Chapter 13: Penyelamatan Nandini

2208 Words
“Lapor, Patih Anepaken. Semua bandit sudah kami tangkap dan diikat di pohon.” Dua orang prajurit dengan lambang kerajaan Sunda memberi hormat pada Saniscara yang berdiri di sebelah pohon besar. Pria itu mengangguk lalu mengikuti kedua bawahannya tersebut menuju tempat ditangkapnya para bandit. Di sana, para bandit yang rata-rata adalah pria dengan wajah seram sedang berteriak meminta untuk dilepaskan. Saniscara mengambil sebuah pecut dari tangan salah seorang prajurit dan melepaskan serangan ke tanah. Ctas! Semuanya terdiam. Takut akan tajamnya cambuk yang mungkin saja bisa membelah tubuh mereka menjadi dua bagian. Saniscara lalu mendatangi salah seorang bandit, paling tenang di antara mereka semua, yang ia kira adalah pemimpin dari komplotan penjahat tersebut. “Katakan padaku, Kisanak, apa semua anak buahmu ada di sini?” Pria itu tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil, seolah meremehkan. “Silahkan hitung sendiri, Patih. Aku mendengar sebuah rumor bahwa kau adalah patih yang perkasa dari negeri Sunda, aku rasa rumor tersebut tidak benar jika kau tidak bisa menangkap kami semua yang hanya bandit jalanan. Hahaha! Argh!” Satu tinjuan keras melayang tepat di sisi wajah pemimpin bandit itu, semua yang ada di sana kaget, tidak terkecuali para bawahan Saniscara yang merinding ngeri membayangkan betapa sakitnya bekas tinju sang patih. Saniscara mencengkeram baju pemimpin bandit itu lagi, yang kini ketakutan setelah dua gigi gerahamnya patah akibat satu serangan. “Aku tidak akan mengulangi perkataanku. Apa semua anak buahmu sudah ada di sini? Jawab atau kau akan kehilangan seluruh gigimu sekarang juga.” “Hiiik! Maafkan aku! Maafkan aku! Hei kalian bandit-bandit bodoh, apa semuanya sudah ada di sini? Cepat jawab aku, sialaaaan!” Pemimpin bandit itu berteriak gelisah. Darah segar mengucur dari sudut bibirnya, bekas dari gigi yang rontok paksa. “Pujo dan Sadin tidak ada di sini, Bos. Kemungkinan mereka berhasil kabur.” “Kau sudah dengar, kan? Itu bukan salahku. Carilah mereka sendiri.” Saniscara mendecih kesal, ia berpaling dan menatap bawahannya untuk segera pergi mencari dua bandit yang tersisa. Dia juga bersiap-siap untuk ikut menyusuri hutan, sebelum sebuah suara teriakan terdengar dari arah barat. Saniscara langsung berbalik dan mengacungkan keris tepat di permukaan leher pemimpin bandit. “Aku sudah mengatakan hal yang sejujurnya!” pekik pria dengan bekas luka melintang di pipinya itu, menggigil takut melihat betapa tajam keris sang patih yang telah diasah bertahun-tahun di medan peperangan. Dia lalu teringat sesuatu. Pemimpin bandit itu menatap Saniscara yang terlihat marah. “Aku ingat. Pujo dan Sadin adalah kurir untuk bisnis perdagangan manusia. Mereka hanya bergabung ke kelompok ini untuk mencari nama, semua orang di sini juga membenci mereka karena perbuatannya yang sangat keji pada wanita. Mereka senang mempermainkannya bahkan sampai memperko—” “Semuanya! Cepat cari sumber suara itu!” Saniscara menarik kerisnya dan berbalik. Ia mengepalkan telapak tangannya kuat, entah mengapa perasaannya menjadi tidak enak. “Siap!” Semua prajurit yang berasal dari kerajaan Sunda dan ikut mengiringi perjalanan sang ratu dan putri langsung berpencar untuk menemukan asal dari teriakan tersebut. Saniscara mengikuti mereka dari belakang, ia meninggalkan sepuluh prajurit bersenjata untuk menjaga tawanan bandit agar tidak bisa kabur. Saniscara memiliki firasat buruk bahwa teriakan itu mirip dengan suara Pitaloka. Perasaanku menjadi tidak karuan. Aku berharap semoga engkau baik-baik saja, Putri. *** “Hosh, hosh. Mereka pergi ke arah mana, sih? Aku tidak bisa menemukan jejak mereka sedikit pun.” Loka berhenti sejenak. Ia bersandar di sebuah pohon besar yang daunnya rindang seperti sebuah kubah. Ia sudah berlari sejak sepuluh menit yang lalu, melintasi semak belukar yang ujung batangnya cukup tajam sampai membuat goresan tipis di kaki jenjang miliknya. Loka mengusap peluh yang menetes deras di pelipisnya, ia kehilangan jejak dari dua bandit yang menculik Nandini. “Aaaaah!” “Nandi?” Loka terkesiap. Ia melanjutkan pencariannya ke arah barat, tempat di mana suara itu muncul. Loka menggenggam tongkat kayu di tangannya erat. “Aku pasti bisa menyelamatkannya. Jangan takut, Loka. Coba ingat, kamu sudah pernah menjatuhkan maling dompet Kakek waktu itu. Kali ini kamu pun bisa melakukannya.” Loka berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri. Ia menyibak beberapa semak belukar untuk memotong jalan dan mendekat ke sumber suara lebih cepat. Ia terkejut saat melihat Nandi dan kedua bandit itu sedang duduk di tepi danau tempatnya pertama kali terbangun di masa lalu. Nandi diikat dengan tali jerami dan mulutnya disumpal menggunakan kain lusuh. Ia tergeletak di atas tanah sembari menangis ketakutan. Kedua bandit, Pujo dan Sadin tengah duduk berhadapan sambil mengatakan sesuatu. “Din, apa kita harus menculik gadis lainnya juga? Aku dengar dari bos ada gadis yang sangat cantik di desa ini. Jika kita menangkap dan menjualnya pada Gembong, untung banyak kita, Din.” “Gila kamu, Jo?” “Lah, kok aku dikatain gila, sih, Din? Bagus tenan ideku, kan?” Sadin menatap sekeliling sejenak dan membuat Loka terpaksa memasukan kembali kepalanya ke balik semak-semak, takut persembunyiannya terbongkar. Sadin lalu mendekatkan wajahnya pada Pujo, berbisik pelan, “Bos dan semua anggota bandit sudah tertangkap oleh patih yang menjaga wilayah ini. Hanya tersisa kita berdua. Apa kamu mau kepalamu tergantung di depan gerbang desa jika masuk ke wilayah itu lagi?” Pujo menggeleng cepat. “Kamu benar, Din. Satu wanita ini juga cukup menguntungkan bagi kita, meski wajahnya tidak terlalu cantik. Paling terjual sekitar dua ratus Kepeng. Setelah itu ayo kita pasang judi di Omah Sabung, kita bisa kaya-raya, Din.” “Hust! Jangan keras-keras, Jo.” Loka mengernyit kecil. Omah Sabung? Apa itu tempat perjudian seperti kasino? Ia lalu menepis pemikiran itu cepat. Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan masalah lain! Loka harus mengatur strategi untuk menyelamatkan Nandi dan mencari celah di mana para bandit itu lengah. Loka terlalu banyak berpikir sampai-sampai ia tidak sadar bahwa matahari mulai muncul dari ufuk timur, beriringan dengan kokokan ayam jantan yang gagah mempesona. Kedua bandit itu menguap. “Jo, aku mau tidur dulu. Bangunkan aku saat hari sudah terang.” Sadin mengucek matanya yang mengantuk dan memilih untuk tidur dengan kepalanya yang bersandar pada batu besar di pinggiran danau. Pujo tidak tertidur. Ia mengasah parang miliknya sambil menunggui Nandini yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dalam diam. Loka menggigit bibirnya kuat. “Ini kesempatanku!” Dia berjalan mengendap-endap di balik semak dan menggenggam sebuah batu yang berukuran cukup besar. Ia mengembuskan napasnya perlahan, Loka harus melakukan ini secara cepat atau semuanya akan kacau berantakan. Loka membuka matanya. Sorotnya terlihat tenang dan tajam, bagai mata silet yang siap mengiris apa pun. “Aku pasti bisa.” Glutak! Pujo terkejut. Parang yang ia pegang sedari tadi, kini terjatuh dan menancap kuat di tanah basah. “Siapa di sana?” tanyanya, tatapannya terlihat waspada. “Cepat keluar sebelum aku yang datang ke sana dan menangkapmu.” Pujo yang ketakutan lalu mengeluarkan ancaman kosong, ia sudah berniat untuk kabur apabila yang muncul adalah seorang prajurit atau patih Anepaken. Pujo mendecih kesal karena tak kunjung mendapatkan jawaban. Ia tidak membangunkan Sadin yang sedang tertidur pulas dan berjalan perlahan menuju arah suara itu berasal. “Sekarang!” Loka keluar dari balik semak-semak dan menghampiri Pujo yang terkejut dan kebingungan melihat ada seseorang berlari di belakangnya. Dia seperti membeku untuk sesaat. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Loka mengayunkan tongkat kayu tepat di tengkuk Pujo dan membuat pria itu tumbang dalam sekali serangan telak. Loka buru-buru menghampiri Nandini yang juga sama terkejutnya. “Mmmph! Mmph!” pekiknya kuat, tetapi tidak terdengar jelas akibat kain yang menyumpal mulutnya. Nandini terus menggelengkan kepalanya, melarang Loka untuk mendekat ke arahnya. Namun, Loka tidak menggubris bahasa tubuh Nandini dan mengambil parang milik Pujo untuk memotong tali jerami yang mengikat tubuh Nandini. “Tenanglah, Nandi. Aku datang untuk menyelamatkanmu.” Tali yang mengikat pergelangan tangan Nandini sudah terlepas. Gadis itu buru-buru melepas ikatan kain yang menyumpal mulutnya dan memasang ekspresi gelisah tatkala Loka masih sibuk memutus ikatan tali di pergelangan kakinya. “Kanjeng Putri, apa yang anda lakukan di sini? Cepatlah lari dan bersembunyi. Mereka adalah bandit berbahaya yang tidak akan segan-segan menyakiti anda. Cepatlah pergi! Jangan hiraukan pelayan rendahan seperti saya. Saya akan menahan mereka untuk anda berlari, Kanjeng Putri.” “Apa yang kau katakan, Nandi?” Loka mengernyit tidak paham. “Aku datang kemari untuk menyelamatkanmu dari mereka. Ayo pergi sebelum pria di sana bangun.” Sadin membuka matanya perlahan, ia mendengar keributan yang membuatnya terbangun dari tidur pagi. Matanya terbelalak saat melihat Pujo sudah tumbang di atas tanah dengan darah yang mengucur deras dari balik kepalanya. “Pujo!” Teriakan Sadin mengejutkan Loka dan Nandi. Mereka mengangguk kecil tanda sepakat dan berlari pergi menjauhi Sadin—salah satu bandit yang masih sadar dan kembali ke rumah peristirahatan untuk mencari bantuan orang lain. “Hei! Kalian mau ke mana? Sial!” kesal Sadin saat melihat mangsanya kabur. Ia menggoncangkan tubuh rekannya tersebut kuat-kuat, berharap agar ia cepat sadar meski hal itu tidak mungkin, mengingat betapa kerasnya Loka memukul tengkuk lehernya. “Pujo, cepatlah bangun dasar babi tidak berguna!” Sadin yang kesal akibat Pujo tak kunjung sadarkan diri juga, akhirnya memilih untuk mengejar Loka dan Nandini sendirian. Dia mengambil parang milik Pujo yang tergeletak di atas tanah setelah digunakan Loka dan berjalan menuju arah yang sama dengan rute pelarian Loka. “Mereka hanya dua gadis yang tidak bisa melawan balik. Aku akan menangkapnya sendiri. Lalu semua keuntungannya hanya untukku, dasar Pujo sialan, dia benar-benar tidak berguna. Heh.” “Kanjeng Putri, kita harus pergi ke mana?” Nandi bertanya di sela-sela pelarian mereka. Loka kelabakan. Ia justru kabur semakin dalam ke wilayah hutan Babad. Meski matahari sudah menerangi jalan setapak dan bebatuan di depan mereka, Loka sama sekali tidak tahu di mana mereka berada saat ini. Bisa gawat kalau sampai tertangkap oleh bandit itu, aku harus mencari tempat persembunyian. “Nandi, apa kamu bisa mencari arah? Pokoknya, kita harus pergi ke rumah penduduk atau keramaian orang. Bandit itu pasti tidak bisa menyerang jika kita bersama orang lain.” Mereka berdua lalu berhenti sejenak. Nandini menjilat jarinya dan mengacungkannya ke atas. Loka terperangah. Ini cara yang biasanya digunakan oleh anak pramuka, melihat arah angin! Waaah, kau benar-benar hebat, Nandi! Nandi memejamkan matanya. Ia merasakan aliran angin yang melewati jari telunjuk miliknya. Dia lalu membuka kedua netranya kembali. “Kita ada di arah barat daya, Kanjeng Putri. Seharusnya ada pemukiman penduduk di sekitaran sini.” “Begitu? Baguslah. Ayo kita lanjut berlari. Perasaanku tidak enak jika kita terus berdiam diri di sini.” Loka kembali melangkahkan kakinya. Ia dan Nandi pasti akan selamat. “Baik, Kanjeng Putri.” *** “Kanjeng Prabu, mengapa anda ingin datang ke tempat ini lagi?” Dharma bertanya, tetapi suaranya terdengar lelah. Hayam Wuruk melepaskan tudung jubah yang menutupi kepala dan identitasnya itu, lalu menatap sebuah pemukiman kecil yang ada di depannya. Mereka kembali lagi ke Babad, wilayah pinggiran di Trowulan, tempat di mana Hayam Wuruk bertemu dengan seorang gadis malang yang hampir dinodai oleh bangsawan tidak bermoral. “Aku hanya ingin melihat keadaan sekitar.” Dharma langsung menimpali, “Tetapi, anda cukup mengirim saya saja jika ingin mengawasi gadis yang anda tolong kemarin lusa.” Hayam Wuruk menoleh. Ia tidak menyangka Dharma memiliki intuisi yang tajam. Dalam sekejap dia bisa mengetahui tujuan asli dari kedatangan rahasia raja Majapahit itu ke tempat terpencil ini. Bahkan sampai harus keluar diam-diam dari istana pada dinihari. Meski aslinya, bukan hanya itu tujuan Hayam Wuruk. Ia ingin mencari informasi mengenai perjudian gelap yang bernama Omah Sabung, kasus yang akhir-akhir ini sedikit meresahkan kerajaan karena meningkatnya pencurian serta perampokan rumah rakyat. Hayam Wuruk yakin bahwa dalang dari perjudian itu adalah salah satu abdi ndalem yang menilap harta kerajaan dan memulai teror ini. Jika tidak segera ditemukan akar masalahnya, kemiskinan dan kelaparan akan menyapu Majapahit. “Jadi, apa anda menyukai gadis itu?” “Apa?” Hayam Wuruk mengernyit kecil. Ia tidak paham dengan pertanyaan Dharma yang terdengar begitu tiba-tiba. Memang, Hayam Wuruk merasa sedikit khawatir dengan gadis malang itu jika saja bangsawan yang mengincarnya mengirim orang jahat untuk melukainya. Dia sedikit mirip dengan Nertaja, adik perempuannya. Oleh karena itu, Hayam Wuruk tidak bisa melihatnya menderita. “Lalu—” “Berhentilah mengatakan omong kosong. Cepat ikuti aku.” “Baik, Kanjeng Prabu.” Hayam Wuruk melangkah ke luar dari balik pepohonan. Ia memasang kembali tudung jubah yang langsung menutupi penampilannya. Dharma mengikutinya dari belakang dan tidak menanyakan apa pun lagi. Memang sedari awal tugasnya hanya untuk mengawal dan mendampingi sang raja dalam perjalanan ‘ilegal’ di luar istana. Dharma sendiri tidak tahu, mengapa pria nomor satu di Majapahit itu justru meminta dirinya untuk menemani perjalanan sang raja dan bukan patih kerajaan atau prajurit yang telah terlatih untuk mengalahkan musuh. Dharma hanya keturunan bangsawan rendah yang menyukai buku serta ketenangan. Sejak bertemu dengan Hayam Wuruk kecil, dia sudah merasa bahwa hidupnya ke depannya tidak akan tenang seperti harapannya. Namun, sekarang Dharma memilih untuk tidak memikirkan hal itu lebih jauh. Dia cukup memberikan segala yang ia miliki untuk melayani sang raja muda tersebut tanpa terkecuali, nyawanya sendiri. Hayam Wuruk berhenti mendadak. “Ada apa, Prabu?” “Kau tidak mendengar teriakan itu?” Teriakan? Batin Dharma. Ia mencoba untuk memfokuskan indera pendengaran miliknya dan ternyata benar, lamat-lamat ia mendengar suara teriakan wanita dari kejauhan. Dharma buru-buru membuka matanya kembali. “Anda benar, saya mendengar teriakan dari arah belakang kita.” Keduanya berbalik. Mereka kemudian melihat ada dua sosok yang berlari dari arah hutan. “Tolong kamiiii! Siapa puuun!” Hayam Wuruk melebarkan matanya kaget. “Gadis itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD