》dua《

2237 Words
》》》》》 Hari kedua datang bulan, aku memilih nggak masuk sekolah. Sakit diperutku semakin menjadi dan saat ini cuman bisa tiduran di tempat tidur. Sambil mengutak-atik benda canggih yang ada dalam genggaman tanganku, aku mulai berselancar di dunia maya. Ceklek! Suara itu membuat pandangan mataku beralih ke daun pintu kamar yang terbuka perlahan dan menampilkan wajah dingin Om Ali. "Kenapa masih disitu? Sudah jam berapa ini?" Aku memilih bungkam dan mengabaikan pertanyaan Om Ali, kembali fokus sama ponsel di tanganku. Sambil sesekali terkikik karena video lucu yang saat ini ku tonton. "Lili. Kamu dengar tidak?" "Ck. Denger Om!" jawabku sewot. Entah kenapa aku badmood banget liat mukanya Om Ali. Bawaanya emosi dan nggak pengen diganggu. Mungkin efek datang bulan. Dan mungkin efek ucapan Om Ali kemarin sore. Kau masih kecil, belum begitu mengerti soal hati. Kata-kata itu yang selalu mengganggu pikiranku. Anak kecil? Udah tua sih makanya ngatain aku anak kecil. Awas aja ntar! "Cepat bangun dan mandi. Aku tidak mau waktuku terbuang sia-sia gara-gara ulahmu!" Om Ali langsung memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan kamar. Sementara aku? Jangankan nurutin perintah Om Ali, beranjak dari tempat tidurpun nggak. Mengabaikan ucapan Om Ali, aku semakin seru sama kegiatan tunggalku. Tawaku meledak saat kembali melihat video lucu itu dan alhasil pintu kamarku terbuka lagi. Om Ali lagi. "Lili. Kau tidak mendengarku?" sergahnya. "Apaan sih, Om. Orang lagi seru digangguin!" sahutku cuek. Aku nggak peduli ekspresi wajah Om Ali. Aku mau membalas ucapan Om Ali yang menyakitkan dengan cara nggak ngerespon Om Ali. Dari ekor mata, aku bisa melihat Om Ali berjalan cepat menghampiriku, berdiri disebelah tempat tidurku lalu tangan kanannya menyibak selimutku dengan cepat. Melemparkannya ke lantai kamar. "KYAAAAA!! OM ALI MESUUUM!" teriakku saat selimut tebal itu melayang entah kemana. Ponsel yang sedari tadi kugenggam juga ikut melayang. Kedua tanganku menyilang di depan d**a, menutupi aset berharga yang kelihatan menonjol. Karena seperti biasanya, aku selalu melepas bra kalau lagi tidur. "SIAL!!" umpat Om Ali saat matanya menatap ke bagian bawah tubuhku. Mataku membulat sempurna saat menyadari sesuatu. Malam tadi aku ke toilet untuk ganti pembalut dan karena rasa kantuk yang begitu berat, aku nggak sempet pakai celana panjang dan langsung naik ke tempat tidur. Dan sekarang tubuhku udah nggak suci lagi. Om Ali langsung melepas kemeja putih yang dipakainya dan melemparkan benda itu kearah kakiku yang terekspos dengan jelas. Lebih tepatnya ke paha. "Jangan bertingkah seperti anak kecil. Kau sudah dewasa!" ucap Om Ali dengan nafas menderu. Aku cuman bisa diam sambil menutupi dadaku dengan kedua tangan. Mataku nggak lepas dari sosok Om Ali yang masih betah berdiri disebelah tempat tidur. Aku diem bukannya takut karena Om Ali marah tapi karena---ah ya ampun. Mataku udah nggak perawan. Tapi sayang kalau nggak dilihat. Ada kotak-kotak sebanyak enam ada diperut Om Ali dan aku tau itu apa namanya. Six pack! Hot! Sexy! Dua kata itu melintas di otak nakalku. Dan seolah tersadar atas tindakan bodohnya, Om Ali menatap dadanya sendiri yang polos tanpa penutup. "Apa yang kau lihat?" serunya. Aku cuman bisa menggeleng pelan sambil menelan saliva dengan susah. Oh God, ampuni saya. Bagaimanapun juga aku wanita normal dan aku udah baligh jadi wajar kalau ngiler lihat body sexy Om Ali. Perlahan senyumku mengembang. Aku jadi keinget waktu kecil dulu. Aku sering banget tidur dipelukan Om Ali dan aku baru sadar ternyata tubuh Om Ali sexy juga. Apa sekarang aku masih bisa tidur dipelukan Om Ali? "Cepat mandi. 10 menit kau sudah harus siap!" BLAM!! Aku baru tersadar saat pintu kamar tertutup dengan suara keras. Mataku mengerjap beberapa kali dan perlahan mulutku mengatup. Gila. Masa iya aku kesengsem sama Om sendiri? 》》》》》 Setelah aku debat sama Om Ali, akhirnya Om Ali ngijinin aku buat nggak masuk sekolah. Perutku masih sakit dan saat ini aku kembali tiduran di dalam kamar sambil ngompres perut. "Sarapannya, Non!" Bibi Pan meletakkan sepiring roti tawar isi selai coklat dan segelas s**u keatas nakas. "Masih sakit ya, Non?" Aku mengangguk lemah. "Sakit banget, Bi. Rasanya ngantuk juga!" keluhku lirih. Bibi Pan lalu mengambil duduk di tepi kasurku dan telapak tangannya mengusap lembut perutku. Rasanya nyaman dan hangat. "Dulu waktu Bibi masih muda juga seperti ini, Non. Dan Bibi selalu mengusap perut seperti ini!" jelas Bibi Pan sambil terus mengusap lembut perutku. "Oh iya, Non. Sebaiknya Non Lili cari kesibukan biar rasa sakitnya sedikit mereda!" "Kesibukan? Jangankan beraktifitas, Bi buat bangun aja males banget!" jelasku. "Ya harus dilawan, Non. Non Lili kan bisa jalan-jalan, ke Mall mungkin atau ke taman. Relaksasi istilah kerennya, Non. Biar peredaran darah juga lancar dan tidak terlalu sakit saat perut kontraksi!" Aku terdiam sebentar. Mungkin saran Bibi Pan ada benarnya juga. "Ya udah aku mau mandi dulu kalo gitu!" putusku. Bibi Pan menarik tangannya lalu berdiri. "Jangan lupa sarapan ya, Non!" pesannya. Aku mengangguk dan melangkah masuk kedalam kamar mandi. "Oh ya, Non. Jangan lupa pamitan sama Pak Ali kalau mau keluar!" teriak Bibi Pan dari luar. "Beres, Bi!" sahutku sambil berteriak juga. 》》》》》 Dan disinilah aku, nongkrong cantik disalah satu foodcourt sebuah Mall. Aku nggak sendirian kali ini tapi ditemenin sama Nick. Ia bela-belain bolos pelajaran demi aku. "Masih sakit?" tanya Nick saat nelihat aku meringis ngilu menahan sakit yang tiba-tiba menyerang. Aku mengangguk lemah. "Masih, Nick!" Nick terdengar menghela nafas pendek. "Nonton, yuk!" ajaknya. "Film action atau nggak nonton film zombie!" Aku pasrah aja waktu Nick menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam bioskop. Nggak sampai 5 menit Nick udah mendapatkan tiket dan langsung masuk. Film sudah diputer beberapa puluh menit yang lalu. Suara teriakan dari penonton langsung terdengar. Nick menuntunku untuk duduk di salah satu kursi empuk yang sudah dipilihnya. Dan benar saja, aku bisa mengabaikan rasa sakit yang menyerang perutku. Rasa sakit itu seolah hilang sampai aku dan Nick keluar dari bioskop. Jam tanganku menunjuk ke angka 4. Dan bertepatan itu pula, handphone di saku celanaku berdering. Om Ali memanggil.. Mampus aku! Aku tadi nggak pamitan kalau mau jalan. Habisnya Om Ali juga di telpon nggak diangkat-angkat. "Siapa?" Nick sedikit melirik ke layar ponselku. "Biasa. Om gue!" sahutku ringan lalu menjauh dari Nick untuk menjawab panggilan dari Om Ali. "Ha--halo, Om!" "Ada apa?" Keningku mengernyit seketika. Maksudnya ada apa? Yang telpon kan Om Ali tapi kenapa dia yang tanya ada apa? "Maksudnya, Om?" tanyaku balik. "Kamu tadi menelponku. Ada apa?" Plok! Satu tepukan mendarat di keningku. Kenapa bisa lupa ya? "Oh ini, Om. Tadi aku mau nitip cemilan!" "Cemilan?" cicit Om Ali. Aku mengangguk beberapa kali. "Iya, Om!" "Bukannya di rumah masih banyak?" "Mm--" aku memutar bolamata mencoba mencari alasan yang sekiranya membuat Om Ali percaya. "Lagi pengen nyemil yang lainnya, Om. Oh iya sekalian beliin obat pereda nyeri ya, Om. Yang kayak kemaren aku beli!" Om Ali terdengar mendesah frustasi. Mampus. Aku kerjain. "Kau menyuruhku membeli obat itu?" pekik Om Ali. "Bukan nyuruh, Om tapi minta tolong. Jangan lupa ya, Om." "Oke. Oke. Tapi hari ini aku pulang agak telat. Masih ada meeting di kantor!" YES!!! Aku bersorak dalam hati. Dengan gini waktu kencanku sama Nick jadi semakin panjang. "Iya, Om. Aku ngerti, kok. Met kerja Omku sayang!" Buru-buru aku menutup panggilan dari Om Ali dan kembali menghampiri Nick yang langsung tersenyum kearahku. "Kita kemana lagi?" tanyaku setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Yuk. Ikut gue!" Nick lagi-lagi menarik tanganku dan keluar dari area Mall. 》》》》》 "Nick, gue boleh teriak nggak?" Sore ini Nick membawaku ke sebuah pantai, menikmati sunset. Seumur-umur baru kali ini aku menikmati pemandangan indah ini. Sebenarnya aku bisa aja minta Om Ali tapi laki-laki itu selalu melarangku dan membuat hidupku seolah ada di dalam penjara. "Teriak aja. Nggak ada yang larang!" Aku mengambil nafas dalam-dalam dan langsung berteriak sekencang mungkin. Rasanya plong banget dan membuat senyumku merekah. "Gila. Gue baru kali ini liat sunset. Indah ya, Nick!" ucapku penuh haru dan kembali duduk di sebelah Nick. Dalam beberapa detik pandangan mata kami bertemu dan kami sama-sama terdiam. Ada rasa aneh menyelinap ke dalam rongga dadaku saat menatap bolamata coklat itu. Gue suka sama Nick. 4 kata itu cuman bisa aku ucap dalam hati. Tapi sepertinya Nick sadar akan bahasa tubuhku. Tangannya perlahan menggenggam jemariku dan senyumnya mengembang. Aku membalas senyuman Nick. Ya aku tau. Tanpa berucappun aku tau kalau Nick sebenarnya juga menaruh hati sama aku. Aku menunggu Nick ngungkapin isi hatinya tapi sampai fajar mulai tenggelam, kata-kata itu nggak terlontar dari bibir Nick. "Udah malem, pulang yuk. Gue nggak mau lo kecapekan!" Aku mengangguk dan membiarkan tanganku di genggam olehnya. Aku udah naik ke motor Ninja merahnya, duduk di jok belakang tapi Nick belum juga menarik tuas gas motornya. "Kenapa, Nick?" tanyaku sedikit mencondongkan tubuh kearahnya. Tanpa di duga, Nick menarik lembut kedua tanganku dan melingkarkan ke pinggangnya. "Kencengin sabuk pengamannya kalo nggak mau jatoh!" Mati-matian aku menahan senyum. Sebelum menarik tuas gas motornya, Nick sempat menepuk-nepuk punggung tanganku. "Jangan dilepasin ya, nanti gue terbang dan disamber sama cewek laen!" "NICK. NGGAK LUCU!" teriakku dan tawa kamipun meledak. Aku sama sekali nggak melepaskan kaitan tanganku dipinggang Nick, justru aku malah menyandarkan kepala dipunggungnya. Aku nyaman sama Nick. 》》》》》 Nick mematikan mesin motornya saat sampai di depan rumah. Aku buru-buru turun karena perasaanku tiba-tiba nggak enak. Pasalnya, mobil Om Ali udah bertengger manis diparkiran rumah. "Thanks ya Nick buat hari ini!" ucapku sambil merapikan beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah. Dan pergerakan tanganku terhenti saat tangan Nick terulur dan ikut merapikan rambutku. "Udah sana masuk!" titahnya. Aku mengangguk pelan. Entah perasaanku aja atau apa, hari ini Nick terlihat beda. Ia romantis banget. "Lo ati-ati!" pesanku dan langsung memutar tubuh, melangkah masuk ke dalam rumah. Saat tubuhku udah menghilang dari balik pintu, saat itu juga aku baru mendengar suara deru motor Nick menjauh. "Non Lili!" "ASTAGA!!!" aku terlonjak kaget saat mendengar namaku dipanggil. "Bibi Pan ngagetin aja ih!" "Maaf. Non Lili baru dateng?" Aku mengangguk sebagai jawaban dan melirik kearah jam tangan yang udah nunjuk keangka 7. "Om Ali udah pulang ya, Bi?" "Sudah, Non. Mungkin di dalem kamarnya." "Tadi Om nanyain aku nggak, Bi?" "Nggak kok, Non. Pak Ali tadi langsung naik keatas. Sepertinya Pak Ali capek dan langsung istirahat!" Bagus. "Ya udah, aku naik dulu ya, Bi!" Aku langsung naik ke lantai atas. Suasana rumah sedikit sepi dan mungkin bener apa kata Bibi Pan, Om Ali udah istirahat. Aku mengendap masuk kedalam kamar dan berusaha menutup pintu sepelan mungkin. Takut aja kalau Om Ali sampai denger dan nyamperin ke kamarku. "Huuuft. Capeknya!" desahku setelah mendaratkan tubuh dikasur kesayanganku. "Capek?" Mataku membulat sempurna. Kepalaku menoleh kearah jendela dan disana Om Ali berdiri sambil bersedekap. Salivaku tiba-tiba terasa susah ditelan. Aku bangkit dari tiduran dan duduk di tepi tempat tidur. "Om Ali?" panggilku pelan. Om Ali memutar tubuhnya menghadap ke jendela dan menatap kearah luar. "Itu tadi siapa?" tanyanya dingin. "Mm, temen sekolah!" jawabku sekenanya. Tapi beneran temen sekolah kan? "Teman atau pacar?" selidik Om Ali. Aku diem dan memilih bungkam. Om Ali menoleh dan melangkah pelan menghampiriku. "Aku tidak pernah mengajarimu untuk berbohong dan kau tau? Aku tidak akan pernah bisa percaya pada orang yang telah membohongiku!" "Tapi, Om---" Satu telunjuk Om Ali terangkat dan membuatku diam seketika. "Kau tidak masuk sekolah dengan alasan sakit perut. Menelponku dan memintaku membelikan obat pereda nyeri!" Tangan Om Ali merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebotol minuman pereda nyeri. Tanpa aku duga, Om Ali melemparkan botol itu ke lantai dan pecah seketika. Mataku terpejam rapat dan tubuhku seketika bergetar hebat. Mataku perlahan basah. "Aku abaikan harga diriku demi membeli minuman itu. Apa kau bisa menghargai itu?" Om Ali menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Aku sudah katakan berkali-kali. Jangan keluar rumah tanpa seijinku. Tak bisakah kau menuruti perintahku?" Om Ali menyeret kakinya melangkah keluar kamar dan membanting pintu kamar dengan keras. Saat itu juga mataku terbuka. Aku sadar, disini aku yang salah. Aku bangkit dari tempat tidur dan membersihkan pecahan-pecahan beling dilantai kamar. Aku harus minta maaf sama Om Ali. 》》》》》 Niatanku untuk minta maaf sama Om Ali tertunda karena luka diujung telunjukku. Lukanya cukup dalam dan membuatku mati-matian menahan isak tangis. Aku paling nggak bisa nahan sakit sekecil apapun. Sebuah perban membungkus telunjukku. Setelah lantai kamarku bersih, berkat bantuan Bibi Pan tentunya, aku melangkah ke kamar mandi. Seharian jalan sama Nick membuat tubuhku terasa lengket dan sedikit bau keringat. Mungkin setelah mandi nanti aku bakalan minta maaf sama Om Ali. Karena hari udah malem jadinya aku mandi singkat, nggak pakai acara berendam segala. Membelitkan handuk piyama ke tubuh, aku melangkah keluar kamar mandi. "ASTAGHFIRULLAHAL ADZIIM!!" teriakku saat baru saja kakiku menapak di lantai marmer kamar. "Om Ali?" seruku pelan. Om Ali nggak menjawab dan melangkah maju. Aku sempat menatap tubuh atletisnya yang hanya dibalut kaos oblong putih. Kalau kayak gini Om Ali nggak keliatan tua, malahan kayak anak SMA. "Jarimu terluka?" tanyanya langsung. Aku mengangguk dan mengangkat jari telunjukku. "Udah nggak pa-pa kok, Om!" Om Ali menghentikan langkahnya tepat di depanku dan tangannya langsung meraih jemariku, meneliti perban yang membalut telunjukku. "Apa lukanya parah?" Aku menggeleng pelan. "Lumayan dalem tapi udah nggak pa-pa, Om!" Ada desiran aneh saat bolamata hitam itu menatap lurus kearahku. Jarak wajah kami hanya beberapa senti meter aja dan aku bisa mencium aroma parfum Om Ali. Aroma yang mampu melemparku kemasa lalu, masa kecilku. Masa disaat Om Ali selalu menggendongku. Masa disaat Om Ali selalu memelukku. "Maaf!" ucapnya tiba-tiba. Aku menggeleng cepat. "Bukan Om yang salah. Harusnya aku yang minta maaf. Aku nggak jujur sama Om Ali. Maaf!" Satu sudut bibir Om Ali terangkat, mencetak sebuah senyum tipis. "Apa yang kau lakukan seharian ini dengannya?" Aku menelan saliva pelan sebelum menjelaskan. Apa Om Ali bakalan marah lagi kalau denger ceritaku? "Mm, aku--aku tadi nonton sama Nick habis gitu aku ke pantai buat liat Sunset!" "Sunset?" Aku mengangguk. "Tau nggak, Om. Ternyata sunset itu bagus ya. Baru kali ini aku liat yang gituan. Sunsetnya aja bagus, gimana dengan sunrise ya?" ucapku dengan menggebu. "Kau ingin melihatnya?" tanya Om Ali. Spontan aku mengangguk cepat. "Tapi kayaknya mustahil!" ucapku lesu. "Kenapa?" Aku menatap wajah datar Om Ali. Antara yakin dan nggak yakin untuk mengatakannya. "Om Ali mana mungkin ngijinin aku liat sunrise?" Raut wajah Om Ali seketika berubah dan aku sadar, ada yang salah dengan omonganku barusan. "Hehehehe, becanda kok, Om!" "Tidurlah. Sudah malam!" putusnya tiba-tiba dan melangkah cepat meninggalkan kamar. "Om Ali marah lagi, ya?" Pertanyaanku mampu membuat langkah Om Ali terhenti. Aku dengan hati berdebar menunggu jawaban Om Ali. "Pasang alarmmu jam 3. Kupastikan, kau akan melihat sunrise pagi besok!" 》》》》》 Surabaya 25 Agustus 2018 18.11 》AyaStoria《
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD