Setelah Akad Nikah

785 Words
Akad nikahku dan Mas Yusuf digelar di rumah kami. Pernikahan yang terjadi tanpa pacaran. Bahkan hanya taaruf sebulan, aku langsung setuju untuk menikah dengannya. Mataku menyipit, menajamkan penglihatan kala tampak luka seperti bekas cakaran di tangan suamiku. Bekas yang merah kecoklatan itu sebagian tertutup lengan tuxedo yang dikenakannya. "Dik Hanna," panggil Mas Yusuf yang membuatku terhenyak. "Ah, ya." Segera kucium punggung tangan lelaki tampanku itu. Saat melihat senyumnya yang menawan segala pertanyaan mengenai bekas cakaran itu menghilang dari pikiran. Usai acara yang dilangsungkan, Mas Yusuf pamit pada keluarga, akan memboyongku ke rumahnya. Sepanjang jalan aku tersipu setiap kali melihat ke arah Mas Yusuf dan ternyata pria itu juga menatap ke arahku. Mungkinkah debar jantung yang kurasa Mas Yusuf juga merasakannya? Sampai di sebuah rumah besar, mobil yang mengantar kami berbelok. Rumah ini tampak sepi. Di depan pintu pria itu mengeluarkan kunci. Apa iya di rumah sebesar ini Mas Yusuf tidak menyewa pembantu? Atau orang bantu-bantu. Hem. Entahlah, barang kali karena sudah malam, para pekerja sudah pulang. "Em. Maaf, kunci rumah Mas masih manual. Belum sempat mengurus ini, belakangan memang sibuk sekali," ucap pria itu sambil sibuk memasukkan anak kunci. "Hem. Santai saja, Mas. Aku biasa hidup susah," kelakarku. Pria itu tertawa renyah. Ya, aku sudah mandiri sejak SMP. Sejak masuk Pesantren segala hal kuurus sendiri, aku bahkan yang mengurus keperluan sebagian santri setelah menjadi senior dan dipercaya ustazah untuk ikut andil di Pesantren. "Masuklah." Mas Yusuf tersenyum. Wajahnya makin bersinar saat kuamati lengkungan di bibir itu untuk kali pertama. Ini juga pertama kali aku menjejakkan kaki di rumah pria yang baru menghalalkanku. Satu-persatu ruangan di lantai satu diperlihatkan padaku hingga kami naik ke lantai dua. Pria itu memperlihatkan kamar kami yang besar. Namun, sebelum masuk mataku tak sengaja menangkap bayangan pintu di ujung lorong. Gelap. Tak ada jendela atau penerangan di sana. "Itu ... juga kamar?" tanyaku ragu. Seketika Mas Yusuf menoleh melihat ruang yang kutunjuk. "Ehm. Itu hanya gudang," jawabnya tampak gelagapan. Gudang? Kenapa letaknya di lantai dua? Tak masuk akal. Dan yang membuatku heran ada apa dengan ekspresi itu? Apa dia menyimpan seorang gundik di sana? Apa dia menyimpan monster? "Sudah, masuklah. Ini malam pertama kita jadi ...." Aku yang sebelumnya sempat curiga, sontak tersenyum melihat ekspresi malu-malu di wajahnya. Kami canggung. Karena sedari awal perkenalan, ta'aruf sebulan tanpa pertemuan dan interaksi intens, akad segera digelar. Kami pun masuk. Hatiku semakin berdebar karena ini kali pertama memasuki kamar seorang pria dan melakukan hal yang memang hanya boleh dilakukan pria dan wanita yang telah halal. "Kita sholat taubat dulu, ya?" "Hem, sholat taubat?" Mataku melebar. "Hem, bisa jadi banyak sekali dosa yang sudah kita perbuat sebelum pernikahan ini." "Ah, ya." Aku menuruti kemauan Mas Yusuf. Tak salah keluargaku menyetujuinya sebagai imamku. Dia pria sholeh dan teliti terhadap amaliyahnya. Mas Yusuf mengajak sholat dan mendoakanku. Lelaki itu memuji kecantikanku. Mas Yusuf bertindak seolah sangat menginginkanku sebagai seorang wanita, akan tetapi pria itu memutuskan di tengah-tengah. Saat di mana aku sangat menginginkan menjadi wanita seutuhnya lantaran bisa melayani suaminya. "Maaf, Dik. Mas letih. Kita kerjakan lain kali saja, ya," ucapnya sambil memijit tengkuk. Aku yang kecewa mengangguk lemah. Tentu saja tak mungkin sebagai seorang wanita aku menyerangnya duluan. Itu memalukan. Kami pun akhirnya tertidur. Dengan perasaanku yang penuh kedongkolan tentunya. ____________ Tengah malam aku terbangun seperti biasa. Untuk buang air dan membasahi kerongkongan karena haus. Entah, apa sebabnya aku tak bisa jauh-jauh dari air putih. Barangkali hanya karena aktifitas yang kujadikan rutinitas, hingga tak sadar jadi kebiasaan dan merasa aneh jika tidak melakukannya. Itu juga yang membuatku bisa terbangun beberapa kali saat malam, guna mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dalam bentuk air seni. Kuraih botol yang kusiapkan di nakas. Setelah minum, aku baru sadar Mas Yusuf tak ada di sampingku. Ke mana dia? Kamar mandi? Tak mungkin. Karena pintu kamar mandi terbuka dan tak ada suara apa pun dari sana. Kupegangi perut karena tak tahan lagi menahan pipis. Padahal ada keinginan mencari Mas Yusuf, tapi biarlah kubuang dulu hal yang sangat mengganggu ini. Begitu keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf masih belum kembali ke ranjangnya. Penasaran aku pun memutuskan untuk keluar. Barangkali dia sedang kelaparan dan tengah berada di dapur. Atau sedang menonton bola? Apa dia seorang bola maniak? Ah entah. Lebih baik aku langsung memeriksa sendiri. Namun, baru membuka pintu langkahku terhenti kala melihat sesosok bayangan masuk ke dalam ruangan di ujung koridor yang gelap. Dari kejauhan aku bisa melihat dia tengah membawa nampan dengan gelas dan piring di atasnya. Mataku semakin menyipit. Menajamkan pandangan untuk memindai keberadaan sosok itu. Apa itu Mas Yusuf suamiku? Jika iya, apa yang dilakukan tengah malam begini di dalam ruangan yang katanya adalah gudang? Apa ini ada kaitannya dengan penolakannya tadi? Jangan-jangan dia penganut ilmi hitam dan aku adalah tumbal pengantinnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD