Chapter 14: Pertemuan dan Dilema

2290 Words
“Tolong kamiiii! Siapa puuun!” Loka berteriak frustasi. Kedua kakinya sudah pegal karena terus-terusan bermain kejar-kejaran dengan bandit yang tidak mau menyerah untuk menangkap mereka berdua. Sadin tertinggal di belakang, tetapi Loka memiliki firasat jika pria bertubuh besar sepertinya mampu menangkap mereka kapan saja jika ada celah yang terlihat. “Putri! Lihat, ada pemukiman warga di depan kita!” Loka mengernyit kecil, mencoba untuk memastikan apa yang ada di ujung jalan setapak ini benar-benar sebuah pemukiman atau bukan. Ia lalu tersenyum lebar penuh harapan. “Kau benar, ayo cepat kita pergi ke sana dan meminta bantuan salah satu warga—AH!” Loka tersandung akar pohon besar yang mencuat dari balik tanah. Suaranya berdebum keras saat tubuh Loka menghantam tanah gembur di wilayah Majapahit. Daripada kesakitan, Loka justru malu karena terjatuh di hadapan Nandi. Mau ditaruh mana mukaku? Aku sudah tidak bisa bersikap selayaknya putri yang anggun dan elegan lagi di hadapan Nandi. Loka, kau benar-benar tidak bisa diharapkan. “Putri! Anda baik-baik saja?” Loka berusaha bangkit dari posisi tengkurap dan menepuk telapak tangannya yang kotor. “Mana mungkin aku baik-baik saja setelah terjatuh dengan suara sekeras itu, Nandi …,” lirih Loka. Ia ingin menangis saking malunya. Loka menatap sekeliling. “Tidak ada orang lain yang melihatku terjatuh, kan?” “Duh, anda ini. Seharusnya anda cemas dengan luka dan lebam di tubuh anda, Kanjeng Putri.” Nandini menghampiri Loka yang masih terduduk di atas tanah dan ikut membersihkan kemben milik Loka yang penuh dengan butiran tanah menempel. “Pepatah mengatakan, luka luar bisa disembuhkan dengan cepat. Namun, luka dalam justru bertahan selamanya. Maka dari itu, aku tidak mau ada orang lain yang melihatku dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Terlebih lagi aku adalah putri dari kerajaan—” “Ketemu kalian! Pelaacur tengik. Berani-beraninya kalian membuatku berlari sejauh ini … hosh, hosh.” Sadin sudah berada di belakang Loka dan Nandini. Dia kelihatan lelah setelah berlari lama dan kesusahan mengatur napasnya sendiri. Meski demikian, tidak menghilangkan fakta bahwa Sadin sudah berhasil mengejar mereka. “Mari, Putri. Kita pergi sekarang.” “Baiklah!” Loka buru-buru berdiri dan hendak berlari kembali. Namun, ia langsung terduduk begitu merasakan nyeri yang luar biasa dari pergelangan kaki kirinya. “Putri?” Nandini terkejut. Loka menatapnya nanar. “Se … sepertinya kakiku terkilir, Nandi. Pergilah sendiri dan selamatkan dirimu. Aku akan menghentikannya di sini sekuat yang kubisa.” Dia mendorong tubuh Nandi menjauh. Loka menggigit bibirnya keras. Apa aku akan mati di tempat ini, sekarang juga? “Dasar bodoh, kalian tidak akan bisa kabur dariku meski berlari kemana pun. Datanglah kemari, aku pasti akan memperlakukan kalian dengan lembut, terlebih Nona yang sangat cantik itu. Khi, khi, khi, khi!” Sadin mengeluarkan tawa jahat. Ekspresi wajahnya juga sama mengerikannya. Nandini dan Loka menahan tangis mereka yang hampir pecah karena rasa takut yang menjalar dengan begitu cepat. Bugh! Sadin terjatuh dan tidak sadarkan diri. Loka mengerjap kaget. Dia lalu melihat ada sosok lainnya yang berdiri di belakang Sadin dan memukulnya menggunakan sebuah batu. Bukan hanya satu, melainkan dua sosok yang kini berjalan mendekati mereka. Nandini refleks berdiri di depan Loka yang tidak bisa berjalan seolah insting alami untuk melindungi tuannya. “Siapa kalian?” “Tenanglah, kami berniat untuk membantu kalian berdua.” Mereka kemudian berhenti dan membuka tudung. Loka hampir saja melanga karena melihat tampang mereka yang begitu rupawan. Dua pria muda dalam usia matang. Betapa diberkatinya mata Loka saat ini. Terima kasih Tuhan, terima kasih karena telah mengirimku ke masa lalu untuk melihat wajah warisan dunia ini! Loka bahkan tidak berkedip saat menatap salah satu pria yang memiliki kulit kuning langsat dan paras mirip seperti salah satu aktor terkenal—Loka lupa siapa namanya, dia hanya menonton drama korea sepanjang hidupnya, sehingga tidak begitu memperhatikan kehidupan selebritas di negerinya sendiri. Pria itu kemudian mendekati Sadin yang tidak sadarkan diri. “Apa dia seorang bandit?” “Iya!” sahut Loka cepat dan keras, mengagetkan ketiga orang yang berada di sekitarnya itu. Merasa malu, Loka menggaruk tengkuknya pelan sembari melanjutkan perkataannya. “Dia adalah salah satu anggota dari kelompok bandit yang sudah merusuh di wilayah ini. Aku melihatnya menculik Nandi—maksudku pelayanku dan langsung mengejarnya. Kami berhasil kabur sampai ke sini dan diselamatkan olehmu. Te-terima kasih banyak.” Loka sudah tidak mau membayangkan betapa merahnya wajahnya saat ini. Ia berbicara sambil terus dipandangi oleh pria tampan sepertinya, Loka bisa saja meleleh dalam hitungan detik. “Kau mengejarnya?” Hayam Wuruk meneguk ludahnya. Dia memang sering melihat pejuang wanita yang berani menghadapi penjahat dan menguasai jurus dari padepokan beladiri. Namun, ia tidak menyangka wanita dengan wajah lembut dan tubuh yang terlihat ringkih sepertinya memiliki keberanian sebesar itu. Dia benar-benar tidak habis pikir. Loka mengangguk canggung. Hayam Wuruk kembali menatap tubuh Sadin. “Apa ada lagi yang kau ketahui tentang dia?” Aku akan menghukumnya sesuai hukum Majapahit. Batin Hayam Wuruk. Bandit memang sedang meningkat pesat akhir-akhir ini, dia harus memberikan contoh sebagai raja yang tegas dan menghukum para penjahat dengan hukuman semestinya. “Eh? Emm … aku tidak mendengarnya dengan jelas, tetapi pria itu mengatakan bahwa dia akan menjual para gadis yang berhasil diculik ke pedagang b***k dan menggunakan uangnya untuk berjudi di sebuah kasino, ah bukan, sebuah tempat yang bernama Omah Sabung. Hanya itu yang kuingat.” Hayam Wuruk tersentak. Omah Sabung? “Bolehkah aku membawa penjahat ini bersamaku? Aku akan memastikan dia dihukum dengan sepantasnya.” “Maaf, tetapi sebelum itu, Kisanak ini siapa, ya?” “Ah ….” Hayam Wuruk dan Dharmawangsa saling berpandangan. Mereka tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah raja dari kerajaan ini atau kedua wanita itu akan pingsan karena terkejut. Dharma mengangguk singkat, dia akan membereskan masalah ini dengan caranya sendiri. “Kami adalah punggawa istana yang diberikan misi khusus oleh Baginda Prabu Hayam Wuruk menyelidiki tentang munculnya bandit di berbagai wilayah di Majapahit. Karena orang ini adalah seorang bandit berbahaya, kami akan membawanya kembali ke istana untuk dihukum sesuai aturan kerajaan. Ini bukti bahwa kami adalah anggota istana.” Dharma menunjukan cincin emas yang bergambar Surya Majapahit. Loka dan Nandini mengangguk percaya. “Baiklah, kalian boleh membawanya. Tolong pastikan dia dihukum dengan benar. Jika perlu, kumohon potong saja burungnya! Kudengar dia sudah berbuat jahat pada belasan gadis lainnya dengan menodai mereka. Aku tidak mau melihatnya hidup tenang tanpa merenungi kesalahannya selama ini.” “Ah, b-baiklah.” Pipi Dharma berkedut. Ia merinding takut mendengar ucapan Loka yang tidak ada remnya tersebut. Hayam Wuruk sampai ingin tertawa karena perkataan Loka justru terdengar lucu baginya. Loka lalu melirik Hayam Wuruk karena penasaran mengapa wajah pria itu memerah seolah menahan sesuatu. Pria yang dilirik justru balik menatapnya lekat. Mereka berdua saling melemparkan pandangan satu sama lain dan tidak berkata apa-apa lagi. Tunggu sebentar, apa-apaan dengan suasana canggung ini? Kenapa Nandi hanya menunduk dan tidak membantuku menjawabnya? Hei, kenapa pria manis di sebelah pria tampan itu justru mengalihkan pandangannya ke arah lain? Kalian sengaja melakukannya, ya! “Bolehkah—” “Putri Pitaloka!” “Putri, Patih Anepaken sedang menuju kemari.” Loka memasang ekspresi senang. “Benarkah? Syukurlah, akhirnya dia datang juga.” Dharma mengangkat tubuh Sadin di pundaknya dan berbisik pelan pada Hayam Wuruk. “Mari kita pergi, Prabu. Kita tidak bisa memperlihatkan wajah di hadapan lebih banyak orang atau penyamaran ini akan terbongkar. Lebih baik pergi sebelum terlihat oleh mereka.” Hayam Wuruk mengangguk. “Kalau begitu, kami pamit undur diri dulu. Sampai berjumpa lagi di lain waktu.” “Eh?” Loka terkesiap. Ia tidak mengira kedua pria itu sudah akan pergi. Loka bahkan tidak tahu nama mereka! Dia tidak bisa membiarkannya begitu saja. “Tunggu sebentar, siapa namamu? Maksudku, setidaknya aku harus mengetahui namamu untuk memastikan apakah bandit itu benar-benar mendapat hukuman atau tidak. Itu sebagai sebuah jaminan, kau tahu.” “Jiwana.” Hayam Wuruk berhenti dan mengatakannya sambil tersenyum kecil. “Namaku adalah Jiwana, Diajeng Pitaloka.” Waktu seolah berhenti untuk sesaat. Di waktu yang singkat itu, Loka seolah mampu merasakan degupan jantungnya sendiri yang berdentam keras dan semilir angin menubruk lembut wajah lalu menerbangkan anak rambutnya rendah. Dalam momen yang hanya berlangsung sesaat tersebut, Loka merasakan sebuah perasaan baru, sebuah tunas yang tidak pernah tumbuh selama ini, kini mekar dan memunculkan sebuah daun muda, pertanda bahwa harapan itu masih ada dan tersisa. Hayam Wuruk dan Dharma sudah pergi, meninggalkan Loka dengan wajah merah padam dan perasaan aneh yang kini membuncah di dalam dadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa getarannya tidak kunjung mau berhenti? “Putri Pitaloka, anda tidak apa-apa?” Patih Anepaken Saniscara sudah sampai di hadapan Loka dan Nandi. Dia terkejut melihat pergelangan kaki Loka yang membiru akibat terkilir. “Katakan padaku, apa yang terjadi pada Putri?” Dia bertanya khawatir pada Nandini dan gadis itu langsung menjelaskan semua yang terjadi, termasuk kedatangan dua orang pria misterius yang mengaku menjadi punggawa kerajaan dan membawa salah satu bandit bersama mereka. “Tck!” Saniscara menghunjamkan kerisnya ke tanah dengan perasaan kesal yang meluap-luap. Bukan hanya gagal menangkap seluruh bandit, ia juga gagal melindungi sang putri yang seharusnya menjadi prioritas utama. Dia merasa benar-benar seperti pecundang tidak berguna yang tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. “Maafkan hamba, Putri. Hamba telah gagal dalam melindungi janji untuk menangkap seluruh bandit dan melindungi anda. Tolong, eksekusi saya di sini sekarang juga sebagai penebusan dosa.” Saniscara mencabut keris dan menyodorkannya pada Loka. Gadis itu terkejut dan lamunannya langsung terpecah. Ia kaget melihat benda tajam yang mengarah padanya itu. “Eksekusi? Jangan bercanda. Mana mungkin aku bisa mengeksekusimu, Patih.” “T-tetapi ….” “Jangan mengatakan hal bodoh semacam itu.” Loka menepuk pundak Saniscara dan menatapnya tegas. “Tidak akan ada yang mati. Baik kau, aku, Nandi, Kanjeng Ibu, maupun semua orang di sini. Jangan mengatakan seolah-olah kematian adalah hal yang mudah, Patih. Setelah mati kita memang tidak merasakan apa-apa lagi, tetapi bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan? Mereka yang menangisi kepergianmu dan mulai menjalani hari tanpa adanya sosokmu di samping mereka? Apa yang akan kau lakukan untuk mengobati patah hati terdalam mereka? Jangan mati sebelum takdir mengatakan untukmu mati, tidak, matilah jika kau sudah siap untuk mati dan tidak ada penyesalan yang tersisa di dunia ini. Apa kau mengerti maksud dari ucapanku, Patih?” Semuanya terdiam. Sekaligus terpana. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa membuka mulut dan hanya melebarkan pupil mata mereka sebagai bukti bahwa perkataan Loka benar-benar menyentuh relung jiwa, tidak terkecuali Saniscara yang masih membeku dengan wajah yang samar-samar memerah. Ia tidak bisa menyangkal bahwa hatinya sudah lama tertambat pada putri kerajaan Sunda tersebut. Loka mengernyit. “Hei … apa kalian mendengarkanku? Mengapa diam saja?” “Soalnya Putri cantik, jadinya mereka tidak bisa berkedip saat menatap anda.” Nandini menggoda Loka sambil terkikik kecil. “Apa-apaan … mana mungkin …” Loka menyangkalnya, tetapi ia bersikap malu-malu kucing. Loka mengaduh sakit, ia menatap pergelangan kakinya. Benar juga, Loka terkilir sejak tadi dan belum bisa berdiri sedikit pun. Mendengar rintihan sang putri, Saniscara kembali fokus dan mencoba untuk memegang pergelangan kaki Loka. “Apa yang sedang kau lakukan, Patih—akh! Itu sakit!” “Sepertinya urat di pergelangan kaki anda robek dan membengkak, harus cepat diberi pengobatan sebelum rasa sakitnya semakin menyebar.” Saniscara merobek pakaiannya dan mengikat pergelangan kaki Loka longgar, hanya mencegah agar tidak ada infeksi. Dia menoleh ke arah bawahannya. “Apa ada tandu di sekitar sini?” “Tidak ada, Patih. Kami sudah mencarinya ke seluruh rumah warga di sini dan tidak menemukan satu pun alat untuk menandu sang Putri kembali ke rumah. Mohon maafkan kami, apabila Putri berkenan menunggu, kami akan pergi ke seberang hutan dan mencarinya.” Loka mengulum bibirnya. Mungkin bisa memakan waktu satu sampai dua jam sampai tandunya tiba. “Coba cari sekali lagi di desa ini, siapa tahu mereka punya gerobak atau sapi untuk ditunggangi.” Saniscara memberikan perintah. “Baik!” “Tidak usah!” Loka buru-buru menghentikan jalan kedua prajurit yang hendak pergi tersebut. “Tidak perlu mencari kendaraan untuk mengantarku pulang.” “Kenapa, Kanjeng Putri? Anda tidak bisa berjalan pulang sendiri dengan kondisi kaki seperti itu.” Nandini berusaha menjelaskan. Namun, Loka tetap kekeuh pada keputusannya dan menunjuk Saniscara yang terkesiap sambil mengacungkan telunjuk pada dirinya sendiri. “Aku akan meminta Patih Anepaken untuk membopongku pulang ke rumah. Jika aku menaiki gerobak atau sapi, mungkin kakiku hanya akan bertambah parah akibat guncangan yang terjadi. Selain itu, Patih Anepaken merupakan orang kepercayaan Ayahanda, jadi aku juga akan percaya padanya. Ini adalah kesempatanmu untuk menebus kesalahan tadi, Patih. Jadi cepat bopong aku pulang sebelum siang semakin terik.” Loka tersenyum sumringah. Berbanding terbalik dengan Nandini yang terkejut setengah mati hingga menutupi mulutnya yang terus melanga. Dia melirik Saniscara yang terduduk diam tanpa bisa membalas ucapan Loka. Pria itu terkena serangan telak. “Tunggu apa lagi? Apa kau mau menungguku berubah menjadi tengkorak di sini?” Loka memasang wajah cemberut. Saniscara mengerjap. “Oh? B-baiklah.” Dia berjongkok lalu menaruh tangannya pada punggung dan lipatan lutut Loka. Dalam sekali hentakan, Loka diangkat dengan begitu mudahnya. Nandini masih tidak percaya saat melihatnya. Ia tidak pernah tahu hubungan putri dan sang patih ternyata lebih dekat dari yang ia perkirakan. Terlebih lagi, setahu Nandini, Saniscara selalu terlihat seperti pria super kaku yang hanya peduli pada strategi perang dan melayani kerajaan, ia tidak pernah menghabiskan waktu dengan seorang wanita. Prajurit lain pun hanya terdiam kaku sembari berjalan di belakang Saniscara yang memimpin perjalanan kembali ke rumah peristirahatan. Mereka takut dengan hukuman keras sang patih apabila menyebarkan gosip tidak senonoh. Loka menatap wajah Saniscara dari bawah. Pria itu menatap lurus ke depan dan berjalan tegap. Wajahnya ini benar-benar tipe kesukaanku, kalau dibandingkan dengan pria yang tadi—ah, maksudku Jiwana, dia tipikal pria bunga, tipe wajah yang tidak terlalu aku sukai, tetapi mengapa aku merasakan getaran aneh saat melihatnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD