Luka Itu Nyata

1462 Words
Langit begitu tinggi, merasa ia yang paling atas dan menguasai segalanya. Tidak ingin menunduk terhadap bumi ia menunjukan sifat arogannya di saat hatinya berubah gelap. Begitu juga yang ia lakukan terhadap Bulan. Permintaan Langit tidak bisa ditolak, diterima lambat, ataupun dijadikan yang kedua. Saat ia berkata, saat itu juga harus ada. Ketika Langit mengatakan bahwa ia akan mengajak Bulan ke sebuah tempat memenuhi undangan pesta pernikahan. Bulan dengan sangat terpaksa memenuhi permintaan Langit. Padahal hatinya perih tidak terkira memikirkan bagaimana keadaan ayahnya di rumah sakit. Jangankan mengetahui kabarnya lewat telepon, Langit bahkan memutus akses komunikasinya dengan siapa pun. Ini gila, entah sampai kapan ia akan bertahan? Makhluk terdingin yang menikahinya ini sungguh membuatnya seolah hidup dalam sangkar. "Apa kamu sudah siap, Sayang?" Langit bertanya. Ia berjalan menghampiri ke arah Bulan setelah siap dengan setelan jas hitamnya yang sangat apik. Diberi sentuhan minyak rambut dan memakai alas kaki yang senada, tampilan Langit sangat berbeda. Begitu juga dengan Bulan yang sudah siap dengan setelan dress putihnya yang seatas lutut. Sedikit polesan make up dan disempurnai tatanan rambut yang rapih, tidak henti-hentinya Langit menatap takjub pada istrinya. "Iya," jawab Bulan singkat dan pelan. Langit menghampiri lebih dekat, membenarkan anak rambut yang sedikit berantakan di belakang telinga istrinya, Bulan menunduk takut. "Kau sangat cantik, tidak salah aku memilihmu sebagai istri." Gurat di wajah Langit begitu cerah menampakkan kebahagiaannya. Kemudian memberikan lengan kanan pada istrinya yang semakin gugup. "Ayo," ajak Langit. Tanpa tersenyum sedikit pun, Bulan melingkarkan tangannya di lengan Langit. Berjalan ke arah luar dengan high heels sungguh tidak membuatnya merasa nyaman karena ini bukan seperti dirinya. *** "Lang? Setelah aku memenuhi permintaanmu, apa aku boleh menemui ayah? Sekali saja ... aku mohon," pinta Bulan dengan sangat hati-hati. Perjalanan menyusuri keramaian kota Bandung, hari sudah semakin panas dan sebenarnya ia sedikit takut panasnya akan bertambah dengan kemarahan Langit. Langit menoleh sejenak namun fokus lagi menyetir mobil. "Jangan membuatku mengulanginya dua kali. Aku tidak ingin kau merusak hariku dan make up mu, diamlah ...." Bulan terdiam seribu bahasa lagi untuk kesekian kalinya. Tubuhnya memang berada bersama dengan Langit, tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Pikiran dan hatinya kini tengah melintasi waktu ke belakang, ia terus memikirkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang. Do'a selalu ia ucapkan setiap saat, dan ia harap itu yang terbaik. Sampai di satu tempat daerah Bandung, mereka berdua memasuki sebuah gedung nan indah yang sudah ditata dengan apik oleh tangan-tangan ahli mendekorasi acara pernikahan. Banyak orang-orang di sekeliling yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Sangat cantik dan tampan, elegan dan menyesuaikan dengan tema. Langkah kaki Bulan menelusuri setiap deretan tamu undangan yang menorehkan senyum manis padanya dan Langit. Seolah segan dan berkepentingan, kedatangan Langit disambut hangat oleh mereka yang ada. Sepertinya mereka semua adalah kolega bisnis Langit di perusahaannya. Ia tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang ia tahu, ia tidak nyaman berada di tempat ini dan ingin pulang. Itu saja. "Hei, Rion. Tidak kusangka akan melihatmu di sini. Bagaimana kabarmu?" tanya Langit ramah pada seorang laki-laki yang menghampiri mereka. Laki-laki bertubuh jangkung, kulit putih dan berambut sedikit ikal itu tersenyum seraya menjabat tangan Langit. Dengan membawa seorang gadis yang mengenakan hijab merah muda di sampingnya, Bulan merasa begitu familier dengan wajah sang gadis. "Alhamdulillah, baik," jawab Rion padat dan jelas. Ia melirik ke arah gadis yang disampingnya, gadis itu hanya tersenyum manis. "Dia?" "Ya, perkenalkan. Namanya Ismi, dia adalah calon istriku," jawab Rion lagi. Mereka berdua sangat ramah dan terlihat serasi. Obrolan terjadi, ternyata laki-laki yang ada di hadapan Bulan adalah salah satu karyawan di perusahaan Langit yang juga kenal dengan pengantin. "Pak, maaf. Sepertinya kami berdua akan pergi lebih dulu." Rion berpamitan. "Kalian ingin pergi ke mana?" tanya Bulan ketika ia melihat sepasang muda-mudi itu hendak pergi setelah sang gadis menulis di sebuah buku kecil. "Ismi ingin ke toilet, aku akan menunjukkan jalannya." "Biar aku saja! Aku juga ingin ke toilet," ucap Bulan cepat. Sejenak ia melirik ke arah Langit, suaminya itu terlihat keberatan. Namun, ia buru-buru menarik lengan gadis itu dan mengajaknya pergi ke arah toilet. Setidaknya, Bulan bisa bernapas lega setelah terbebas dari pembicaraan panjangnya yang sangat membosankan itu. Sekaligus ia juga ingin memastikan sesuatu pada gadis ini. Tapi tiba-tiba saja gadis yang ia pegang menarik lengannya saat hampir sampai ke toilet. Bulan heran, kenapa gadis itu terlihat gusar. "Kamu mencari apa?" tanya Bulan. Ismi mengernyit. "Tapi, sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu. Kamu itu Kirana, kan? Apa kamu tidak ingat padaku? Aku sahabatmu, Bulan," ucap Bulan. Lagi-lagi Ismi yang ia kenal sebagai Kirana itu tidak menjawab, hanya mengernyit seolah tidak mengerti yang ia katakan, atau apa ia memang lupa padanya? Tidak mungkin. Ia dan Kirana sudah berteman sejak masa SMA, Kirana tidak mungkin lupa dengan wajahnya. "Maaf ... aku harus pergi." Sikap sahabatnya itu meberi tanda tanya besar di benak Bulan. "Ke mana? Aku perlu bicara denganmu Kirana. Aku ingin meminta bantuanmu, sekali saja." "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi ada yang harus kulakukan sekarang. Aku ingin menemui seseorang di luar," ucapnya. Bulan mengernyit dan lalu gadis itu berkata lagi. "Jika kamu bertemu dengan Rion lagi, tolong sampaikan maafku padanya. Tolong katakan juga kalau aku akan baik-baik saja." "I-iya, tapi Kirana ... tunggu!" serunya. Bulan mengejar lari kecil Ismi ke arah luar ia semakin jauh. "Kirana, Ismi ... ah! Kenapa dia malah pergi?" Bulan bingung. Larinya mengejar Ismi tidak berhasil karena tidak sengaja menabrak seseorang hingga tubuhnya oleng sampai hampir terjatuh. Tubuhnya tertahan oleh dua tangan sigap yang melingkar di pinggang, tatapan mata indah dengan lensa kecokelatan itu membuat Bulan tidak mampu mengedipkan mata barang satu detik pun. Satu. Dua detik berlalu. Orang yang memegang tubuhnya tersenyum manis. Bulan salah tingkah, wajahnya terasa memanas dan ia singkirkan tubuhnya sendiri dengan cepat. "Bulan? Apa benar ini kamu?" tanya laki-laki yang ada di hadapannya. Bulan menunduk, kemudiian berbalik arah dengan cepat seraya melangkah menjauh dari laki-laki itu. Perasaannya campur aduk, ingin sekali ia cepat pergi dari sini dan tidak bertemu dengannya. "Bulan, tunggu. Kenapa kau menghindariku?" Tangan lembut menarik tubuh Bulan kembali terarah ke hadapan sang lelaki bertubuh tinggi dengan kulit kuning langsat dan berhidung mancung itu. Tatapan mereka saling bertemu, tapi baru beberapa detik saja menatap mata cokelat itu, Bulan tidak kuasa menahan dobrakan air mata yang memaksa ingin keluar. "Ada apa? Kenapa kau menangis? Apa kau terlalu bahagia bertemu denganku? Syukurlah, karena aku juga merasakan hal yang sama, Lan." Laki-laki bernama Darmawan Prayoga itu tersenyum sangat manis. Yang Bulan tahu, senyuman itu selalu saja mampu meluluhkan hatinya setiap hari selama dua tahun bersamanya. Dia adalah kekasih Bulan sewaktu SMA, tapi hubungan mereka berdua terpisahkan oleh jarak yang sangat jauh karena Awan memutuskan untuk mengambil study di Amerika. Lama menjalin tali kasih hanya lewat sosial media dan surat menyurat, Bulan tidak berani memberi tahu kalau tahun ini keluarganya tengah dilanda masalah hebat. Perusahaan ayahnya hancur dan ia terpaksa menghentikan kuliah, hingga pada akhirnya ia harus menikah dengan Langit tanpa memberitahu semuanya pada Awan. Saat bertemu dengannya kali ini. Tetesan air mata Bulan menunjukkan keperihan teramat dalam. Ia merasa begitu jahat telah menipu Awan sampai sejauh ini. "M-maaf ... tapi aku harus cepat pergi dari sini." Bulan melirik ke sana-kemari, memperhatikan sekeliling. Ia takut Langit akan melihat ini. "Tapi aku ingin bicara denganmu, Lan. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan. Termasuk aku ingin tahu kenapa kau tidak pernah menghubungiku lagi selama tiga bulan ini," ucap Awan cepat. Ia menggenggam tangan Bulan, kemudian kembali mengarahkan tatapan Bulan padanya. Bulan diam. "Aku merindukanmu, Lan. Dan sekarang aku kembali untuk kamu." Ucapan Awan bagai pisau yang langsung menancap di dalam hati. Sakit. Bahkan teramat sakit kala ia harus mengungkapkan kebenaran terhadap Awan jika ia sudah menikah dengan yang lain. Bagaimana cara Bulan mengungkapkannya? Ia tidak tahu. Bahkan ia teramat takut pada reaksi yang akan diberikan Awan padanya. "Lepaskan tanganmu dari istriku ...!" Bulan dan Awan menoleh bersamaan. Seluruh tubuh Bulan bergetar akibat merasakan ketakutan yang sangat ketika mendapati sorotan mata setajam elang jelas mengarah padanya. BHUAK! "Awan ...!" Bulan menjerit. Tidak diduga Langit melancarkan satu hantaman mentah di wajah Awan yang tidak siap. Bulan menangis, Langit mencengkram lengannya dan itu sangat sakit. Sedangkan Awan masih memegangi rahangnya yang pasti ngilu akibat hantaman Langit. "Lepas, Lang ...." Bulan berontak. "Siapa kamu?" tanya Awan. "Berani sekali kau menyentuh istriku, sekali lagi kau melakukannya. Aku tidak akan segan-segan menghabisimu!” ancam Langit. Tajam tatapannya pada Awan mengisyaratkan kebencian. "Maafkan aku, Wan. Maafkan aku ...." Hanya itu yang mampu terlontar dari gemetar bibir tipis Bulan, melihat pria yang dicintainya terpaku di tempat bersamaan dengan luka. Awan terdiam. Bulan menyadari ada gurat kekecewaan terpampang nyata di wajah sendu itu. Langkah kaki beratnya meninggalkan Awan di sana, tangisan kini kian tidak terbendung lagi. Entah kapan lagi ia akan bertemu dengannya. Tapi masalah yang jelas di depan mata sudah menanti. Ia pasti akan mendapat hukuman di rumah dari Langit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD