3. Bukan Salah Jodoh

1274 Words
“Parveen, ke sini sekarang!” Tiba-tiba terdengar suara mengejutkan dari intercom membuat Parveen hampir saja menjatuhkan diri dari kursi, lalu dengan cepat ia pun membereskan berkas-berkas hasil observasiannya di loker meja. Kemudian, bangkit untuk masuk ke dalam ruangan Fairel yang berada tepat di depannya. “Bapak memanggil saya?” tanya Parveen menatap Fairel yang berdiri menghadap dinding kaca sembari memegang ponselnya erat. “Iya,” jawab Fairel sembari membalikkan tubuhnya menatap Parveen tanpa ekspresi, membuat gadis itu sedikit gemetar. “Cepat bereskan kontrak kerja perusahaan yang saya bilang tadi. Siang ini ada penandatanganan yang akan dilakukan secara formal.” “Baik, Pak!” Parveen mengangguk mantap dengan tetap menunduk menatap sepasang high heels-nya yang terlihat cantik dengan warna hitam pekat. “Kalau sudah, saya tunggu di basement!” Fairel meraih kunci mobil yang ada di mejanya, lalu terdiam sesaat. “Kamu bisa menyetir?” Perlahan Parveen mengangkat kepalanya menatap Fairel yang juga menatap dirinya. Mereka berdua terdiam sesaat saat tatapan itu terkunci tiba-tiba. Tidak ada yang berani memutuskan kontak mata, selain Fairel yang tersadar akan perlakuannya. Fairel mengangkat alis kanannya menatap Parveen yang tidak kunjung menjawab. “A-ah! Bisa, Pak,” jawab Parveen sedikit gugup akan tatapan tadi. Entah kenapa ia terlihat tidak asing dengan tatapan itu, membuat batinnya sedikit merasa salah tingkah. Setelah itu, Parveen bergegas pergi dari ruangan Fairel sebelum lelaki itu mengetahui sikapnya yang sempat gugup tadi. Jujur saja, ia masih tidak menyangka akan menjadi sekretaris pribadi dari bos besar perusahaan. Padahal jabatan sebelumnya, Parveen hanya menjadi resepsionis, lalu menaiki jabatan begitu tinggi membuat dirinya sedikit menyesuaikan lingkungan. Sepeninggalnya Parveen, Fairel langsung melenggang pergi ke arah meja kerjanya, lalu membuka salah satu loker untuk mengambil salah satu dari beberapa kunci mobil yang ada di sana. Ia menjatuhkan pilihan pada mobil mewah yang baru saja dirinya beli sebelum rilis di pasaran. Tentu saja Fairel berniat untuk menyesuaikan tinggi Parveen yang hanya sebatas pundaknya saja. Sangat tidak mungkin ia menggunakan mobil lebih tinggi, sedangkan sekretaris pribadinya saja sangat mungil. Sesampainya di basement, mata Fairel langsung terpaku pada punggung mungil yang kini membelakangi dirinya. Entah kenapa ia merasa kalau gadis itu tidak mengenali dirinya lagi. Hal yang membuat lelaki itu sedikit tidak mengerti. “Ayo!” ajak Fairel tiba-tiba membuat Parveen terkejut dan hampir saja limbung ke belakang kalau tidak lengan kekar itu melingkari pinggang ramping miliknya dengan kurang ajar. Sejenak keduanya bertatapan dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Parveen akui bahwa wajah Fairel sangatlah tampan. Akan tetapi, ada satu yang mengganjal di hatinya, yaitu ia seperti pernah mengenali lelaki itu sebelumnya. “Ma-maaf, Pak!” sesal Parveen tersadar akan dari perbuatannya, lalu meringis pelan melihat ekspresi datar Fairel. Ia jadi penasaran, apakah lelaki itu selalu berekspresi sama? “Saya benci orang meminta maaf,” sinis Fairel tajam, lalu menyerahkan kunci mobil tadi pada Parveen, kemudian lelaki itu melenggang pergi memasuki mobil yang telah ia buka. Sedangkan Parveen hanya mengerjap pelan mencerna ucapan lelaki itu, lalu mengikuti langkahnya menuju salah satu deretan mobil mewah berwarna hitam mengkilap. Ia yakin kalau itu adalah mobil baru. Terlihat jelas sekali dari warna cat yang masih baru dan mulus. Parveen menjadi sanksi kalau membawa mobil sebagus ini di tengah jalan macetnya ibukota. Akan tetapi, ia tidak mempunyai cukup nyali untuk menolak permintaan bosnya. Sebab, Fairel sudah bertanya tadi, dan tidak mungkin Parveen menolak dengan alasan tidak bisa mengendarainya. Perlahan mobil mewah itu meninggalkan area basement menuju perusahaan terbesar di Jakarta. Jalanan padat merayap mulai menyambut penglihatan Parveen yang terfokus menatap ke depan sembari sesekali mengatur persneling ganda dengan lihai, sebab ia pernah mempunyai mobil seperti ini, walaupun hanya sebentar saja. “Rute perjalanan sudah ada diatur, Pak?” tanya Parveen tetap menatap lurus ke depan. “Sudah,” jawab Fairel singkat sembari menatap ke arah luar jendela. Setelah itu, keadaan mobil pun menjadi hening, membuat Parveen sesekali melirik spion tengahnya yang menampilkan wajah datar Fairel. Ia menjadi penasaran bagaimana wajah Fairel saat tersenyum, tetapi rasanya mustahil. Lelaki itu selalu berwajah dingin, membuat Parveen terkadang kesal sendiri dan memilih untuk membiarkannya saja. Akan tetapi, siapa sangka kalau Fairel juga diam-diam melirik Parveen yang sesekali menghela napas panjang, membuat lelaki tampan berjas hitam formal itu mengangkat alis kanannya bingung. Sebuah perusahaan raksasa dengan tinggi 56 lantai itu tampak menjulang tinggi dengan dinding kaca yang transparan. Awan putih nan cerah menyinari gedung bertingkat tinggi itu sehingga memberikan kesan mewah sekaligus elesan saat siluet silau menyinari sebagian sisi gedung. Sejujurnya, ini pertama kalinya Parveen datang ke perusahaan besar setelah milik Daiyan. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menyangka kalau akan datang ke perusahaan lebih besar daripada milik Daiyan. Dan ia sama sekali tidak menyangka pula kalau perusahaan ini adalah milik ibu dari kedua anak lelaki yang sukses di usia muda, yaitu Daiyan dan Fairel. Wanita paruh baya berpakaian blazer formal itu tampak memeluk Fairel erat, lalu menatap dirinya berbinar. Akan tetapi, langsung dicegah oleh Fairel saat wanita paruh baya itu hendak mendekati Parveen yang berdiri tidak jauh dari mereka. Kini, ketiganya tengah berada di ruang rapat sembari menatap satu sama lain. Daiyan yang datang sendirian pun tampak tenang, tidak dengan Fairel yang berkali-kali menghela napas pelan melihat senyuman tersirat dari orang tuanya. “Baik. Semuanya telah hadir di sini, jadi mari kita mulai saja,” ucap wanita paruh baya yang Parveen tahu namanya adalah Khanzania. Seorang ibu dari kedua anak lelaki tampan di hadapan dirinya. “Terima kasih, Bu Khanza,” balas Daiyan formal, lalu menatap Fairel yang tampak tenang. “Seperti yang telah disetujui kemarin. Kontrak yang akan kita tandatangani sebesar 1 milliar dengan deposito dari bank sebesar 700 juta rupiah. Maka dari itu, kesepakatan kemarin kita hanya akan memberikan sponsor 1 milliar saja untuk pembangunan properti yang akan dijalankan oleh Pak Fairel.” Khanzania terlihat mengangguk singkat mendengarkan penjelasan Daiyan yang terlihat sangat resmi, walaupun ketiganya memiliki hubungan keluarga. Sedangkan Fairel tetap tenang dengan posisinya yang tepat menghadap Daiyan. “Apa masih ada yang keberatan dengan kontrak ini?” tanya Daiyan menatap keduanya satu per satu. “Tidak!” jawab Khanzania dan Fairel kompak. “Baik, mari kita tandatangani kontrak ini bersama,” ucap Daiyan tersenyum tipis, lalu mulai memencet ujung pulpennya, kemudian mulai menorehkan tanda tangan pada kontrak kerja yang akan diberlangsungkan besok. Sedangkan dua orang lainnya mengikuti hal yang sama seperti Daiyan lakukan. Sementara Parveen, kerjaan gadis itu hanya menatap ketiganya dengan diam. Walaupun di depan tadi ia sempat bertemu dengan salah satu rekan kerjanya yang bernama Kiara Ariyanti. Akan tetapi, gadis itu masih memiliki urusan lain sehingga tidak bisa menemani Parveen lebih lama. Setelah selesai, ketiganya langsung bangkit dan berjabat tangan menandakan kontrak kerja mereka sepakat untuk dikerjakan. Terlihat sangat formal kalau bagi mereka yang tidak mengetahui hubungan ketiganya. Akan tetapi, setelah berjabat tangan itu ketiganya langsung tertawa bersama, tetapi tidak dengan Fairel yang tetap tenang dengan ekspresi datarnya. “Mamah tidak menyangka kalau kamu bakalan datang ke sini,” ucap Khanzania mengawali pembicaraan. “Sebenarnya, bukan rencana juga, Mah. Tapi, Daiyan sengaja mendadak begini. Soalnya, ada yang punya sekretaris baru,” balas Daiyan sedikit menyindir Fairel yang tampak mendelik kesal. “Oh iya, Mamah hampir lupa!” seru Khanzania heboh, lalu menatap Fairel dengan tersenyum menggoda. “Fai, kamu punya sekretaris baru? Kenalin ke Mamah dong! Masa diam aja.” Fairel memutar bola matanya malas. “Buat apa, Mah? Lagi pula Mamah udah lihat orangnya, kan?” “Tapi ‘kan, Mamah maunya dikenalin sama kamu,” ucap Khanzania bersikeras membuat Fairel mau tak mau menuruti kemauan orang tuanya. “Ini Parveen, Mah. Sekretaris pribadi Arel yang baru,” ucap Fairel malas. “Bohong, Mah! Calon istri!” celetuk Daiyan tertawa lebar, membuat Fairel hampir saja menjatuhkan rahangnya mendengar perkataan dari kakaknya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD