Bab 1.D

1220 Words
"Lo di mana Ana?" "Ana di rumah. Maaf ya, Chandra. Soalnya Abang sama Mama minta pulang. Besok Ana ke apartemen lagi, kok." Gadis yang tengah tertidur di pangkuan ibunya itu meringis kecil mendengar hembusan napas kasar dari wanita di sebrang sana. "Kalau mau pulang itu harusnya lo kasih tau gua, dulu! Jangan asal main pulang. Masalahnya gua baru aja belanja bulanan. Dan ini pizza gua harus kasih ke siapa?!" Riana menggigit bibirnya. Matanya menatap wajah sang Mama yang masih terdiam menonton film. "Maaf. Yaudah, Ana suruh Abang ambil ke sana, ya? Nanti Ana makan di sini. Soalnya Papa gak bolehin Ana ke mana-mana." "Terserah! Lain kali jangan kaya gitu lagi.. gua gak suka!" Ujar wanita itu dengan galak. Mata Riana berkaca-kaca. Takut jika ia telah melakukan kesalahan yang fatal. Padahal hanya tak menghubungi dan itu tak mungkin menjadi masalah besar. Sindrom itu kembali membuat Riana lemah. "Iya, maaf ya." "Lo pasti mau nangis, kan? Duh! Ana jangan nangis dong.. nanti Abang lo ke sini, gua yang kena semprot. Na, jangan nangis pleasee.." "Iya. Ini Ana gak nangis. Chandra, Ana tutup teleponnya, ya? Soalnya mau nyamperin Abang buat ambil pizza di apartemen." Riana mengusap air matanya. Ia segera bangkit setelah panggilan telepon terputus. Lalu berjalan menuju kamar sang kakak. Di sepanjang jalan, ia terus memikirkan apa saja kesalahan yang sudah ia lakukan selama ini. Kenapa semuanya terasa aneh baginya hari ini? Bahkan sedari pagi kejadian tak hentinya terus berdatangan. Mulai dari perutnya yang mulas, lalu terlambat datang ke kantor. Lupa membawa jas merah untuk tampil. Dan terakhir bertemu orang aneh, ehmm.. Geo maksudnya. "Abang?" Panggil Riana kecil. Tangannya mengetuk pintu kamar itu sesekali. Dan tak lama muncul Kakak Iparnya. Wanita itu terlihat masih segar, padahal sudah pukul 10 malam.  Wajahnya juga terlihat tak baik. Sayu dan memerah. "Eh, Ana? Kenapa sayang?" "Ada Abang?" Tanya Riana langsung mengarah ke orang yang ingin ia temui. "Ada. Mau masuk dulu?" Tawar Adiba. Tangannya sesekali membenarkan letak rambutnya yang sudah tak beraturan. "Gak usah. Ana di sini aja." "Bener?" Tanya Adiba memastikan. Pasalnya gadis itu akan selalu mengangguk semangat dan masuk ke dalam kamar. Tapi karena Erlan yang marah tadi dan belum sempat turun kembali membuat Riana ketakutan.  "Iya." "Yaudah, bentar Kakak panggilin, ya?" Riana tersenyum kecil dan mengangguk. Sebenarnya ia masih takut bertemu Erlan. Setelah melihat lelaki itu yang marah pada Geo dan wajah terkejut ketika ia membentak terputar jelas di kepalanya. Apa Erlan juga akan marah padanya? Lalu meninggalkannya dan setelah itu pergi jauh? Tidak! Riana belum siap kehilangan lelaki kesayangannya. "Kenapa?" Riana sontak mendongkak. Matanya menatap wajah Erlan yang sama acak-acakkannya dengan Adiba tadi. Lelaki itu memakai kaos tipis yang tak beraturan. Dan sebuah sarung, wait?! Sejak kapan Abangnya mau keluar hanya memakai sarung? Terkecuali lelaki itu selesai solat. Dan dari penampilannya, tak ada yang merujuk pada aktivitas beribadah itu. "Abang.." "Kamu mau apa?" "Emm, tolong ambilin makanan di apartemen ya, Bang? Soalnya Chandra baru aja beli bahan makanan dan katanya bakal mubazir kalau gak di makan." Tangan Riana saling memilin. Takut jika Erlan akan memarahinya. Tapi nyatanya lelaki itu tak melakukan apapun selain masuk kembali ke kamar. "Mas mau kemana?" Tanya Adiba yang masih terdengar oleh Riana dari luar. "Apartemen Ana. Ada barang yang mau diambil," jawab Erlan seadanya. "Aku nitip bakso di ujung gang, ya? Boleh?" Dan pertanyaan itu hanya dibalas deheman pelan dari Erlan. Lelaki itu terlihat menyambar jaket dan pergi berlalu setelah dompet ia masukkan ke dalam saku jaket. "Abang gak ganti celana?" "Gak usah. Sekalian dinginin pake angin!" Riana mengerutkan kening. Abangnya itu bilang apa tadi? Kenapa otaknya tidak sampai. Tolong! "Ana, sini masuk! Temenin Kakak!" Riana melongokan wajahnya ke pintu. Dan menemukan kamar Kakaknya yangㅡastagfirullah! Berantakan sekali! Tumben banget. "Eh, maaf ya. Masih berantakan. Belum Kakak beresin soalnya." Riana mengangguk lugu. Ia segera masuk dan duduk di samping ranjang. Berhadapan langsung dengan Adiba yang kini terlihat senang. "Kakak kenapa?" "Gak papa. Makasih lho, udah dateng terus suruh Erlan keluar," kekeh Adiba. Wanita itu memeluk tubuh Riana hangat. "Emangnya kenapa, Kak?" "Gak papa. Duh, Kakak kayanya harus kasih hadiah sama kamu. Kamu mau apa?" Tuhan, Riana semakin tak paham! *** "Kamu yakin dengan keputusan kamu, Abra?" Geo mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Menatap wajah Ayahnya yang masih terlihat segar. Padahal sudah menginjak kepala lima. "Iya, Papa." "Kenapa harus Riana? Apa tidak ada wanita lain yang sesuai dengan karakter Ibumu? Atau kamu memang sengaja?" Geo berdecih pelan. Ia mengurungkan niatnya untuk kembali bersuara setelah mendengar pintu ruangan terbuka lebar. Di sana ada Ibunya yang menatapnya lembut. Tangan kanan wanita itu terdapat satu bingkisan besar yang entah isinya apa, Geo pun tak tahu. "Mama aja gak keberatan, kenapa Papa keberatan?" "Kalian tuh berantem terus! Ini kita mau jadi gak berangkatnya?" Ujar Disia menengahi. Geo tersenyum miring, lagi dan lagi ia menang dari Ayahnya. Walau terlihat sangat jelas wajah kesal Ayahnya saat ini, Geo abaikan. Ia segera berlari menuju sang Mama dan memeluknya. Jas hitam yang ia pakai sudah sangat pas. Papanya juga menggunakan pakaian yang sama. Hanya saja kemejanya berwarna merah. Sedangkan ia memakai kemeja berwarna putih. Geo melewati tubuh besar Ayahnya dengan mudah. Jika saja tidak ada Ibunya kemari, Geo jelas sudah tak bisa lagi berkata-kata di depan Ayahnya. Lelaki itu sangat handal bermain kata dan berucap. Maka dari itu, Geo sebisa mungkin menjaga ucapannya jika bersama sang ayah. Dan karena kebetulan Mamanya masuk, bibirnya tak perlu lagi di rem. Cukup menatap tajam saja, Ayahnya pasti sudah sangat dongkol. "Mama cantik, hari ini!" "Gombal banget kamu! Harusnya kamu tuh kasih rayuan kaya gini ke istri kamu nanti!" "Ya, kan Abra baru mau tunangan, Ma. Ya kali langsung digoda. Gak bisa gitu, lah!" Disia tertawa kecil. Anaknya sudah besar dan dewasa. Anak lelaki yang dulu berlari dengan tangis kini tampak gagah. Tubuhnya begitu besar. Sama besarnya dengan sang suami. Apalagi kini mereka berdua berdiri berdampingan. Persis seperti pinang dibelah dua. "Apa acaranya juga harus di hotel?" "Ini Abra yang lamaran! Satu-satunya anak Mama sama Papa. Masa biasa-biasa aja?" Sombong lelaki itu. "Kamu bahkan lupa dengan ajaran Kakek? Mereka selalu mengajarkan untuk tetap sederhana." "Gak papa, Pa. Kali ini aja. Lagian ini acara sakral. Kita gak pernah juga bikin acara besar-besaran, kan?" Ujar Disia membela Geo. Lelaki dua puluh lima tahun itu tertawa kecil lalu mencium pipi Ibunya sebelum menariknya keluar. Meninggalkan pria paruh baya itu untuk tetap di sana. Memikirkan hal yang menurutnya tak menyenangkan. "Mama jadi gak sabar pengen ketemu sama Riana. Dia cantik banget, ya?" Tanya Disia antusias. Sesekali tangannya membenarkan letak khimarnya yang terbang terbawa angin malam. Geo memutar bola matanya malas. "Ya, cantik sih." "Coba, sebutin kaya gimana. Biar Mama gak penasaran." "Perasaan Mama udah lihat fotonya, kan?" "Kata siapa?" Geo berdecak. Ini pasti hanya akal-akalan Mamanya saja. Tak mungkinkan wanita itu tak tahu calon menantunya? Eh, apa tadi? "Dia lumayan tinggi. Sebahu Geo. Rambutnya panjang. Coklat lurus. Eh, gak tau juga sih. Soalnya Geo liatnya waktu dia abis manggung. Bola matanya biru. Mirip Kakaknya. Putih, punya lesung pipi sama.. bulu matanya lentik asli. Geo bisa lihat itu pas satu mobil sama dia. Mancung.." Disia tersenyum. Geo sangat menggemaskan ketika bicara panjang. Apalagi kini lelaki itu terlihat merona malu. Entah kapan Disia bisa melihat anaknya dalam keadaan seperti sekarang. "Kamu suka, ya, sama Riana?" "Ya?" "Kamu sukakan sama Riana?" Geo membulatkan matanya dan langsung mengalihkan pandangan ketika sang mama tersenyum mengejek. "Ya, iya kali. Kan mau jadi istri Abra, harus sukalah! Kalau gak suka Abra gak mungkin pilih dia." "Mama tau."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD