Part 6

752 Words
Mata Miranti berkaca-kaca. Sebuah pesan muncul—dari mantan Dosen pembimbing universitasnya, Prof Marina. Ia hampir bisa membayangkan senyum hangat dan lembut Marina dalam benaknya. Sudah tujuh tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Miranti baru berusia tujuh belas tahun ketika ia mulai mengambil gelar master dengan beasiswa di Universitas Pertahanan jurusan Tehnik Persenjataan. Saat itulah Marina menemukan karyanya secara tak sengaja. Ia lulus di universitas yang sama jurusan Tehnik Mesin dan melanjutkan beasiswa atas dorongan Marina di bidang rekayasa senjata. Meskipun Marina sudah menjadi bintang di dunia desain senjata militer, ia tak pernah berpura-pura. Ia justru mencari Miranti sendiri, mengatakan bahwa dengan bakatnya, ia bisa merekomendasikan Miranti untuk beasiswa ke Royal Military Academy Sandhurst dan menawarkan diri untuk menerimanya sebagai mahasiswa. Maka di usia tujuh belas tahun, Miranti menemukan dirinya di Fakultas Tehnik Persenjataan dengan bimbingan ahli rekayasa senjata terkenal, Prof Marina. Setiap kekurangan pasti ada kelebihan. Miranti pada dasarnya sangat cerdas dan memiliki ketertarikan pada desain senjata. Marina selalu percaya bahwa Miranti ditakdirkan untuk menjadi hebat di bidang ini. Bertekad untuk membantu, Marina bahkan belajar bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi lebih baik dengannya, mencurahkan hati dan jiwanya untuk mengembangkan bakat unik Miranti—memadukan animasi 3D dengan desain rumit. Namun, tepat di saat mentornya sangat mengandalkannya, Miranti justru meninggalkan semuanya. Ia memilih cinta, menikahi Evan, dan menjalani peran sebagai istri yang setia. Kini mengingat kembali pertemuan terakhir mereka, Miranti hampir tak percaya ia telah memberi tahu Marina bahwa ia memilih cinta daripada karier. Selama tujuh tahun, ia terlalu malu untuk menghubunginya. Ia mengetik beberapa kata hampa di layar. [Aku baik-baik saja. Terima kasih, Prof] Marina menjawab hampir seketika. [Senang mendengarnya. Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi...]. Gelembung pengetikan itu masih ada. Setelah jeda yang lama, beberapa pesan masuk dengan cepat. [Apa kamu benar-benar ingin pensiun?] [Prof Wilson dari Royal Military Academy Sandhurst melihat desain replika FK 360 milikmu di studio ku dan sangat tertarik pada desain pelurunya serta Teknik pendeteksi radarnya, dia ingin bertemu denganmu] Miranti bahkan belum selesai membaca ketika air mata mengaburkan segalanya. Bagaimana mungkin Marina tahu ia hanya punya waktu setengah tahun lagi untuk hidup? Enam bulan bukanlah waktu yang cukup—tidak untuk menyelesaikan proyek apapun, tidak untuk membuat keajaiban dengan suara yang hilang selama lebih dari satu dekade. Jari-jarinya melayang di atas keyboard, menghapus dan menulis ulang, sebelum akhirnya menekan kirim. [Maaf, Marina.] Ia memperhatikan jendela obrolan. Marina sedang mengetik namun pada akhirnya, tidak ada lagi yang muncul. Larut malam. Evan memarkir mobilnya di vila. Silvia melangkah keluar, menggendong Humam yang sedang tidur. "Evan, bisakah kau meminta seseorang untuk membantu membawa Humam? Aku tidak akan masuk malam ini." Evan mengerutkan kening, kekhawatiran terpancar di mata gelapnya. "Kau selalu punya reaksi alergi terhadap sprei hotel, dan barang bawaanmu masih di mobilku. Menginaplah di sini malam ini." Silvia ragu-ragu. "Aku tahu kau khawatir, tapi... Miranti tidak tahu aku bibimu. Perempuan itu sensitif, kau tahu. Mudah salah paham. Evan, kau tidak sendirian lagi. Kau harus memikirkan perasaan Miranti—bagaimanapun juga, dia istrimu." Tanpa sepatah kata pun, Evan merangkul bahunya dan menuntunnya ke rumah, suaranya dingin dan jauh. "Apa yang terjadi di rumah ini bukan keputusannya. Ini rumahku." Silvia protes setengah hati, tetapi membiarkan dirinya dituntun masuk. Bik Minah, pengurus rumah tangga, bergegas menemui mereka. Ia menegang saat melihat Evan merangkul Silvia. Tadi malam, Evan bersikeras agar Silvia menginap. Majikan pergi dengan marah dan belum kembali seharian dan sekarang ia membawa wanita ini lagi. Evan melihat sekeliling, tidak melihat Miranti, dan alisnya menegang. "Dia belum pulang?" Bik Minah menggelengkan kepalanya. "Kau sudah mencoba meneleponnya?" "Sudah, tapi teleponnya mati." Silvia buru-buru bertanya kepada Bik Minah, "Kamar Humam yang mana?" "Lewat sini, silakan ikut saya." Bik Minah, yang hanya seorang pembantu rumah tangga, tak berani mengungkapkan kemarahannya atas perilaku Evan. Ia hanya bisa mengantar Silvia ke kamar Humam dalam diam. Sementara itu, Evan melangkah ke balkon dan menghubungi nomor Miranti. Miranti baru saja berbaring di tempat tidur ketika ponselnya menyala menampilkan nama Evan. Jari-jarinya menegang. Ketika Evan mendengar panggilan tersambung, ia menghela napas lega. Ia menunggu telepon berdering terus-menerus, tetapi tidak ada yang mengangkat. Akhirnya, panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Sebuah beban aneh menghinggapi d**a Evan. Miranti tak pernah mengabaikan panggilannya sebelumnya. Apa pun yang sedang ia lakukan, ia akan selalu menjawab ketika Evan menelepon. Dan sekarang, ia belum pulang seharian. Silvia keluar dari kamar Humam. Di balkon, Evan menatap ponselnya, matanya sayu dan kosong. Silvia mengatupkan bibirnya, lalu berjalan menghampirinya. Saat ia sampai di hadapannya, ia memaksakan senyum lembut. "Evan, kamu nggak bisa hubungin Miranti, ya?" Evan menjawab pelan, "Mm."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD