita itu masih tampak malas sekali bangun. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya, ia langsung menonaktifkannya begitu saja dan lanjut tidur. Sementara itu pria di seberang sana mengumpat kesal karena telponnya ditolak dan saat dihubungi kembali, ponsel wanita itu justru tidak aktif. Ia pun mematikan rokoknya dengan kesal. Pagi ini terasa begitu melelahkan. Semalaman ia tak bisa tidur lantaran menerima pesan dari Zac yang mengungkapkan kekecewaan pada Audrey. Jelas saja, wanita tiga puluh satu tahun itu tidak bisa tidur. Sesekali menitikkan air mata. Dirinya memang terlalu lemah dalam urusan cinta. Berani mencintai tapi takut mengungkapkannya. Langkah Audrey terasa berat. Tapi, pagi ini ia harus kembali mengajar seperti biasa. Jadwalnya hari ini full dari pagi sampai sore. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Audrey baru saja hendak merapikan barang-barangnya dan bergegas pulang. Tapi, beberapa mahasiswa tampak menghampirinya. "Kami menagih janji Miss kemarin," kata Nicole. Mau tak mau Audrey harus mengembangkan senyumannya. "Kita cari ruangan yang kosong, ya." Mereka semua mengikuti Audrey yang berjalan ke ruangan Dosen yang tak lagi terpakai dan sudah dialog fungsikan untuk ruang seminar. Dengan sabar Audrey membimbing mahasiswanya satu persatu. Waktu sudah menunjukkan pukul enam, masih ada beberapa mahasiswa yang tersisa. Ia harus menyelesaikannya sampai terakhir. Audrey menatap mahasiswa yang tersisa. Ia menaikkan sebelah alisnya menatap Audrey."Miss Brown?" Audrey mengangguk."Ya benar. Siapa nama kamu?" "Adam Evans," katanya santai. Mata tajamnya terus memerhatikan sang Dosen dengan begitu detail. Audrey menjelaskan banyak hal yang dipertanyakan oleh Adam. Pembicaraan itu begitu menarik karena Adam termasuk mahasiswa yang kritis. Untungnya Audrey memiliki kemampuan yang cukup untuk menjawab semua pertanyaan Adam. "Ini sudah malam. Sebaiknya kita lanjutkan diskusi kita besok," kata Audrey sambil memakai tasnya. Adam melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul delapan malam."Saya antar sampai ke depan, Miss." Audrey tersenyum, ia berjalan mendahului Adam. Pria itu menatap lekuk tubuh Audrey dari belakang, sampai kemudian ia mensejajarkan langkahnya."Apa Miss naik kendaraan sendiri?" "Tidak. Saya naik kendaraan umum," jawab Audrey sambil melangkah cepat. Tapi, sedetik kemudian langkahnya terhenti karena ternyata di luar sedang hujan deras. Untuk menuju halte, ia harus menggunakan payung agar tidak basah. "Sepertinya kita harus menunggu hujan sedikit reda," kata Adam sambil melihat ke sekeliling. Di sana ada bangku beton."Silahkan duduk, Miss." Audrey mengalah. Ia duduk dengan hati yang resah karena ia akan pulang terlambat. Lantas ia mengirimkan pesan pada Bibi Evelyn untuk memberi tahu ia akan terlambat. Adam melirik ke lekukan wajah Audrey yang sebenarnya sangat cantik. Hanya saja, wanita ini tidak menggunakan make up untuk memoles wajahnya. Suara petir menyambar, angin berhembus begitu dingin. Percikan air pun sampai pada posisi duduk mereka. Adam menatap audrey."Sebaiknya kita kembali ke kelas tadi, Miss. Kalau tidak kau akan kedinginan." "Sepertinya begitu," balas Audrey sambil memeluk dirinya sendiri karena dinginnya malam ini. Mereka berdua kembali ke ruangan tadi. Hanya terdengar suara hujan dan petir yang menyambar. Adam melihat ke arah pos security yang sangat jauh di depan sana. Mereka terlihat meringkuk di dalam pos. Ia ingin menghubungi mereka agar membawakan payung atau sejenisnya. Tapi ia melupakan ponselnya saat pergi ke kampus pagi tadi. "Dasar, pemakan gaji buta," omel Adam dalam hati karena para security itu tidak berkeliling memeriksa kondisi di dalam gedung. "Apa yang kau lihat?" tanya Audrey penasaran. Sekarang ia bergerak ke sebelah Adam. "Security di sana," tunjuk Adam. Audrey tersenyum lebar."Aku akan menghubungi mereka." Diambilnya ponselnya, tapi kemudian layarnya mati karena sudah kehabisan daya. "Sama saja. Kita hanya bisa menunggu hujan reda." Adam duduk di atas sebuah meja dengan begitu tenang. Tiba-tiba suara petir terdengar begitu keras. Audrey berteriak dan listrik padam. "Adam!" Ucap Audrey sambil gemetaran. "Aku di sini, Miss." Adam masih bisa melihat siluet tubuh Audrey, meraihnya dalam pelukan. Wanita itu terdengar sedang ketakutan, badannya bergetar hebat. Tak lama kemudian, lampu menyala kembali. Audrey masih gemetaran dalam pelukan Adam. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyadari posisi mereka begitu nyaman, lantas ia semakin mengeratkan pelukannya. Terasa hangat dan empuk.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD