Bab 3: Bersama anak-anak

1011 Words
*** Selagi Harold mempunyai satu hari jadwal kosong. Dia menggunakan hari itu sebagai hari berkumpul bersama. Hari yang mungkin bisa membahagiakan dua orang putranya. Pria itu mengajak istri dan anak-anaknya menanam pohon di sekeliling rumahnya yang luas. "Zander, ayo bantu Daddy tanam pohon ini." Harold mengajak Zander yang sedari tadi hanya melihat-lihat ke arah para pekerja di halaman rumah mereka. Sementara Zul sendiri sudah berhasil menanam satu pohon. Khadija akrab dengan dunia fotografi sehingga dirinya menjadi fotografer yang mendokumentasikan suasana hari ini. Tugasnya memotret kegiatan suami dan juga putranya. "Kenapa kita harus menanam pohon, Daddy?" "Supaya bumi kita tetap sejuk. Jika kita merawat alam maka alam akan tetap sehat, artinya menanam pohon akan meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana seperti banjir dan cuaca yang semakin panas." Zander mengangguk atas penjelasan ayahnya. Dia membantu menanam satu batang pohon. Zul yang cemburu melihat kedekatan saudara serta ayahnya, seketika mematung. Kemudian terpikir olehnya mengolesi tanah di pipi dua orang itu. Keisengan Zul membuat suasana semakin seru. Zander tidak terima pipinya diolesi tanah. Dia pun membalas perlakukan yang sama lalu terbahak. "Kau mengolesi terlalu banyak. Daddy, Zander mengolesi terlalu banyak tanah di pipiku!" Zul menampilkan wajah cemberut. "Kalau begitu, olesi lebih banyak tanah juga ke Zander," bisik Harold. Khadija memelototkan matanya saat menyaksikan pemandangan itu. Bisa-bisanya Harold mengajarkan hal yang menurut Khadija salah. Harold mengedipkan sebelah matanya seakan mengatakan, "Tenang saja. Biarkan mereka senang-senang." Zul dan Zander saling menyerang. Keseruan mereka menciptakan senyuman terukir di atas bibir Harold dan Khadija. Anak mereka benar-benar membuat keduanya bangga. "Daddy! Bantu aku!" Zul berlari menuju ayahnya. Dia bersembunyi dibalik tubuh tegap sang ayah. Harold menyejajarkan tubuh dengan tubuh putranya. Pria itu menghalangi Zander mengolesi pipi Zul dengan tanah. "Sudah, jangan bertengkar lagi. Sekarang kita bersihkan ya." Harold menggandeng tangan putranya. Dia bergegas menuju selang yang terhubung dengan air. Rasa bahagia menyelimuti diri Harold. Kegiatan ini langka terjadi. Saat dirinya membersihkan pipi kedua anak-anaknya. Seperti sedang bermimpi memiliki dua malaikat kecil. "Daddy... Siapa yang paling Daddy sayangi? Zul atau Zander?" tanya Zul Di antara saudara tentu selalu ada rasa cemburu. Zul selalu ingin terlihat istimewa di depan orang tuanya. "Daddy tentu lebih menyayangi aku," sela Zander sambil cekikikan. Zul yang tak terima sempat memberikan pukulan kepada Zander. "Jangan ribut lagi. Daddy menyayangi kalian berdua dengan kadar yang sama." Semua orang tua tentu menyayangi anak mereka dengan kadar yang sama. Itu tak bisa diragukan lagi. "Di mana Bunda kalian?" Dari tadi Harold sibuk membersihkan wajah anak-anaknya dari tanah yang menempel di pipi mereka, sampai tak sadar bila Khadija ternyata tidak ikut dengannya sedari tadi. Harold memutar kepalanya sampai ia melihat Khadija sibuk menelepon. Wajah istrinya terlihat serius. "Daddy akan menyusul Bunda. Kalian langsung masuk rumah bersihkan badan." "Baik, Daddy." Besok Harold kembali bekerja. Waktu bersama Khadija semakin sedikit. Pria itu mulai mempertanyakan kehidupan rumah tangganya. Khadija pasti kesepian tanpanya. Bagaimana jika suatu hari Khadija lelah menghadapi kehidupan rumah tangga mereka kemudian berkhianat? Pikiran itu selalu menakut-nakuti Harold. Apalagi Khadija sering menelepon tanpa sepengetahuannya. "Kamu bicara sama siapa?" Tampak jelas Khadija merasa tak enak untuk cerita. Entah apa yang sedang dia bicarakan lewat telepon. "Maaf, Mas. Mungkin Mas Harold tidak perlu tahu." Khadija menaruh ponsel di saku gamisnya. Dia akan melangkah masuk rumah. Namun, Harold menahan tangannya. Pria itu bersikukuh mencari tahu apa yang sedang istrinya sembunyikan. Jika memang tidak ada apa-apa. Mengapa Khadija harus menghindar. Harold menjadi curiga karena gelagat itu. "Aku perlu mengetahuinya. Aku tidak mau marah, Khadija. Siapa yang meneleponmu barusan?" ulang Harold. Tak ada respon dari Khadija. Itulah sebabnya Harold mengambil paksa ponsel istrinya dari saku wanita itu. Tadinya Harold curiga istrinya berselingkuh. Namun, panggilan masuk di ponsel itu seakan menampar dugaannya. "Mengapa kamu tidak jujur kalau itu Bang Randy? Apa yang dia inginkan?" Setelah meninggalkan rumah mereka, Randy tidak pernah datang lagi. Pria itu sepertinya sangat dendam pada Harold. Padahal masalah di antara mereka sangat sepele. Bagi Harold, tidak ada yang perlu membuat iparnya marah. "Ada pertemuan keluarga besok, Mas. Bang Randy memintaku datang, dan...." "Dan?" "Bang Randy tidak mau kamu datang, Mas. Maaf, aku sama sekali tak mau menyakitimu dengan mengatakan ini." Ada perasaan muram di wajah Khadija. Wanita itu berusaha agar suaminya tidak sedih. Namun, sepertinya ia tidak mampu menyembunyikan apapun. Lihatlah, wajah Harold menjadi sendu dalam sekejap mata. "Tak apa. Lagipula, aku ada jadwal manggung besok. Aku tidak masalah jika Abangmu masih marah kepadaku. Ingat saja, kalau aku akan mendukung keputusan keluarga kalian." "Terima kasih, Mas. Kamu telah mengerti keadaanku." Harold mengangguk. Dia menyodorkan ponsel sang istri sembari menyunggingkan sebuah senyum simpul. Rumah tangga mereka akan baik-baik saja selagi mereka bersama. Harold berharap segalanya baik-baik saja. Walaupun ada perasaan was-was dalam hatinya. *** Firasat aneh Harold terjawab saat malam hari tiba. Raffi, manajernya sedang mengantar Harold menuju studio salah satu channel TV nasional. Ini berkaitan dengan latihan menyanyi Harold untuk penampilannya besok sore. Harold sangat kelelahan sehabis latihan. Dia mencoba beristirahat sejenak. Saat mengambil ponselnya. Dia mendapati sebuah pesan yang tidak mengenakkan hati. Sungguh, Harold sama sekali. . Dari: Bang Randy Untuk: Harold . Jika kamu bahagia sekarang, maka bersiaplah untuk kehilangan semua yang kamu punya. . Pesan itu hanya ancaman. Namun, entah mengapa sangat mempengaruhi mental Harold. Dia berusaha menghubungi Randy. Harold meminta bertemu untuk bicara baik-baik. Tetapi Randy menolak. Harold sudah berusaha, tetapi pihak Randy tak mau memberikan kesempatan. "Apakah salah kalau aku mencarikan Bang Randy pekerjaan?" Saat Harold selesai melakukan geladi. Dia duduk di ruang ganti penuh tanya. Tidak ada yang bisa ia temani berbincang kecuali Raffi. "Niatmu sudah baik, Harold. Ipar-mu saja yang tidak tahu diri. Jarang sekali ada ipar sepertimu. Kau tidak usah cemaskan dia." "Itulah yang aku pikirkan. Aku tidak tahu apa yang salah. Aku mencoba memperbaiki keadaan tetapi dia tidak mau dengarkan aku." "Fokus saja bernyanyi. Jika dia mau membuktikan hidupnya lebih baik tanpamu. Maka kita lihat saja. Pada akhirnya dia akan kesusahan tanpa ada uang darimu." Kata-kata Raffi tegas. Benar kata pria itu, Harold semestinya tidak usah banyak mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Niat buruk akan selalu berjalan dengan baik. Harold bertekad untuk fokus meniti karirnya untuk saat ini. Persoalan Randy adalah urusan belakangan. . Instagram: Sastrabisu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD